Aku yang baru pulang memanggil Pak Haji Ramli mampir ke rumahnya Bu Juminten karena ingin memanggil Mbak Mira, seorang wanita baik hati dan jujur namun teraniaya.
Aku sangat mengagumi beliau di mulai saat aku menerima uang persenan dari Mbak Mira yang katanya itu uang keuntungan dari modal yang dulu kuberikan. Padahal aku tidak pernah memberikan modal kepada Mbak Mira untuk warungnya. Dan ternyata uang yang dulu sempat aku tolak sewaktu membantu Bapak membangun warung mendoan Mbak Mira, beliau catat uang itu menjadi modal untuk warungnya. Setiap bulan aku mendapatkan jatah lima persen dari keuntungan warungnya.
Aku selalu menolak uang yang diberikan Mbak Mira kepadaku karena aku merasa uang itu bukan hakku sebab tenagaku dulu tidaklah pantas jika sampai diberi upah. Aku hanya bantu-bantu hal yang ringan saja saat itu.
Aku sempat ingin mengembalikan uang yang kuterima kepada Mbak Mira kembali, namun Ibuku melarangku, beliau berpesan padaku agar aku menyimpan semua uang yang Mbak Mira berikan kepadaku setiap bulan. Ibuku bilang, uang yang ada padaku bisa menjadi tabungan rahasia bagi Mbak Mira, dan bisa digunakan di saat-saat genting.
Aku tidak paham maksud dari ucapan Ibuku, aku hanya mengangguk saja dan mulai mengumpulkan semua uang yang Mbak Mira berikan setiap bulan. Tidak terasa uang dari Mbak Mira selama setahun lebih ini sudah terkumpul sembilan juta lebih. Uang itu aman tersimpan di rekening tabungan Ibuku dan aku menyimpan catatannya di bukuku.
***
Suatu pagi, aku tumben-tumbenan ingin lari pagi. Setelah melaksanakan sholat shubuh, aku mulai mengenakan sepatu olahragaku dan mulai berlari sampai ke desa sebelah lalu kembali lagi ke rumah saat hari sudah mulai terang.
Saat akan melewati warung Mbak Mira, aku dipanggil oleh sang empunya warung. Mbak Mira menitipkan warungnya kepadaku karena dia mau mengantar pesanan mendoan yang dipesan pelanggannya.
Aku tentu saja bersedia menjaga warungnya Mbak Mira. Aku sebenarnya kasihan sama Mbak Mira, uang yang ada di dalam dompet Mbak Mira atau di dalam laci warung Mbak Mira sering kali dicuri oleh anak-anak Kakak Iparnya dan juga Adik Iparnya. Bukan cuma sekali atau dua kali aku melihat hal itu, namun sudah seringkali aku melihatnya, ingin rasanya aku memberitahukan tentang hal ini ke Mbak Mira, namun saat aku memberitahukan hal ini kepadanya, beliau malah memintaku untuk tidak menyebarluaskan hal ini ke khalayak umum. Entah apa yang ada dipikiran Mbak Mira, beliau malah memilih diam dan tak mengambil tindakan.
Aku sudah cukup lama menunggui warung Mbak Mira, namun alih-alih Mbak Mira yang datang ke warung, malah seluruh keluarga besar Mas Badrun yang datang ke warung ini.
Aku mendengar kata umpatan terlontar dari bibir mereka masing-masing. Tidak lama kemudian muncullah Mas Badrun sambil membawa sebuah tas pakaian.
Aku yang sudah berpindah tempat duduk memilih untuk tetap berada di sekitar warung ini karena Mbak Mira menitipkan warung ini kepadaku.
Orang yang aku tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Tapi sungguh di luar dugaan, keluarga Mas Badrun mengeroyok Mbak Mira ramai-ramai dan mengklaim warung ini adalah milik mereka, padahal aku tahu dengan sangat jelas bahwa warung ini dibangun oleh Mbak Mira dengan modal uang Mbak Mira sendiri.
Mas Badrun yang di setiap kesempatan selalu tampil lemah lembut bak seorang laki-laki santun, dengan teganya melemparkan tas pakaian yang dia bawa ke arah Mbak Mira yang tengah mengandung anaknya.
Aku menolong Mbak Mira yang hampir oleng jatuh ke atas tanah. Untunglah aku masih sempat menahan tubuh Mbak Mira agar tidak terjatuh.
Mbak Mira akhirnya diusir oleh keluarga besar suaminya dan aku menemaninya karena aku sungguh tidak tega meninggalkan wanita hamil yang baru saja ditimpa musibah berjalan sendirian.
Mbak Mira berjalan ke rumah salah satu pejabat di desa ini yang bernama Pak Juhari. Aku hanya bisa menghela napasku karena aku tahu benar karakter orang ini.
Pak Juhari ini mata duitan, tidak peduli haram atau halal semuanya dibabat habis olehnya. Meskipun anaknya keluaran dari pesantren, namun sifatnya juga tidak jauh beda dengan Pak Juhari. Mas Fikri yang menangani proyek pembangunan jembatan mengorupsi dana pembangunan itu. Kemarin sempat ramai digosipkan, namun seiring berjalannya waktu gosip itu mereda.
Sepulang dari rumah Pak Juhari, aku tetap berkeras ingin menemani Mbak Mira sampai ke depan pintu rumahnya, namun beliau terus memaksaku untuk pulang. Dengan berat hati aku menuruti kemauannya. Aku mulai melangkahkan kaki ini menjauh dari Mbak Mira, namun aku baru teringat, aku memegang uang pembeli yang tadi membeli roti di warung Mbak Mira. Aku berbalik kembali untuk menyerahkan uang ini, tapi Mbak Mira malah pergi ke arah lain. Aku mengikutinya dan sampailah di rumahnya Bu Supri yang merangkap sebagai warung makan juga.
Dari tempatku, aku bisa mendengar dengan jelas Mbak Mira sedang meminta maaf karena tidak bisa membayar makanan yang tadi pagi dia minta untuk Ibunya.
Astaghfirullah, aku hanya bisa mengucapkan kalimat itu di dalam hatiku. Sungguh tega sekali Mas Badrun dan keluarga besarnya. Sudah merampas warung milik Mbak Mira, merampas pula rumah miliknya, dan uang sepeser pun tidak mereka berikan kepada wanita malang itu.
Saat Mbak Mira berbalik, aku segera menyembunyikan diriku karena aku takut Mbak Mira akan malu kepadaku.
Selepas Mbak Mira pergi dari depan rumah Bu Supri. Aku bisa bernapas dengan lega karena tidak ketahuan olehnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkrut Usai Ceraikan Istri (Ibuku Sayang Ibuku Malang)
General FictionSudah TAMAT .... Semua part masih lengkap .... "Uang anak perempuan yang telah bersuami itu haram hukumnya dinikmati oleh orangtuanya, Mir!" hardik suamiku sembari merampas uang sepuluh ribuan kertas dari tangan Ibu kandungku. *** Mira seorang wani...