12

373 61 119
                                    

"Tersenyumlah walau itu sulit."
~Tiffany Putri Wijaya.~

Tampak seorang gadis yang sibuk mengacak-ngacak nakas dan laci dikamarnya yang bernuansa merah itu.

"Obat Fany dimana ya?" Gadis itu bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Pasalnya ia lupa dimana ia meletakkan obatnya. Saat ia membuka lacinya, sejenak ia terdiam memandang benda di laci itu. Bukan, itu bukan benda yang ia cari, melainkan itu selembar foto dirinya dengan seorang gadis yang sedang tertawa bahagia. Ia tersenyum kecut saat melihat foto itu. Ternyata ia pernah sebahagia itu, ya walaupun itu dulu. Dulu sebelum takdir merubah segalanya.

Gadis yang bersama Fany di foto itu adalah Sasya. Ya dulu sewaktu SMP Fany dan Sasya adalah sepasang sahabat yang sangat akrab dan saling menyayangi. Itu dulu sebelum rasa iri timbul di hati Sasya.

Semuanya bermula saat Sasya mengetahui bahwa lelaki yang ia cintai malah mencintai sahabatnya, yaitu Fany.

Bukan hanya itu ia juga tidak terima karena sahabatnya sangat menjadi dambaan para kaum adam di sekolahnya. Baginya kehidupan Fany terlalu sempurna yang membuatnya iri.

Semenjak ada rasa iri itulah sikap Sasya kepada Fany berubah. Sasya yang dulu yang sangat berteman baik dengan Fany kini telah berganti dengan cap musuhnya Fany. Ia sangat membenci Fany, bahkan melihat gadis itu tertawa saja ia tidak terima.

Fany membuyarkan lamunannya, ia melihat kearah jam dinding dikamarnya yang menunjukkan pukul 15.30.

"Oya aku kan mau kontrol ke dokter," ucap Fany di dalam hatinya.

💫

Fany pun memasuki ruangan itu, tampak seorang pria yang masih sibuk dengan kertas-kertas yang ada di tangannya.

"Permisi dok..."

Lelaki itu pun mendonggakkan kepalanya lalu melihat kearah Fany.

"Eh Fany, masuk langsung baring di brangkar ya," ucap lelaki itu. Fany pun mengangguk, lalu membaringkan tubuhnya di atas brangkar rumah sakit.

Setelah 10 menit yang lalu dokter Dion telah selesai memeriksa kondisi Fany.

"Gimana dok?" Tanya Fany kepada dokter yang tadi memeriksanya.

"Kamu selama pemeriksaan kok gak pernah sama orangtua kamu? Atau bahkan orangtua kamu tidak tahu kalau kamu sakit?" Tanya dokter Dion dengan nada menyelidik.

"Iya dok, orangtua saya belum mengetahui tentang hal ini."

"Kamu harus memberitahukan kepada orangtua kamu, apapun alasannya itu. Karena, minggu depan kamu akan menjalani kemoterapi." Penuturan dokter Dion panjang lebar.
Fany mendengarkan kata demi kata yang terlontar dari mulut dokter itu, kata yang membuatnya tertohok adalah saat satu kata...
"Kamu harus memberitahukan kepada orangtua kamu, apapun alasannya itu."

Ia beritahu ataupun tidak itu sama saja, mereka pasti tidak peduli dengan hal ini.
Fany menundukkan kepalanya, cairan bening itu ingin keluar dari matanya.
Tapi tidak, ia tidak boleh terlihat lemah. Fany pun mendonggakkan kepalanya melihat dokter itu dengan wajah yang masih terlihat sendu.

Dokter Dion sedikit mengernyitkan dahinya saat melihat wajah Fany yang berubah sendu, apakah ia salah bicara? Batinya bertanya-tanya.
"Fany kamu gapapa?" Satu pertanyaan itu terlontar dari mulut dokter muda itu.

FanyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang