12

20K 2.3K 95
                                    

Hilir mudik orang-orang dalam lorong itu terlihat sedikit ramai. Entah itu orang sakit atau yang sehat sekalipun, mereka tak peduli sekitar. Mempercepat langkah saat dirasa dalam keadaan mendesak. Ada beberapa juga yang menyenggol tanpa peduli dengan tangis tak terbendung.

Renjun mengikuti langkah Jaehyun didepannya. Setengah jam lalu mereka tiba dirumah sakit, lantas beranjak menuju ruang dokter anak setelah mendaftar diloket. Jarum jam menunjukkan pukul sembilan tepat.

Setelah semalam Jaehyun mendapat keluhan untuk pertama kali dari anaknya, pria itu tidak ingin menunda untuk memastikan semuanya. Tentu saja Renjun mengerti dengan kekhawatiran pria itu, ia pun merasa cemas saat mendengar cerita singkat Jaehyun pagi tadi. Pria itu semalam bahkan tidur dengan Jeno dikamar anaknya. Bukan tidak mungkin jika keluhan Jeno benar-benar serius.

Dipandangnya Jaehyun yang sudah berjalan sedikit jauh darinya. Ia berhenti sejenak saat merasakan keram diperut bawah pusarnya. Sesekali meringis pelan, lalu kembali melanjutkan langkah yang sempat tertunda.

Ia duduk disamping Jaehyun, menunggu nama Jeno dipanggil. Sebanyak yang ia bisa, Jaehyun memanjatkan doa terbaik untuk anaknya. Pria itu beberapa kali memejamkan mata dengan Jeno dalam dekapannya terdiam tenang. Sorot mata anak itu nampak sayu. Renjun mengusap bulir keringat yang jatuh dari pelipis Jeno dengan lembut. Suhu tubuh anak itu naik sejak pagi.

"Masih ada yang sakit?" Tanya Renjun pelan pada anak itu.

Jeno menggeleng lirih, tubuhnya bersembunyi dibalik mantel yang dikenakan Jaehyun.

"Boleh titip dulu sebentar?" Tanya Jaehyun memandang Renjun. "Aku akan ke toilet, tidak akan lama," tambahnya.

Renjun mengangguk, "tentu saja." Ia mengambil alih Jeno dalam pangkuannya, setelahnya Jaehyun pergi dengan terburu-buru. "Nono harus sehat ya, jangan sakit," ucapnya pada Jeno.

"Iya," balas Jeno pelan.

"Jangan pernah berpikir untuk meninggalkan kami." Renjun memberi pelukan hangat untuk anak itu. Punggung sempitnya diusap dengan lembut seolah takut menyakiti. Batinnya ikut perih saat semalam ia mendengar percakapan ayah dan anak itu. Jeno terlalu dini untuk mengucapkan kematian.

Renjun pikir, apa sesakit itu hingga Jeno mampu berucap diluar ekspektasinya?

"Anak Jeno," panggil seorang perawat dari depan pintu ruangan. Bersamaan dengan itu, Jaehyun datang dengan tergesa, membawa kembali Jeno dalam gendongannya.

Keduanya sama-sama merasakan debaran tidak menentu. Antara khawatir dan takut dengan kemungkinan yang akan terjadi. Jaehyun tidak berusaha menghalau pikiran buruk dalam otaknya, namun tidak mampu. Sekelebat ingatan tentang betapa tersiksanya Taeyong dulu membuatnya semakin ketakutan. Tidak menutup kemungkinan Jeno akan merasakannya karena mengalirkan darah sama dengan ibunya.

.
.
.
.

Satu jam lalu tepatnya, mereka mendengar penjelasan panjang dari dokter yang menangani Jeno. Langit mendung menambah kesan sendu untuk dua orang dewasa itu. Terdiam diruang tunggu apotek, disaksikan rintik hujan yang mulai berjatuhan. Jaehyun tergugu ditempatnya, hingga Renjun kembali setelah mengambil obat yang diresepkan oleh dokter untuk Jeno.

Pria itu masih diam kaku dengan memeluk Jeno. Sore ini, bahu kokoh itu tidak lagi terlihat bersemangat selayaknya kemarin. Layu bak bunga yang tidak terkena air. Renjun mengerti perasaannya, ayah mana yang akan menerima kenyataan buruk tentang putra putrinya? Jaehyun salah satu ayah yang mencintai anaknya.

"Jae," panggil Renjun menepuk bahu suaminya. "Ayo pulang, aku sudah mengambil obatnya. Minggu depan kita ke sini lagi," lanjutnya seraya memberi usapan lembut dikepala Jaehyun. Renjun bingung harus memulainya dari mana, sebab Jaehyun hanya diam sedari tadi. Tidak mengeluarkan kata barang sepatah pun. Mulutnya terkatup rapat. Ada kesedihan yang tergambar dikedua bola matanya.

DESTINY | JaeRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang