3

25K 3.2K 511
                                    

Langkah kaki beberapa orang terdengar seakan menggema dipendengaran setiap orang. Seumpama alat musik yang dipukul berkali-kali, ingatan itu berpendar berpuluh-puluh kali dikepala. Terputar secara sendirinya, meninggalkan bekas luka tak kasat mata.

Luka yang dulu belum sempat mengering, ditambah luka baru. Perih rasanya seperti sebuah nanah berdarah yang ditaburi air garam. Pandangannya berkali-kali memburam saat secercah perkataan begitu menusuknya. Hingga kapan gelap menderanya? Terang tak kunjung datang, bahagia tak kunjung menjemput. Seumpama gelas yang dijatuhkan, Renjun mencoba merangkai kembali kepingan itu, menyatukannya agar menyerupai bentuk semula. Mustahil.

Jika kata menyerah tak lagi bisa menjadi pelarian, bunuh diri tidak lagi menjadi jalan terakhir. Lantas bagaimana sikap yang harus diambilnya? Bahkan saat goresan benda tajam itu mengoyak nadinya, kematian tak juga menjemputnya. Bukan malaikat yang menyelamatkannya, melainkan iblis yang bersemayam dalam diri seorang Jung Jaehyun.

Renjun meremat kuat dadanya didepan sebuah kamar dengan pintu besar berukiran kayu. Niatnya yang ingin mengantarkan satu gelas kopi hitam berbau pekat, juga beberapa batang makanan ringan yang sudah ditata rapi dalam sebuah piring- harus terurung. Lantunan suara menjijikan itu menyapa indera pendengarannya.

Lima bulan hidup sebagai seorang istri dari penguasa seperti Jaehyun, lantas membuatnya jatuh dalam jerat pesona memabukkan namun begitu menyakitkan. Secuil perhatian yang beberapa kali diterimanya, dengan bodohnya mampu meluluh lantahkan hati yang lama terbengkalai. Berulang kali menolak, namun dengan sialnya pria itu selalu menawarkan perasaan tak berbalas padanya.

Nampan dalam genggaman ia pegang dengan erat, hingga gelas diatasnya bergetar pelan. Kaki ingin melangkah, namun tertahan oleh sesuatu.

"Morehh.. eunghhh Dadhhdyhh..."

Gelengan berkali-kali ia lakukan, suara laknat yang menyusup begitu jelas dalam kepalanya, membuat Renjun pening seketika. Tangannya meremat kuat baju dengan masing-masing tangan.

"Ahhh jalang."

Suara Jaehyun terdengar begitu parau dan dalam. Tidak perlu menebak apa yang mereka lakukan didalam. Renjun hanya perlu pergi dari sana, jika mampu, pergi keluar dari neraka yang bersedia menampungnya.

"Tuan, tidak jadi masuk?" Tanya seorang pelayan dengan nada pelan. Takut menyinggung saat Tuannya hanya diam didepan pintu dengan pandangan kosong.

"Kau saja yang berikan, bilang aku yang membawakannya." Setelahnya, ia berlalu dari sana. Menyerahkan nampan itu pada pelayan yang entah akan sampai pada tujuannya atau tidak. Peduli tidak lagi menyergapnya.

Semburan pilu memeluknya dengan erat. Sakit hati entah untuk yang keberapa kalinya. Langkahnya terayun menuruni tangga dengan tujuan taman belakang rumah. Duduk disalah satu kursi dengan keheningan. Tidak ada air mata, tidak ada isak tangis seperti biasa. Sepertinya air mata miliknya mengering karena terlalu banyak dikeluarkan. Akan menjadi hal yang sia-sia sekalipun ia menangis darah, tidak akan ada yang berubah. Jaehyun tidak akan memandangnya, hanya akan menyepelekan jika ia mengeluh sakit.

Kepalanya terangkat menatap bulan yang tengah bersinar sepenuhnya. Seolah menertawakan jalan cerita hidupnya yang jauh dari kata menyenangkan. Alih-alih bisa merasakan hal yang seharusnya ia rasakan di usianya yang bahkan baru genap 22 tahun beberapa bulan lalu, ia malah terdampar disebuah rumah bak istana dengan keadaan menyedihkan.

Tangannya terangkat, menghalangi sinar rembulan yang menusuk penglihatannya. Matanya terarah pada jari manis yang dihiasi cincin sederhana dengan satu berlian kecil ditengahnya. Benda yang menjadi pengingat antara dirinya dan Tuan Muda Jung Jaehyun. Bibirnya mengulas senyum miring. "Aku hanya bonekamu, Tuan Jung," lirihnya.

DESTINY | JaeRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang