18

22.9K 2.1K 350
                                    

Dua orang dalam satu ruangan itu diam tanpa kata. Sejak beberapa menit yang lalu, tidak ada yang memulai percakapan. Baik Renjun maupun Jaemin, keduanya memilih bungkam. Tidak ada orang lain selain mereka diruang tamu kediaman Renjun dan Jaehyun itu.

Renjun berdehem singkat untuk menghapus canggung yang ada. Ia menyesap teh yang sejak tadi dibiarkan mendingin diatas meja. Sedikit demi sedikit tenggorokannya terasa ringan. Ia memang tidak mengharapkan 'saudaranya' datang.

"Ada apa?" Tanya Renjun.

"Ah itu, tujuanku masih sama. Aku ingin meminta maaf. Renjun aku-"

"Aku memaafkanmu," potong Renjun cepat. "Sekarang kau boleh keluar."

"Aku tahu kau baik, Renjun. Terimakasih jika memang kau sudah memaafkanku, tapi bisa kita bicara sebentar? Aku rindu, aku tidak tenang karena kita berjauhan." Jaemin memberanikan diri memandang saudaranya. Ia merasakan gugup saat tak ada tanggapan dari Renjun. "Sungguh, aku benar-benar meminta maaf padamu. Untuk kesalahanku, untuk kesalahan mereka yang sudah banyak menyakitimu. Aku sadar, dikeluarga kita tidak semua tentangku harus diutamakan. Aku tidak memintamu kembali karena kau sudah punya kehidupanmu sendiri. Tapi aku tidak tahu, dilain waktu bisa melihatmu begini lagi atau tidak. Aku takut kesempatan itu hanya satu kali."

"Iya, aku memaafkanmu." Tekan Renjun. "Aku hanya akan memaafkan orang yang berani mengakui kesalahannya sendiri."

Jaemin mengangguk mengerti. "Apa setelah ini kita bisa seperti dulu? Aku ingin dekat lagi denganmu," katanya.

"Bisa, asal kau tidak memaksaku kembali ke neraka itu." Renjun mengedikan bahunya. Lalu menyenderkan punggungnya pada sandaran sofa. Helaan nafasnya terdengar lega.

Mungkin sudah saatnya ia berdamai dengan hidupnya sendiri. Terus menerus menyimpan dendam tidak akan ada habisnya. Jika seseorang meminta maaf, bukankah akan lebih baik menerima maafnya? Ini bukan kali pertama Jaemin mengatakan kata maaf padanya.

"Boleh aku memelukmu?" Tanya Jaemin ragu.

Renjun memandang saudaranya dengan mata memicing. Sedetik kemudian ia mengangguk mantap. Jaemin dengan semangat, memeluk saudaranya hati-hati. Melepas rindu yang lama ia tahan, rasa bersalah yang sempat membumbung tinggi dalam dirinya kini perlahan meluap seiring dengan berkembangnya senyum manis pada bibir Renjun.

"Aku menyayangimu, Renjun."

"Hm. Aku juga."

"Terimakasih."

"Hm."

"Na," panggil seseorang dari arah belakang. Itu Mark, suami Jaemin dengan seorang balita dalam gendongannya. "Jisung menangis," sesal ayah muda itu karena mengganggu aktivitas dua saudara itu.

Jaemin memandang Renjun meringis. "kemari," ujarnya sembari meraih tubuh gempal anaknya. "Kenapa menangis, eum?"

Balita satu tahun itu tak menjawab, tangannya menarik baju ibunya dengan rengekan keluar dari bibir mungilnya. Jaemin menghela nafas berat.

"Makan siang disini saja, akan ada temanku juga," ucap Renjun. Ia beranjak tak lupa mengajak pasangan itu untuk masuk lebih dalam ke dalam apartemennya.

.
.
.
.

"Jeno jangan mengganggu Lele, nak!" Tegur Renjun saat anaknya itu terus menganggu balita berkulit putih itu.

"Tapi Lele yang mulai!" Ujar Jeno tak terima. Ia bersungut-sungut menunjuk Chenle. Bahkan bayi itu hanya memandangnya dengan bibir mengerucut.

"Dari tadi Lele diam, Nono yang mengganggu," itu Jaehyun. Pria itu baru kembali setelah ditugaskan untuk mencuci piring bekas makan siang bersama Lucas dan Mark tentunya. Jaemin dan Mark mungkin terhitung masih baru, namun mereka mencoba untuk beradaptasi.

DESTINY | JaeRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang