13

480 85 0
                                    

Langit tampak indah dengan semburat jingga yang mempercantik hamparan luas dengan beberapa awan di atas sana.

Aku menghela napas yang terasa berat. Cappuccino miliknya masih tersisa setengah dengan suhu yang tak lagi panas maupun hangat.

"Maaf, Ji. Aku habis berkumpul dengan temanku dan nyaris melupakan janji kita," ujar Taehyung seraya berjalan ke arahku dan duduk di kursi depanku yang kosong. "Ada apa?" Lanjut Taehyung bertanya.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Kau memintaku ke sini hanya untuk menanyakan keadaanku?" Taehyung menatapku dengan salah satu alisnya yang naik.

"Lantas?" Ujarku bertanya.

"Kau bisa menanyakan itu padaku melalui pesan atau ketika kita bertemu santai, Ji. Kau tak perlu membuat janji denganku terlebih dahulu."

Menundukkan sedikit kepalaku seraya tersenyum miris yang kemudian kembali kutegakkan menatap Taehyung yang tampak santai.

"Bertemu? Tae, kapan terakhir kali kita bertemu?"

Taehyung terlihat berpikir seraya memiringkan kepalanya seolah mengingat sesuatu.

"Mungkin—"

"Nyaris tiga Minggu dan sebelum-sebelumnya bahkan mungkin lebih dari ini." Aku menyelanya untuk berbicara lebih dahulu. "Ingat pada tanggal berapa aku mengajak dirimu untuk bertemu seperti ini di pesan? Kau bahkan membalasnya setelah seminggu kemudian dan baru bisa memiliki waktu saat ini. Aku tidak mempermasalahkan waktumu yang sangat padat hingga mungkin sulit untuk bernapas, tapi mengapa dengan teman-temanmu dirimu memiliki waktu yang luar biasa luasnya sedangkan untuk sekadar membaca pesanku saja perlu waktu berminggu-minggu. Kau bahkan baru saja mengatakan bahwa dirimu nyaris melupakan janji temu kita." Mencoba untuk tak berurai air mata dengan napas yang sedikit tersengal. Ini tak semudah yang aku pikirkan.

"Jihye kau kenapa?"

"Kau adalah pria pintar di keluargamu, bukan? Bukanlah perkara sulit untuk dirimu mengerti maksud dari perkataanku. Di sini sudah terlihat bahwa, kau melupakanku." Aku menjawab cepat.

Taehyung terlihat merubah raut wajahnya datar hingga aku bahkan sulit untuk menerka pikirannya. Dia terlalu pintar merubah air mukanya.

"Aku sudah menduga bahwa dirimu akan berujar demikian."

Aku tersenyum miris kala mendengar pernyataannya yang terdengar santai.

"Ingin mendengarkan penjelasanku?"

"Kau sudah terlalu sering seperti itu yang berakhir sia-sia. Penuh kepalsuan."

"Untuk kali ini, Jiya."

Tolong jangan buat pertahanan diriku hancur hanya karena panggilan yang teramat ku rindukan.

[]

ABOUT: LASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang