Part 27

964 138 33
                                    

Happy Reading
...

Sudah Tiga hari berlalu semenjak tragedi rooftop, Biru dan Rubi masih tampak canggung. Mereka hanya berkomunikasi sekenanya untuk keperluan pekerjaan saja. Disini, Rubi lah pihak yang terlihat jelas berusaha menghindar.

Orang-orang di sekitar mereka pun ikut merasakan kecanggungan ini, bagaimana tidak Biru dan Rubi biasanya sangat berisik, dua manusia itu sangat susah untuk didiamkan. Jadi ketika mereka tiba-tiba menjadi pendiam, tentu akan terasa janggal. Menimbulkan tanda tanya tersendiri.

"Ini perasaan gue aja atau gimana, kayaknya lu bedua lagi berantem ya?"Dilan menunjuk Biru dan Rubi bergantian.

"Enggak." "Enggak Mas,"jawab Biru dan Rubi bersamaan.

"Jangan boong."Budi ikut menimpali.

"Gue bilang enggak ya enggak!"Biru malah menanggapinya dengan emosi, sedikit berlebihan sebenarnya.

"Eh kok malah ngamok?"Bumi pun ikut bergabung dalam obrolan.

"Udah sih, kita gak perlu ikut campur. Mereka udah pada dewasa, udah tau mana yang terbaik buat mereka."Seperti biasa Langit selalu menjadi penengah.

"Dengerin itu!"

Biru meletakkan majalah yang ia pegang ke sembarang arah, setelahnya ia bangkit dari posisi duduknya. Biru pergi begitu saja.

"Ngeselin banget anjir, untung aja dia sahabat gue. Kalau gak udah gue sentil itu lidahnya."Budi mengomel.

Sementara itu Rubi masih menatap ke arah pintu, sampai punggung Biru tidak terlihat lagi.

Rubi tidak habis pikir dengan jalan pikiran Biru, bukankah dalam kasus ini yang seharusnya marah adalah dirinya? Yang terjadi malah kebalikannya.

Menyadari hal itu, Langit berpindah tempat duduk ke samping Rubi.

"Kalau kalian memang lagi ada masalah, coba bicarain baik-baik. Biru kadang memang seperti itu, dia yang salah dia juga yang marah. Ngadepin dia harus sabar-sabar. Coba kamu yang mulai aja, biar cepat selesai masalahnya,"ucap Langit dengan suara pelan.

"Tapi ini jelas-jelas salah Mas Biru, yang minta maaf harusnya Mas Biru dong!"Rubi terdengar seperti tengah mengadu kepada Langit.

"Harusnya memang begitu, tapi yang kamu hadapi ini Biru. Mengalahlah sedikit saja, bisa aja dia bukannya gak mau minta maaf, tapi dia gak tau caranya bagaimana. Biru itu udah terbiasa, selalu menjadi pihak yang diutamakan, dia gak berpengalaman dalam hal-hal seperti ini."

"Sampai kapan Mas Biru akan seperti itu? Berapa lama lagi Rubi harus bertahan dengan sikap egoisnya Mas Biru? Lama-lama Rubi juga capek, Mas. Dia hanya melakukan apa yang dia inginkan, dia egois Mas."Rubi mengeluh.

"Rubi, Aku mohon jangan ikut ninggalin dia kayak yang lain ya. Dari kecil dia udah banyak banget menerima kekecewaan dalam hidupnya, aku harap kamu jangan ikut nambahin lagi. Aku tau ini gak mudah, tapi aku mohon banget jangan tinggalin dia ya. Daripada ninggalin dia lebih baik kamu marahin dia aja, ungkapin semua unek-unekmu biar dia bisa paham."

Rubi terdiam sejenak, sepenting itukah kebahagiaan Biru untuk Langit? Langit sampai memohon. Rubi jadi merasa iri dengan persahabatan Biru dan Langit.

Siapapun orangnya pasti bisa merasakan betapa sayangnya Langit kepada Biru.

"Dia sahabat terbaik yang pernah aku miliki, Rubi. Aku sangat berharap suatu saat dia benar-benar bisa bahagia. Aku yakin kamu orang yang tepat untuk memberikan kebahagiaan yang belum pernah dia dapetin selama ini."Langit seolah bisa membaca jalan pikiran Rubi.

"Biru itu orang baik, orang baik yang lebih sering disia-siakan oleh orang-orang sekitarnya,"sambung Langit lagi.

"Eh lo bedua kok bisik-bisik sih!"Akhirnya Budi protes. Sedari tadi ia sudah cukup sebal karena Rubi dan Langit tidak melibatkan mereka dalam obrolan keduanya.

BI-RU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang