6

24.7K 3K 1.1K
                                    

Tepat pukul enam pagi, Jaehyun bangun terburu setelah mendapat panggilan dari salah satu rumah sakit. Itu yang Renjun tahu. Bahkan disaat mereka masih dalam keadaan telanjang, pria itu bangkit tanpa mempedulikannya. Tanpa adanya kata pamit atau semacamnya.

Renjun merasa sekarang, dirinya adalah jalang yang sudah selesai dipakai kliennya. Senyum kecut terbit dibibir pucatnya. Hingga tawa menggema dalam kamar berukuran luas itu. Lagi-lagi, ia berharap. Ia pikir, perkataan Jaehyun semalam benar-benar nyata, namun tidak begitu. Itu mungkin hanya bualan agar dirinya memberikan tubuh dengan suka rela.

Segala macam pikiran buruk bercokol dikepalanya. Tawa yang semula mengudara berubah menjadi tangis menyesakkan. Sepasang air mata menganak sungai dikedua pipinya. Ia bangkit, membawa tubuhnya menuju kamar mandi.

Mematut diri didepan cermin. Tidak ada yang menarik selain bercak merah keunguan yang menghiasi tubuh atasnya. Ada sedikit penyesalan untuk keputusan terburu-burunya semalam. Berkali-kali otaknya menolak untuk berinteraksi lebih dengan pria kasar semacam Jaehyun. Namun keadaan tidak mungkin kembali seperti semula. Mereka sudah melakukan, dengan perasaan yang bahkan belum paten.

Sakit di selangkangannya belum hilang, Jaehyun pergi demi seorang yang bukan tandingannya jika dibandingkan. Entah apa yang terjadi sebenarnya hingga pria Jung itu panik bukan main. Yang diketahuinya hanya nama Taeyong yang disebut seseorang dalam telepon.

Renjun membersihkan tubuhnya dengan terburu-buru. Rintikan air mata tidak lagi dipedulikan. Rasanya selalu sama. Jika dulu sakit itu berasal dari keluarganya sendiri, kini itu berasal dari orang asing yang sayangnya ia cintai.

.
.
.
.

Pergi tanpa pamit, pulang dengan kacau. Itu Jaehyun. Pria yang baru saja pulang dengan keadaan tidak menentu. Pakaiannya kusut bukan main, kelopak mata yang bengkak serta bibir yang terus bergumam tidak jelas.

Pria itu seperti sedang mabuk, namun tidak. Kedua bola matanya jelas merah karena tangis yang mungkin ditahannya. Beberapa kali tangannya tertangkap penglihatan memukul dadanya sendiri. Sedang Renjun, hanya mengamatinya dari sofa ruang tengah, tanpa berniat menghampiri atau sekedar bertanya untuk apa yang telah terjadi.

Hingga pria Jung itu mendaratkan tubuhnya disamping Renjun, ia masih tak bereaksi. Memang apa perannya disana?

Jaehyun mengacak rambutnya dengan frustasi. Tangisnya kembali pecah dengan kepala tertunduk dan kedua tangan menutup wajah. Pria itu membiarkan siapapun melihat keadaannya yang nyaris tidak pernah diperlihatkan. "Renjun.." lirihnya.

Renjun menepis tangan yang menyentuhnya. Ia masih tidak bisa melupakan kejadian pagi tadi. Bagaimanapun keadaan Jaehyun saat ini, bukan urusannya. Mulai sekarang, mungkin ia akan menerapkan perkataan Jaehyun kemarin.

"Aku-"

"Bukan urusanku."

Perkataan dingin itu menarik atensi Jaehyun. Ia menatap Renjun dengan wajah sembab yang bingung.

"Apapun yang ingin kau bicarakan, bukan urusanku. Itu katamu kemarin, Tuan." Renjun beranjak dari sana. Membiarkan Jaehyun memanggil namanya dengan

Sekuat Jaehyun mencoba mengejarnya, sekuat itu pula hatinya untuk terus menolak. Hatinya terlalu sakit dengan sikap Jaehyun yang seakan mencampakkannya tanpa perasaan. Belajar dari hal sebelumnya, ia tidak ingin termakan begitu saja dengan omongan manis yang keluar dari birai tebal pria itu.

"Renjun!"

"Apa?!" Sentak si mungil dengan tangan berontak dalam genggaman hangat itu. Tubuhnya tersentak ke belakang saat si penguasa menariknya tidak sabaran.

DESTINY | JaeRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang