Esok harinya pagi-pagi sekali aku membuka warungku karena ada orderan gehu (tahu isi) sebanyak lima puluh ribu dan tempe mendoan sebanyak dua puluh ribu.
Aku sudah start dari pagi-pagi buta karena pesanan ini harus sudah selesai pukul tujuh pagi. Tahu isi dan tempe mendoan ini diorder oleh anaknya Bu Lastri yang bernama Bu Intan. Hari ini Bu Intan bersama keluarga kecilnya akan pulang lagi ke kota setelah dua minggu berlibur di rumah orangtuanya.
Jangan tanyakan Mas Badrun kemana, dia masih ngorok di atas kasurnya. Kemarin dia bilang uang yang dihasilkan dari warung ini adalah jerih payahnya, halah, cuma bantu-bantu sedikit doang pake sok-sokan bilang hasil jerih payahnya. Tapi jika tidak dibantu Mas Badrun dalam berbelanja atau mengantarkan pesanan memang sangat merepotkan mengingat warungku ini meskipun terlihat sederhana tapi sangat ramai pembeli. Biarlah uang lima belas juta kemarin diambil semua oleh Mas Badrun, aku yakin Allah akan menggantinya dengan berlipat-lipat ganda kepadaku, asal aku sabar dan terus berjuang tanpa mengenal lelah.
Hari mulai terang dan warung mulai di datangi oleh para pembeli yang ingin membeli sayur mayur dan jajanan pasar.
"Mbak Mir, kok nggak ada apa-apa sih di meja?"
"Aduh maaf ya, Bu. Suami saya sedang nggak enak badan katanya, jadi nggak bisa belanja ke pasar pagi." ucapku berbohong.
"Yah, padahal anak saya lagi pengen dimasakin sop-sopan sama minta onde-onde pagi ini," keluh pembeliku.
Aku merasa tidak enak kepada para pembeli setiaku yang tiap pagi selalu membeli sayur mayur, gorengan, dan juga jajanan pasar.
"Maaf ya, Bu."
"Ya sudahlah, beli telornya aja seperempat kilo."
"Baik, Bu."
Aku segera bergerak cepat melayani pembeliku sembari disambi menggoreng mendoan.
Ada beberapa pembeli juga yang memilih untuk pergi ke warung sebelah karena sayur atau jajanan yang ingin mereka beli tidak tersedia di warungku.
"Mas Badrun kok sudah siang begini belum datang juga ke warung," keluhku yang saat ini sedang mewadahi semua gorengan ke dalam plastik besar.
Pintu warung berderit, aku mendongakkan wajahku dan bisa kulihat Mas Badrun memasuki warung ini.
"Semua pesanannya Bu Intan sudah siap, Mir?" tanyanya.
"Sudah, Mas." jawabku singkat.
Pasti Mas Badrun ingin dia yang mengantarkan semua pesanan Bu Intan.
"Sini, biar Mas aja yang anterin."
Tuh kan bener.
Giliran semua gorengan sudah siap saja, dia gercep banget pengen anterin. Giliran tadi pagi aku bangunin nggak bangun-bangun dan pura-pura tidak dengar. Dasar pemalas, maunya enak doang.
Mas Badrun mengambil kresek isi gorengan pesanan Bu Intan.
"Sekalian Mas, sama pesanannya Bu Ratmi nih," sodorku menyerahkan satu kresek isi mendoan seharga sepuluh ribu.
"Kamu nggak lihat nih pesanan Bu Intan banyak banget. Berat tahu. Punyanya Bu Ratmi kamu aja yang nganterin." ketusnya sambil keluar dari warungku.
Dasar mata duitan dan mata keranjang, umpatku dalam hati.
Bagaimana aku tidak kesal, suamiku memang sering pilih-pilih seperti ini jika dalam mengantarkan pesanan pembeli.
Jika orang yang memesan itu royal dan suka memberikan tips lebih, dia pasti akan semangat mengantarkan pesanan itu. Tapi jika pembeli yang memesan hanya memberikan bayaran sesuai harga pesanan, biasanya dia ogah dan akan mencari banyak alasan untuk menolak, ya benerin motorlah, benerin sanyo lah, dan lain-lain. Tapi giliran yang pesen minta diantar pesanannya itu wanita cantik, beuh jangan ditanya, meski tidak memberikan tips lebih, suamiku akan semangat empat lima mengantarkan pesanan pembeli cantik itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkrut Usai Ceraikan Istri (Ibuku Sayang Ibuku Malang)
Ficțiune generalăSudah TAMAT .... Semua part masih lengkap .... "Uang anak perempuan yang telah bersuami itu haram hukumnya dinikmati oleh orangtuanya, Mir!" hardik suamiku sembari merampas uang sepuluh ribuan kertas dari tangan Ibu kandungku. *** Mira seorang wani...