Tiga bulan kemudian warung Badrun sudah resmi bangkrut dan tidak beroperasi lagi. Semua barang dagangan yang dulu menumpuk tidak habis terjual, lama-kelamaan mulai berkurang karena tikus gembul di keluarga besarnya masih gemar mengangkut barang dagangan yang tersisa ke rumah mereka masing-masing.
Rumah Badrun dan tanah kebun yang dulu dijadikan sebagai jaminan ke Bank untuk mencairkan uang seratus juta telah disita oleh Bank dan dikunci paksa agar tidak bisa ditinggali lagi oleh Badrun karena Badrun tidak ada itikad baik untuk mencicil hutang-hutangnya.
Badrun sungguh dilema, antara mencicil hutang-hutangnya dengan uang yang tersisa atau memilih untuk tetap menyimpan uang tersebut di dalam kotak penyimpanannya.
Dia berpikir jika dirinya tetap mencicil hutangnya maka di masa mendatang saat semua uang pegangannya sudah habis, dia mau mencicil pakai apa lagi? Sementara dirinya tidak mempunyai pekerjaan tetap.
Akhirnya Badrun memilih untuk merelakan rumah dan tanah kebunnya disita oleh Bank, toh cepat atau lambat rumah dan kebunnya akan disita oleh Bank. Ini hanya masalah waktu saja, pikirnya.
Badrun yang sudah tidak punya tempat tinggal akhirnya numpang di rumah mertuanya bersama istrinya Santi yang sebentar lagi akan melahirkan karena perkiraan Bidan bisa lebih cepat dari tanggal yang sudah ditentukan atau lebih lambat dari tanggal yang sudah ditentukan.
Badrun sudah tidak bisa lagi tinggal di rumah Bu Saadah yang sebenarnya sudah diwariskan kepada anak bungsu perempuan kesayangannya itu yaitu Reni, dan kamar yang dulu dipakai oleh Badrun dan Mira kini ditempati oleh adik bungsu laki-lakinya Badrun yang sudah menikah juga.
Kini tiap hari Badrun harus menahan sakit hati karena ucapan mertuanya yang terus menyindirnya dan misuh-misuh kepadanya karena dia sudah kembali menjadi orang melarat lagi.
Tidak ada lagi keglamoran dalam pakaian yang dia kenakan atau dari makanan yang terhidang di atas meja sebab mereka semua harus serba hemat. Menghemat uang yang masih tersisa di tangan Badrun agar saat Santi melahirkan ada cadangan uang untuk jaga-jaga.
"Nyesel aku nikahin anak gadisku ke kamu, Drun." ucap Ibu mertuanya Badrun. "Dulu aku kira kamu itu bakalan tetap sukses, eh tahunya nggak nyampe setahun sudah balik lagi jadi orang miskin." sindirnya.
"Mau gimana lagi Bu. Saingan warungku aja berat banget, mana bisa aku menang." jawab Badrun yang lagi-lagi menjadikan warung Mira sebagai alasan kebangkrutannya.
"Halah, alasan. Bilang saja kamu tidak becus ngurus warungmu. Jangan-jangan kamu dulu bohong ya?"
"Bohong masalah apa, Bu?"
"Dulu kamu bilang kalau yang memajukan warung itu bisa sampai sesukses itu adalah kamu, dan kamu juga membanggakan dirimu sendiri bahwa rumah dan tanah yang dibeli pakai uang warung itu berkat kepandaianmu mengurus warung, lalu kenapa setelah kamu bercerai dengan Mira malah jadi bangkrut kayak gini? Jangan-jangan kunci sukses warungmu dulu itu terletak pada Mira ya?" tebak Ibu Romlah.
"Bukan, Bu. Kunci suksesnya ada padaku." kilah Badrun yang tetap membela dirinya sendiri.
"Tapi kenapa kamu kalah pas saingan sama si Mira?" lirik Bu Romlah dengan pandangan sinisnya meremehkan.
"Kayaknya si Mira pakai penglaris, Bu." tuduh Badrun.
"Mana mungkin pakai penglaris, wong keluarganya Pak Imron paling anti sama hal-hal musyrik kayak gitu. Belum lagi Ibunya si Mira, si Jum, dia kan paling anti juga sama hal-hal begituan. Udah, kamu terima saja kekalahanmu itu, jangan suka ngeles lagi."
Badrun hanya diam.
"Sudah, cepet kamu susul Bapaknya Santi di sawah, bantuin dia garap sawahnya, jangan hanya mau numpang enaknya doang ya tinggal di rumah ini."
"Baik, Bu."
Sepeninggal Badrun, Bu Romlah merutuki nasib malang yang menimpanya. Alih-alih dapet menantu kaya, eh malah dapet mantu zonk.
***
Bu Saadah dan semua anak-anaknya yang suka sekali jadi benalu dan merecoki rumah tangga anak dan saudara laki-lakinya kini memiliki inang yang baru. Kali ini target mereka adalah Mas Budi, anak nomor dua setelah Ingah.
Mas Budi dan Istrinya Ina menjadi orang yang sukses karena pekerjaan Mas Budi sebagai supir kepercayaan membuatnya bisa mendapatkan gaji di atas rata-rata. Selain itu Ina istrinya yang memang dari kalangan orang berada yang memiliki sawah yang luas membuat keluarga kecil mereka hidup makmur.
Awalnya mereka tinggal di rumah orangtua Ina, namun setelah berhasil mendirikan rumah di desa Kincir, mereka pindah dari rumah orangtuanya Ina ke rumah mereka sendiri yang jarak rumahnya dengan rumahnya Bu Saadah dan saudara-saudaranya Mas Budi tidak terlalu jauh, hanya seratus meteran kurang lebihnya.
***
Badrun saat ini sedang dalam perjalanan ke sawah mertuanya, dia memandangi rumah gedong mewah yang telah berhasil dibangun oleh Mira.
Mira saat ini sudah tersohor sekampung Kincir menjadi orang kaya nomor satu di desa ini sebab tanah dan sawah yang dimiliki oleh Mira dan Ibunya sangatlah luas.
Semuanya berkat dari kesuksesan warungnya dan juga kiriman uang dari para kakak-kakak kandungnya yang rutin mengirimkan uang dengan jumlah yang fantastis untuk Ibunya setiap bulan.
Mira yang dipercaya oleh kakak-kakaknya untuk memegang dan mengelola uang kiriman mereka untuk Ibu mereka tidak seenaknya membelanjakan uang itu untuk kepentingan pribadinya. Mira menyimpan semua uang yang kakaknya kirimkan ke rekening Ibunya dan jika ada orang yang menawarkan tanah, barulah dia akan mempergunakan uang itu untuk membeli tanah yang ditawarkan dan sertifikat tanah pun atas nama Ibunya.
Jika suatu saat nanti Ibunya telah wafat maka semua uang yang ada di tabungan dan juga tanah milik Ibunya akan dibagi dengan hukum pembagian warisan sesuai dengan syariat Islam.
Tanpa uang kiriman dari para kakaknya pun, Mira juga sudah mampu untuk menyenangkan Ibunya dan dirinya sendiri beserta buah hatinya sebab warungnya kini semakin bertambah besar saja dan pendapatannya juga berkali-kali lipat karena Mira dan juga Rizal menjadi seorang Bos gula merah di kampung Kincir.
Dalam waktu tiga bulan saja, dia bisa membeli sawah dengan uangnya sendiri dan membangun rumah gedong dipinggir jalan dengan uangnya sendiri pula.
Mira akhirnya membeli tanah dan rumah kerabat Pak Imron yang dulu dipakai menjadi gudang penyimpanan barang dagangannya. Dikarenakan pemilik rumah sudah betah di perantauan dan sudah punya rumah dan tanah sendiri juga disana, jadinya rumah beserta tanah yang ada di kampung Kincir dia tawarkan kepada Pak Imron untuk membelinya dan Pak Imron menawarkannya kepada Mira yang langsung diangguki dengan cepat oleh wanita itu yang memang ingin mempunyai tanah pinggir jalan aspal di kampungnya.
Badrun semakin iri saja dengan kesuksesan yang Mira raih dalam waktu singkat, ada banyak rasa penyesalan dalam dirinya, seandainya dulu dia tidak menceraikan Mira dan tetap mempertahankannya dan memaksa wanita itu untuk mau dimadu olehnya, mungkin saat ini dirinya juga sudah ikut merasakan dan menikmati kesuksesan yang telah Mira dapatkan dalam waktu yang singkat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkrut Usai Ceraikan Istri (Ibuku Sayang Ibuku Malang)
General FictionSudah TAMAT .... Semua part masih lengkap .... "Uang anak perempuan yang telah bersuami itu haram hukumnya dinikmati oleh orangtuanya, Mir!" hardik suamiku sembari merampas uang sepuluh ribuan kertas dari tangan Ibu kandungku. *** Mira seorang wani...