Part 28

963 133 23
                                    

Happy Reading
...

Langit memperhatikan sekitarnya dengan teliti, setelah ia yakin tidak ada yang mengikutinya barulah Langit masuk ke dalam Villa pribadinya.

Para pekerja Villa tersebut menyapa Langit dengan ramah.

"Dia ada di kamar?"tanya Langit kepada salah satu pelayan.

"Iya Mas. Nona Widya ada di kamar."

"Baiklah, silahkan dilanjutkan kerjanya."Langit menepuk bahu pelayan itu.

Langit pun melangkahkan kakinya menuju kamar yang ditempati Widya.

Semenjak Langit mengetahui kabar kehamilan Widya, Langit langsung berinisiatif untuk menyembunyikan Widya di Villanya.

Karena Langit tahu betul betapa liciknya Pak Bramantyo, Ayah dari anak yang dikandung oleh Widya. Pak Bramantyo hanya memanfaatkan Widya sebagai alat balas dendamnya kepada Biru, Pak Bramantyo hanya berniat menghancurkan kebahagiaan Biru.

Langit khawatir dengan keselamatan Widya dan bayi yang ada dalam kandungannya, jika Widya masih terus berada di sekitar Pak Bramantyo.

Langit khawatir kalau-kalau Pak Bramantyo akan berusaha menggugurkan kandungan Widya. Jadi, Langit memutuskan untuk membawa Widya ke Villanya.

"Widya, kamu di dalam?"Langit mengetuk pintu kamar.

"Iya, masuk aja."Terdengar jawaban dari dalam.

Setelah mendapat persetujuan dari Widya, baru Langit membuka pintu kamar.

Widya tengah duduk di atas tempat tidur sambil mengelus perutnya yang mulai tampak menonjol.

"Kamu udah makan?"tanya Langit. Ia mengambil posisi duduk di pinggiran tempat tidur.

"Udah."Widya menganggukkan kepalanya.

"Wajah kamu kok pucat gini?"tanya Langit khawatir.

"Bawaan hamil kali, Lang."

"Apa iya? Kamu selalu makan teratur kan? Jangan ngeyel ya kalau disuruh makan sama pelayan, ini demi kebaikan kamu dan dia yang ada di dalam sana."Langit menunjuk ke arah perut Widya.

"Iya, Lang. Oh iyaa lain kali kamu gak usah repot-repot datang ke sini terus untuk ngecek aku, Lang. Kamu pasti sibuk di Jakarta sana, aku baik-baik aja kok. Kamu ngebolehin aku tinggal di Villa ini aja udah syukur banget. Jadi gak usah repot-repot gini ya, kalau gini terus aku jadinya gak enak sama kamu, Lang."

Langit tersenyum, Langit mendekatkan posisi duduknya dengan Widya. Lalu, Langit mengacak-acak poni Widya, gemas.

"Kamu tuh kayak lagi sama siapa aja ya Wid, kita itu udah sahabatan berapa lama sih? Kita bukan cuma sahabatan 1 hari 2 hari Wid, kita udah sahabatan dari SMA. Kebahagiaan kamu, udah pasti jadi kebahagiaan aku juga. Penderitaan kamu, udah pasti menjadi penderitaan aku juga. Masalah kamu, udah pasti jadi masalah aku juga. Jadi kamu gak boleh dong larang-larang aku gini."

Widya tersenyum dengan bibir pucatnya. Langit sahabatnya masih saja seperti dulu, selalu menjadi orang yang lebih mementingkan kebahagiaan sahabatnya sendiri.

Oleh karena alasan seperti inilah Widya dan Biru selalu merasa bersyukur memiliki sahabat sebaik dan setulus Langit.

"Biru gimana kabarnya?"tanya Widya tiba-tiba.

Langit terdiam sebentar, ia menatap Widya lekat. Langit bukannya tidak tahu, kalau diam-diam Widya masih sering memikirkan Biru. Widya masih sangat mencintai Biru.

"Kabarnya baik, cuma dia agak sedikit terpuruk karena Mamanya meninggal. Cuma sekarang dia udah lebih tenang kok, kamu gak perlu khawatir."

"Bu Hartini? Innalillahi wainna ilaihi rojiun."Widya menundukkan kepalanya. Jika mengingat nama Bu Hartini, Widya selalu merasa sangat dan teramat bersalah.

BI-RU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang