Pagi hari aku tengah beberes di warungku bersama dengan Bu Laksmi yang sedang membantuku untuk memajang barang dagangan kami ke sebuah tali panjang dan juga cantelan di dinding-dinding warung.
"Aduh," tiba-tiba perutku terasa mulas dan sakit seperti orang yang mau datang bulan. Rasa mulas dan sakit ini semakin lama semakin terasa menyakitkan.
"Mir, kamu kenapa?" Bu Laksmi menghampiriku.
"Perut saya mules dan sakit banget, Bu."
"Waduh, tanda-tanda kamu mau lahiran nih. Ayo Ibu antar ke Puskesmas,"
Aku mulai dipapah oleh Bu Laksmi untuk berjalan menuju ke Puskesmas Desa yang tidak terlalu jauh dari tempat ini.
"Bu, Mbak Mira kenapa?" tanya Rizal yang baru selesai mengantarkan pesanan gorengan Pak Ratman.
"Mbak Mira kayaknya mau lahiran, Zal. Cepet bantu Ibu buat mapah Mbak Mira!"
"Baik, Bu."
Rizal mulai memapah tubuhku di sisi sebelah kiri dan Bu Laksmi dari sisi sebelah kanan.
"Tahan dulu ya, Mir! Sebentar lagi kita sampai," tutur Bu Laksmi memintaku untuk menahan, tapi entah menahan apa, apakah menahan rasa sakit ini atau menahan agar aku jangan dulu brojol di tengah jalan.
Para petugas kesehatan di Puskesmas Desa langsung bergerak cepat saat melihat kedatanganku yang dipapah oleh Bu Laksmi dan Rizal. Aku di bawa ke ruang khusus dan dibaringkan di sebuah ranjang. Bidan yang biasa memeriksa kandunganku setiap bulan mulai memeriksa keadaanku.
Setelah perjuangan panjang akhirnya anakku lahir ke dunia ini. Aku begitu waswas saat anakku tidak kunjung menangis, dan alhamdulilah setelah beberapa saat anakku mengeluarkan tangisnya. Air mata bahagia meluncur dari kedua mataku.
"Anaknya perempuan, Bu. Cantik kayak Ibunya. Montok banget lagi." tutur Bidan yang menangani persalinanku.
"Alhamdulillah,"
Kulihat Bu Bidan tengah membersihkan anakku dengan sangat hati-hati.
Setelah semua bercak darah sisa-sisa persalinanku dibersihkan dari ruangan ini, Ibuku dan Bu Laksmi masuk ke dalam ruangan ini. Sedangkan anakku sudah berada tepat disampingku.
"Aduh lucunya anakmu, Mir," seru Bu Laksmi gemas.
"Cucu Nini montok banget, Nduk." tutur Ibuku.
"Iya, Bu, alhamdulillah." sahutku.
Anakku mulai ditimang oleh Bu Laksmi, sedangkan Ibuku tidak berani menimangnya karena tangannya sudah tidak bertenaga lagi. Beliau hanya bisa tersenyum memandangi anakku yang tengah ditimang oleh Bu Laksmi.
"Dedenya cantik banget ya, Bu." ucap Bu Laksmi kepada Ibuku dan Ibuku mengangguk mengiyakan.
"Eh, ini dedenya laki-laki atau perempuan, Mir?" tanya Bu Laksmi yang sepertinya baru menyadari bahwa dirinya belum tahu jenis kelamin anakku.
"Perempuan, Bu." jawabku seraya tersenyum.
"Pantas saja cantik banget. Berarti tadi aku nggak salah ngomong ya,"
Aku menganggukkan kepalaku.
Tiba-tiba tirai dibuka dari arah luar, awalnya aku kira perawat yang datang untuk mengantarkan minum karena tadi aku minta minum ke Bu Bidan karena merasa haus, ternyata yang masuk ke dalam ruangan ini adalah Mas-ku Mas Hendri.
"Mas Hendri," seruku.
"Mira," kakak keduaku mulai berjalan mendekat ke arahku. "kamu sehat-sehat aja kan?"
"Iya, Mas. Alhamdulillah aku sehat walafiat."
"Hendri," kini giliran Ibuku yang memanggil anak lelakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkrut Usai Ceraikan Istri (Ibuku Sayang Ibuku Malang)
General FictionSudah TAMAT .... Semua part masih lengkap .... "Uang anak perempuan yang telah bersuami itu haram hukumnya dinikmati oleh orangtuanya, Mir!" hardik suamiku sembari merampas uang sepuluh ribuan kertas dari tangan Ibu kandungku. *** Mira seorang wani...