Cincin Kawin Ibuku Kujual

8.3K 211 6
                                    

Aku Mira, anak bungsu dari pasangan Juminten dan Tardi.

Ayahku telah meninggal dunia sewaktu aku masih kecil dan hanya Ibuku yang menjadi tulang punggung keluarga ini.

Setelah dewasa, kedua Kakak laki-lakiku berumah tangga dan keadaan ekonomi mereka sangat sulit bahkan untuk makan sehari-hari. Mereka berdua telah lama meninggalkan kampung ini karena ingin mengadu nasib di pulau lain yang katanya jika usaha mereka sukses maka derajat mereka akan langsung melesat naik dan bergelimang harta.

Aku sudah menikah dengan seorang bujang yang aku kira dia anak yang sholeh karena sering beribadah di mushola dekat rumahku.

Dia tertarik padaku dan aku menerimanya karena aku pikir dia laki-laki baik-baik. Awal pernikahan dia memang masih rajin sholat di mushola tapi semakin bertambahnya hari, dia sudah semakin jarang pergi sholat ke mushola bahkan sholat lima waktu pun dia kerjakan bolong-bolong.

Dia seorang bujang tanpa penghasilan yang tetap karena pekerjaannya juga tidak tentu. Kadang menjadi kuli bangunan sambil menerima orderan para pelanggan yang ingin menservice atau memperbaiki motor mereka.

Ibuku yang tidak ingin aku hidup kebingungan karena suamiku tidak mempunyai pekerjaan tetap akhirnya menyerahkan cincin kawinnya yang sedari dulu selalu ia pertahankan karena hanya itu satu-satunya kenangan dari Bapak yang telah lama meninggal.

"Ini, Nduk. Jual saja cincin kawin Ibu buat modal usaha warung mendoan kecil-kecilan." sodornya.

"Tapi Bu, ini kan cincin nikah Ibu sama Bapak. Ini juga adalah kenangan satu-satunya dari Bapak buat Ibu." tolakku sembari menyodorkan cincin kawin itu kembali.

"Tidak apa-apa, Nduk. Kamu terima saja cincin ini. Ibu ikhlas ngasih buat kamu. Bapak juga di alam sana pasti lebih senang kalau cincin peninggalannya bisa berguna untuk anak perempuannya membangun usaha." Ibuku kini menjejalkan cincin kawin itu ke dalam tanganku.

"Tapi Bu,"

"Ssttt, tidak ada tapi-tapian. Kamu harus terima ini dan bangun usaha warung mendoan, siapa tahu itu bisa buat nambah-nambah penghasilanmu dan kalian tidak kesulitan lagi dalam membeli kebutuhan sehari-hari."

"Makasih ya, Bu." Aku akhirnya menerima cincin kawin Ibuku.

"Nanti bangunan warungmu pakai saja papan-papan dan asbes yang baru saja Ibu beli untuk merenovasi rumah ini. Biarlah rumah ini jangan dulu direnovasi, toh keadaan rumah ini masih bagus."

"Makasih banget lho ya, Bu." aku menangis dan memeluk tubuh Ibuku.

"Iya, sama-sama, Nduk." Ibuku mengusap punggungku.

Sepulang dari rumah Ibuku, aku segera meminta diantarkan oleh Mas Badrun ke toko mas untuk menjual cincin Ibu.

"Mas, antarkan aku ke toko mas di pasar yuk!"

"Kamu mau ngapain ke sana?"

"Mau jual cincin kawinnya Ibu. Katanya uang hasil penjualan cincin ini untuk modal usahaku membangun warung mendoan kecil-kecilan, Mas."

"Kamu naik angkot saja ya!"

"Lho, memangnya Mas kenapa? Bukannya lagi nggak ada kerjaan?"

"Kami jadi istri rewel banget sih. Sana pergi naik angkot saja!" bentaknya.

Aku langsung diam dan tidak berani berkata apa-apa lagi. Aku pergi dari rumah mertuaku dan segera bergegas ke pinggir jalanan kampung untuk mencegat angkot.

Sesampainya di pasar, aku tidak pergi ke toko mas karena mereka pasti akan membeli murah cincin emas ini yang dulu dibeli hanya harga beberapa puluh ribu saja yang nilainya tidak akan sebanding dengan uang jaman sekarang. Dulu uang sepuluh ribu saja sudah sangat banyak sekali karena beras saja hanya dibandrol limaratus rupiah per-kilonya.

Aku menjual cincin ini kepada orang-orang yang biasanya mangkal di dekat trotoar dan lapak para pedagang. Mereka juga ada yang menjadi pedagang di pasar ini.

"Mbak, mau jual emas, Mbak. Emas surat hilang, emas rusak, dan emas luar kota kami bersedia menerimanya, Mbak."

"Bu, aku mau jual cincin ini." aku mengeluarkan cincin kawin Ibu. "Kira-kira dapetnya berapa ya?"

"Tergantung emasnya juga, Mbak. Emas muda atau emas tua? Gram-gramnya juga mempengaruhi."

"Coba dicek dulu, Bu."

"Baik, akan saya cek dulu. Mari ikut saya!"

Kami berjalan ke sebuah toko mas yang sedang sepi pembeli, mungkin toko mas ini modelnya jadul-jadul sehingga tidak banyak pembeli yang datang ke toko ini.

"Ci, saya mau minta tolong cek-in cincin ini, Ci!"

"Mana cincinnya?" tanya pemilik toko mas itu yang wajahnya oriental.

Aku segera menyerahkan cincinku pada Cici itu yang usianya sepertinya sepantaran denganku.

"Ini, Ci." sodorku.

Cici itu mengambil cincin itu lalu membawanya ke tempat tes, tidak lama kemudian dia kembali lagi sambil membawa sebuah kertas catatan kecil.

"Emas kualitas bagus ini." serunya.

"Emas tua ya, Ci?" tanya Ibu-ibu di sampingku.

"Iya," angguknya.

"Berapa gram ini cincinnya, Ci?"

"Dua gram koma tigapuluh."

"Makasih ya, Ci."

"M," angguknya.

"Bayarnya seperti biasa ya, Ci. Akhir bulan aja sekalian."

"Beres."

Cincin kawin Ibuku kini dikantongi oleh Ibu-ibu di sampingku. Lalu dia mengeluarkan uang seratus ribuan sebanyak sebelas lembar.

"Saya beli satu juta seratus ribu ya, Mbak."

"Iya, Bu." sahutku dengan senyum mengembang karena cincin kawin Ibu yang dulunya dibeli beberapa puluh ribu saja kini laku satu juta seratus ribu.

"Ini uangnya, Mbak."

"Makasih, Bu." ucapku sambil menerima uang itu dengan tangan yang bergetar.

***

Malam harinya aku meminta ijin kepada mertuaku untuk meminjam lahan kosong yang tandus di ujung jalan sana yang tidak menghasilkan sama sekali.

"Ibu, Mira ada niatan mau buka warung mendoan kecil-kecilan di kampung ini. Mira boleh tidak kalau meminjam lahan kosong depan rumah Ibu untuk dijadikan warung mendoan Mira?"

"Pakai saja. Toh juga lahannya tidak ada pohon buah-buahan apapun."

"Makasih ya, Bu."

"Tapi ingat kalau usahanya sudah jalan jangan lupa bayar uang sewanya."

Deg, hatiku langsung mencelos saat mendengar perkataan Ibu mertuaku yang langsung meminta uang sewa.

"Iya, Bu. Nanti Mira bayar kok kalau usahanya jalan."

Sepeninggalku, Ibu mertuaku didekati oleh anak perempuannya, "Bu, Mbak Mira mau buka warung?"

"Iya, katanya mau buka warung."

"Paling-paling warungnya langsung bangkrut nggak nyampe sebulan." cibirnya.

"Biarin aja. Nanti kalau dia bangkrut kita ketawain bareng-bareng aja."

"Hahaha" kedua orang itu tertawa lepas.

Aku masih bisa mendengar perkataan mereka karena aku belumlah jauh dari tempat Ibu mertuaku berdiri.

"Ya Allah, kok mereka kejam sekali mendo'akan yang buruk-buruk tentang niatanku untuk membuka warung."

Aku hanya bisa mengusap dadaku untuk menenangkan hatiku agar tidak terbakar emosi ataupun merasa pedih saat mendengar tawa lepas mereka.

Bangkrut Usai Ceraikan Istri (Ibuku Sayang Ibuku Malang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang