13

21K 2.3K 208
                                    

Tiga bulan telah berlalu, dan semuanya masih sama. Kehamilannya yang kini telah memasuki usia lima bulan membuatnya sedikit tidak nyaman. Rasa begah dan selalu ingin ke kamar mandi membuatnya tidak urung dilanda jengkel. Jaehyun yang masih menyayanginya seperti biasa. Sikap pria itu tidak banyak berubah.

Sejujurnya, semuanya terasa sulit. Namun mereka sama-sama saling menguatkan. Jeno yang penyakitnya semakin memprihatinkan, harus menjalani cuci darah sejak satu bulan lalu. Tentu saja Jaehyun frustasi dengan itu. Kondisi anaknya tidak baik-baik saja setelah menjalani cuci darah. Jeno akan mual bahkan tak jarang juga muntah, bahkan anak itu tidak bisa menopang tubuhnya selama beberapa hari setelahnya. Renjun maupun Jaehyun tidak lepas pengawasan untuk itu. Mereka bahkan menyewa satu pengasuh untuk mengawasi Jeno jika Renjun merasa tubuhnya sedang tidak baik.

Seperti saat ini, Renjun duduk sendirian diruang tunggu. Dari balik mantelnya, perutnya menyembul seperti layaknya orang hamil. Menunggu Jeno dan Jaehyun yang sedang melakukan cuci darah didalam sana. Ia akan sekali meringis saat merasakan pegal dipunggungnya. Bukan tidak ada larangan dari Jaehyun, namun ia yang memaksa untuk ikut, ditambah Jeno yang sejak semalam lemas bukan main.

"Sabar, sayang. Ayahmu sedang menemani kakakmu," monolognya. Gerakan halus membuat senyumnya kembali terbit. Entah sudah berapa jam ia menunggu. Bahkan Renjun sudah ke kantin lebih dulu tadi, tapi Jeno belum juga selesai.

Beberapa kali menghela nafas berat, Renjun berdiri. Melihat dari kaca kecil yang terletak dipintu, hal apa saja yang terjadi didalam. Sia-sia karena terhalang tirai. "Apa aku pulang lebih dulu?" Tanyanya pada angin. Lambungnya meronta meminta di isi walau belum genap dua jam ia memasukkan makanan.

Ia mengangguk, lantas berjalan meninggalkan ruangan itu setelah mengirim pesan pada suaminya. Tidak ada yang menarik perhatian ditempat ini, selain orang sakit dan sehat yang hilir mudik ke sana kemari. Mual saat mencium bau obat berlebihan.

Karena sibuk menutupi hidungnya, ia tidak sadar saat seseorang berjalan dari arah berlawanan. Menubruk bahunya hingga nyaris terjengkang ke belakang. Saat mendongak, netra keduanya beradu. Mereka sama-sama tercekat, Renjun hendak pergi namun ditahan.

"Renjun," panggil orang itu dengan seorang balita dalam gendongannya. Mungkin sama usianya dengan anak Haechan.

"Lepas," ucap Renjun dingin.

"Aku-"

"Aku bilang lepas, Na Jaemin!"

"Tidak, Renjun-"

"Kau tuli?!" Renjun membentak saat orang yang disebut Na Jaemin itu tidak mengindahkan ucapannya. Ia menyentak tangannya agar terlepas dari belenggu Jaemin, saudaranya.

"Ayo bicara, Renjun."

.
.
.
.

Dengan berbagai paksaan yang dilakukan Jaemin, mereka berakhir duduk disalah satu kursi taman rumah sakit. Keadaan sedikit canggung saat mereka duduk bersisian. Suasana hening untuk beberapa saat. Baik Jaemin maupun Renjun, mereka sama-sama menutup mulut.

Buaian angin membuat keduanya mungkin larut dalam lamunan. Renjun mengingat saat beberapa bulan lalu ia kembali ke rumah keluarganya, apa yang terjadi? Ibunya, bukan. Maksudnya, ibu Jaemin, Yona, mengusirnya tanpa belas kasihan. Lantas ia pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Siwon saat itu sedang koma atas pemberitahuan dari salah satu pelayan dirumah besar itu. Hatinya kembali hancur, dari cacian Yoona yang lama tidak didengar, lalu kondisi Siwon yang memprihatinkan. Saat itu, ia tidak menjumpai Jaemin maupun Johnny.

"Aku dengar, waktu itu kau datang ke rumah," ujar Jaemin memulai pembicaraan.

"Ya," jawab Renjun seadanya.

DESTINY | JaeRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang