"Kandungan Ibu Mira dalam keadaan sehat, bulan depan jangan lupa kontrol lagi ya!" pinta Bu Bidan di klinik desaku.
"Baik, Bu. Terimakasih ya."
"Iya sama-sama."
Aku yang sudah selesai diperiksa oleh Bidan di klinik ini segera keluar dari dalam ruangan dan Ibu-Ibu hamil yang sedang menunggu gilirannya kini mulai berdiri dan masuk ke dalam ruangan Bu Bidan setelah aku keluar dari ruangan itu.
Aku berjalan kaki kembali ke warungku yang saat ini sedang ditunggui oleh Mas Badrun. Jarak dari rumah atau warung ke klinik desa ini tidak terlalu jauh, jadi aku tidak terlalu kepayahan jika harus bolak balik sebulan sekali ke klinik itu untuk memeriksakan kandunganku.
Kuusap perut yang sudah mulai membuncit ini, "Sayang, sehat-sehat ya kamu." ucapku pada jabang bayi yang ada diperutku.
Usia kandunganku saat ini sudah menginjak bulan kelima dan aku juga sudah mempunyai rumah sendiri bersama dengan Mas Badrun yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah mertuaku. Rumah kami tepat ada di belakang rumah Kakak Iparku.
Dulu sewaktu usia kandunganku menginjak tiga bulan, kami diminta untuk membangun rumah sendiri dan kebetulan saat itu tanah yang ada di belakang rumah Kakak Iparku akan dijual dengan harga yang murah. Akhirnya aku dan suamiku membeli tanah kosong itu yang kemudian langsung dibangun sebuah rumah sederhana.
Akta tanah rumah itu diatas namakan suamiku, padahal aku minta untuk diatas namakan bersama, tapi kata petugasnya tidak bisa, dan karena yang waktu itu mengurus balik nama tanah itu adalah Mas Badrun, maka nama Mas Badrun lah yang akhirnya tertera di akta tanah rumah kami.
Aku sempat protes, namun aku malah dibentaknya. "Kamu jadi istri serakah banget. Cuma nama doang dipermasalahkan. Lagipula kita kan usahanya bareng-bareng." arghhh, kesal rasanya jika mengingat kata-kata bentakan itu. Akhirnya aku memilih untuk mengalah dan membiarkannya, toh Mas Badrun bilang kalau kita akan hidup sampai kakek nenek bersama-sama selamanya.
Aku sudah semakin dekat dengan warungku yang letaknya masih tetap berada di depan rumah mertuaku.
Kulihat ada seorang pembeli yang sedang melongok-longok ke dalam warungku, sepertinya dia akan membeli sesuatu. Kulangkahkan kedua kakiku ini untuk segera sampai di warungku sebelum pembeli itu pergi. Aku tidak mau mengecewakan satu pun pembeli yang singgah di warungku.
"Mas Badrun ke mana sih?" gumamku bertanya-tanya.
Pembeli itu yang sepertinya sudah capek memanggil-manggil akan berbalik pergi tapi aku segera memanggilnya agar tak jadi pergi.
"Bu Wina!"
Pembeli itu berbalik melihat ke arahku yang saat ini sedang berjalan mendekat, aku langsung tersenyum manis ke arah pembeliku.
"Maaf ya, tadi aku habis memeriksakan kandunganku," ucapku seraya mengelus perut buncitku.
"Oh iya tidak apa-apa, Mbak Mira. Pantesan aja dari tadi aku panggil nggak ada yang nyaut. Biasanya kan Mbak Mira gercep banget gitu pas ada pembeli yang datang."
"Hehe," aku nyengir sambil mulai membuka pintu warung. "Mau beli apa, Bu?"
"Saya mau masak opor ayam. Tolong bumbu-bumbu opor ayamnya ya Mir untuk satu kali masak."
"Ayamnya yang berapa kilo, Bu?"
"Satu kilo setengah."
"Oh, oke oke. Lalu apa lagi, Bu?" tanyaku yang saat ini mulai memasukkan bahan-bahan bumbu opor ayam ke dalam sebuah plastik.
"Kopi DEF-nya satu renceng ya, Mir."
"Sip. Terus?"
"Sampo orang aring dua sachet,"
"Terus?
Aku terus menanyakan semua barang belanjaan yang ingin dibeli oleh pembeliku ini, setelah itu mentotalnya dan pembeli itu membayarnya dan aku menyerahkan barang belanjaannya.
"Sering-sering mampir ya, Bu." ucapku yang mengiringi kepergian pembeliku yang tersenyum puas karena semua kebutuhannya sudah terpenuhi.
Kini aku kembali melihat ke area warung sebelah utara dan kulihat suamiku sedang tertidur di atas karpet.
'Kok bisa-bisanya tetap tidur saat ada pembeli yang teriak-teriak manggil,' batinku sembari aku menggeleng-gelengkan kepalaku.
'Tidak apa-apa lah aku capek sendiri, toh nanti juga aku yang akan menikmati semua jerih payahku' batinku mencoba menyabarkan hati ini yang kadang kesal karena aku yang lebih banyak mengeluarkan tenaga dibandingkan suamiku.
Tap tap tap.
Aku mendengar ada suara langkah kaki yang berlari ke arah warungku.
"Mbak Mira, Mbak Mira!" kulihat Rizal tengah ngos-ngosan karena kelelahan berlari.
"Ada apa, Zal?"
"Itu Mbak, Bu Jum kecelakaan."
"Apa!" aku memekik kaget.
"Berisik!" bentak Mas Badrun yang merasa terganggu dengan suaraku.
"Mas, Ibuku kecelakaan. Aku pergi dulu ya." pamitku yang langsung keluar dari dalam warung dan kini aku minta diantarkan oleh Rizal ke tempat Ibuku berada.
"Ibu ada di mana, Zal?"
"Bu Jum saat ini sedang berada di rumah Pakde Karto. Tadi beliau yang menolong Bu Jum yang sepertinya terpeleset jatuh dari tebing sana." tunjuk Rizal ke arah barat.
"Astaghfirullah,"
Kini aku sudah sampai di rumah Pakde Karto. Dapat kulihat Ibuku sedang diperiksa oleh dokter yang bertugas di klinik desaku ini.
"Keadaan Ibuku bagaimana, Dok?"
"Keadaannya cukup parah, kemungkinan sudah tidak bisa bekerja berat-berat lagi seperti sebelumnya."
"Astaghfirullah,"
Ada beberapa memar di tubuh Ibuku dan yang paling parah memar di bagian kakinya yang terlihat begitu besar dan kebiruan.
"Obat ini diminum secara teratur ya. Jangan lupa oleskan salep-salep ini juga ke bagian-bagian yang memar." pesan Dokter itu.
"Baik, Dok."
Saat ini Ibuku telah berpindah ke rumahku dengan dibantu Pakde Karto dan juga Rizal yang menandu Ibuku agar tidak perlu berjalan karena kondisinya tidak memungkinkan.
Di rumahku ada satu kamar kosong yang berisi barang-barang dagangan. Aku pindahkan barang dagangan itu ke ruang tamu dibantu oleh Rizal dan Pakde Karto.
Setelah itu, Rizal dan Pakde Karto kuminta untuk memindahkan satu kasur di kamarku ke ruang kamar yang akan dipakai oleh Ibuku. Ibuku kini dibaringkan ke atas kasur yang sudah diletakkan di atas lantai kamar ini.
"Makasih ya Pak Karto, Rizal, sudah membantu saya membawa pulang Ibu saya ke rumahku.
"Iya sama-sama." jawab mereka serentak.
Setelah itu mereka langsung pamit pulang dan suamiku yang sedari tadi tidak kelihatan batang hidungnya dan tidak menyusulku ke rumah Pak Karto mulai masuk ke dalam rumah.
"Mir, kok barang dagangan ada di ruang tamu?"
"Soalnya kamar itu ditempati oleh Ibuku, Mas."
"Tck," suamiku berdecak kesal. "nyusahin aja."
"Astaghfirullah, kok Mas bilang gitu? Dia itu Ibuku lho."
"Iya, dia Ibumu, tapi bukan Ibuku. Kalau yang terbaring di kamar itu Ibuku sih tidak apa-apa. Tapi dia Ibumu lho, kamu ini anak perempuan. Harusnya kamu itu nggak usah ngurusin Ibumu. Itu bukan kewajibanmu, kewajibanmu itu ya ngurusin suamimu ini."
"Astaghfirullah, Mas."
***
Kok Otor pen cekek si Badrun ya ....
Emosi jiwa nulis part ini ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkrut Usai Ceraikan Istri (Ibuku Sayang Ibuku Malang)
Ficción GeneralSudah TAMAT .... Semua part masih lengkap .... "Uang anak perempuan yang telah bersuami itu haram hukumnya dinikmati oleh orangtuanya, Mir!" hardik suamiku sembari merampas uang sepuluh ribuan kertas dari tangan Ibu kandungku. *** Mira seorang wani...