Warung dan Rumah Diklaim Suami dan Ibu Mertuaku

2.3K 132 3
                                    

Aku memilih untuk mengantarkan Ibuku pulang ke rumahnya dulu karena aku tidak ingin kesehatan tubuhnya yang belum sehat benar menjadi buruk kembali.

Dengan modal janji kepada Bu Supri, aku memberanikan diri untuk meminta makanan terlebih dahulu sebab Ibuku pasti sudah sangat kelaparan.

"Bu Supri, aku boleh minta nasi sama lauk pauknya dulu nggak buat Ibuku?"

"Boleh, lauknya mau pakai apa, Mir?"

"Campur aja, Bu."

Dengan cekatan Bu Supri mewadahi makanan ke atas kertas nasi yang sedang dia pegang. Lalu dia memberikan sebungkus makanan yang sudah dia masukan ke dalam kantong kresek kecil k arahku.

"Bayarnya nanti ya, Bu." ucapku sambil menerima uluran makanan itu.

"Iya," angguk Bu Supri.

Aku segera mengantarkan makanan untuk Ibuku.

"Bu, dimakan ya! Mira mau balik ke warung lagi."

"Iya, Nduk. Makasih ya,"

"Iya, Bu, sama-sama."

Seusai pamit kepada Ibuku, aku segera kembali ke warung dan ingin berembug dengan Mas Badrun. Bukan tentang rujuk, tapi tentang rumah yang kami tempati, siapa yang mau menempatinya dan siapa yang mau membayarnya harga separuhnya. Meski rumah itu dibangun dengan uang yang hasil dari jerih payahku tapi tak apalah jika harus berbagi harta gono-gini karena uang Mas Badrun juga ada yang keluar saat membiayai pembangunan rumah itu meski tidak ada satu persennya. Kalau masalah warung, tentu saja warung itu adalah hakku sepenuhnya karena warung itu dibangun dengan modal dari Ibuku dan tidak ada campur tangan suamiku dan tidak ada campuran modal dari suamiku sepeserpun dalam mengembangkan warungku itu.

Aku menuju ke arah warungku dulu karena aku ingat Rizal sedang aku titipi warungku, aku tidak mau dia menunggu terlalu lama.

Saat aku sampai ke warungku, di sana sudah ramai orang, ada Ibu mertuaku, Kakak Iparku beserta para suaminya, dan juga Adik Iparku beserta suaminya, dan Mas Bandrun tentunya. Mereka seperti sedang mengamankan warungku dari pemiliknya yaitu aku.

"Kamu ngapain ke sini lagi? Kamu kan sudah diceraikan sama Badrun." sinis Ibu mertuaku.

"Ini warungku, Bu. Jadi mau diceraikan kek, mau nggak kek, nggak ada hubungannya ya." sinisku balik.

"Heh, warung ini itu dibangun di atas tanahku ya, jadi otomatis warung ini milikku dan juga milik anakku yaitu Badrun."

"Cuma tanahnya doang, tapi isinya itu semuanya bukan milik kalian karena modalnya aja nggak ada sepeserpun uang kalian yang turut serta."

"Enak aja kalau ngomong. Kami yang sudah modalin warung kamu ya. Jangan suka menghilang-hilangkan uang kami."

"Ibu lagi mimpi ya? Apa lagi ngelindur? Uang kalian yang mana yang jadi modal? Semua modal itu dari uang hasil penjualan cincin Ibuku."

"Kamu yang tidak tahu terimakasih. Sudah warung dimodalin, tempat pakai lahan punyaku, eh nggak pernah ngasih uang sedikitpun ke yang punya tanah."

"Ibu jangan suka fitnah ya. Aku selalu rutin kasih uang sewa, belum lagi bayar tagihan listrik. Uang keuntungan dari warung juga Ibu selalu dapat tiga juta kan? Padahal Ibu tuh nggak berhak buat dapetin uang itu."

"Kamu yang jangan suka fitnah, jangankan uang tiga juta, bantu bayar listrik pun nggak, apalagi bayar uang sewa."

"Ibu jangan suka menghilang-hilang kan ya,"

"Diam kamu Mira," Kakak Ipar dan Adik Iparku mulai maju membantu Ibunya.

"Kamu itu mantu nggak tahu diri, udah numpang, dimodalin pula, eh malah jadi kacang lupa kulitnya." cerca Reni Adik Iparku.

"Iya dasar mantu nggak tahu diri!" sorak anggota keluarga yang lain.

Aku sungguh tidak kuat jika harus melawan mereka satu persatu, belum lagi mereka pintar sekali membolak-balikkan fakta dan kini mengklaim warung ini itu milik mereka.

Bukk.

Mas Badrun melemparkan tas berisi baju-baju ke arah tubuhku, aku segera melindungi area perutku karena aku tidak mau calon anakku terluka.

"Sana kamu pergi, Mir!" usirnya. "Jangan lagi kamu menginjakkan kaki di warungku dan juga rumahku."

"Kamu jangan suka ngaku-ngaku ya, Mas."

"Kamu yang nggak tahu diri jadi istriku, udah dikepenakin malah ngelunjak dan suka ngelawan. Ya jangan salahkan aku kalau kamu aku ceraikan." sinisnya.

"Sana kamu pergi!"

"Sana kamu pergi!"

Semua anggota keluarga Mas Badrun mendorongku dan mengusirku dari tempat ini. Tubuhku oleng karena terus didorong oleh mereka, untungnya Rizal masih ada di sini dan dia menahan tubuhku agar tidak terjatuh.

Aku dibantu Rizal menjauh dari orang-orang yang mengerikan itu, lalu kami berjalan ke salah satu pejabat desa di dekat rumah kami dan mengadukan permasalah kami.

"Pak, tolonglah, bantu saya untuk mendapatkan hak yang sudah menjadi hak saya. Warung yang saya bangun dari nol diaku-aku atau diklaim menjadi milik Ibu mertuaku dan suamiku."

"Maaf Mir sebelumnya, kamu punya bukti nggak kalau warung itu punya kamu?"

Aku terdiam.

"Kamu nggak punya bukti kan? Ya berarti warung itu punya Bu Saadah dan Badrun. Dibangunnya juga di lahan mereka kok."

"Tapi meski nggak ada bukti, warung itu memang punyaku, Pak." aku tetap bersikeras.

"Ya sudah, ya sudah, nanti Bapak ikut bantu sebisanya ya."

"Makasih ya, Pak."

"Iya, sama-sama."

***

Aku pulang ke rumah ditemani oleh Rizal karena anak itu takut aku kenapa-kenapa di jalan setelah mengalami hal buruk ini.

"Zal, udah deket kok. Kamu pulang saja gih! Takutnya kamu lagi dicariin sama Bapak dan Ibu kamu."

"Nggak bakalan, Mbak. Mereka jam-jam segini sudah berangkat ke sawah."

"Mbak beneran nggak apa-apa, Zal. Kamu sudah boleh pergi kok."

Rizal yang terus aku minta pergi akhirnya mengalah dan pamit pulang.

"Kalau gitu Rizal pulang dulu ya, Mbak. Mbak Mira hati-hati jalannya, kalau jatuh takutnya dede utun di dalam rahim Mbak kenapa-kenapa."

"Iya, Zal. Makasih ya sudah perhatian banget sama Mbak."

"Iya, Mbak sama-sama."

Rizal mulai berbalik pergi ke arah rumahnya dan aku kini mulai melangkahkan kakiku ke arah warung Bu Supri untuk mengabarkan kalau aku belum bisa membayar makanan yang tadi aku minta terlebih dahulu.

"Bu Supri," cicitku saat aku sudah sampai di depan warung Bu Supri yang tengah menyapu halaman.

"Eh Mira, mau bayar makanan tadi ya," tuturnya dengan senyum sumringah karena mengira aku akan segera membayar sebungkus makanan untuk Ibuku.

"Anu, itu, aku belum bisa bayar sekarang, Bu. Aku baru saja kena musibah. Jadi sedang tidak pegang uang sepeser pun."

"Inalillahi, ya sudah tidak apa-apa, Mir."

"Makasih ya, Bu."

"Iya, sama-sama."

Aku lalu berbalik pergi untuk menuju ke rumah Ibuku tapi aku melihat dan merasa seperti ada orang yang memperhatikanku dari jauh.

"Kok kayak ada orang yang lagi ngintip dari balik tembok itu ya," gumamku.

Aku mengusap area leherku yang sedikit meremang.

***

Bangkrut Usai Ceraikan Istri (Ibuku Sayang Ibuku Malang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang