"Nduk, diminum dulu teh manisnya!" pinta Ibuku.
"Ya Allah, Bu, kenapa repot-repot buatin Mira teh manis. Ibu masih sakit, mending Ibu istirahat saja."
"Nggak apa-apa, Nduk. Wong cuma buat teh manis doang kok. Ibu nggak merasa repot."
Senyum manis Ibuku terbit di wajahnya yang sendu. Aku pun turut tersenyum meski hati dan pikiran ini tengah resah karena tidak punya uang sepeser pun. Tabungan Ibuku? Sudah tidak ada yang tersisa sedikit pun, semuanya telah ditransferkan ke nomor rekening Mas Hendri. Aku tidak merasa marah atau jengkel sedikit pun. Aku tahu watak para kakak-kakakku, mereka bukanlah anak yang durhaka dan juga bukan anak yang suka memoroti orang tuanya. Mas Hendri sampai berani meminta dikirimi uang oleh Ibu pasti itu karena ada sesuatu yang mendesak. Mudah-mudahan kakak-kakakku di tempat perantauan bersama dengan keluarga kecilnya baik-baik saja dan diberikan kemudahan dalam berusaha dan semoga senantiasa diberikan kesehatan.
Setelah mendo'akan kedua kakakku dalam hatiku, tiba-tiba aku teringat dengan keluhan Bu Sukri dan Bu Laksmi yang malas jika harus menyetrika baju yang menumpuk.
'Oh iya, Bu Sukri sama Bu Laksmi kan pernah bilang kalau ada orang yang menjual jasa setrikaan, mereka pasti akan menyewa jasa tukang setrikaan. Ah, mending aku jadi tukang setrikaan saja ah, siapa tahu itu bisa jadi jalan rezekiku kedepannya.' batinku.
"Bu, Mira pamit pergi dulu ya! Mira ada sesuatu yang perlu untuk diurus."
"Iya, Nduk. Kamu hati-hati, ya!"
Aku mulai beranjak dari dudukku dan segera keluar dari dalam rumah untuk menuju rumahnya Bu Sukri dan Bu Laksmi. Tidak butuh waktu lama, aku sudah sampai di depan rumahnya Bu Sukri dan Bu Laksmi yang memang bersebelahan. Rumah mereka tepat berada di sisi jalan aspal dan halaman rumah mereka juga cukup luas, buat parkir mobil, truk, dan yang lainnya juga masih muat banyak.
Kumantapkan tangan ini untuk mengetuk rumah Bu Laksmi terlebih dahulu karena Bu Sukri hari ini katanya lagi pergi ke luar kota jengukin anak mantunya.
"Assalamu'alaikum," salamku dengan suara yang cukup lantang.
Pintu berderit terbuka dan Bu Laksmi langsung tersenyum melihat kedatanganku.
"Eh, Mira. Kebetulan sekali kamu kesini," ucapnya ramah, "ayo masuk-masuk!" ajaknya mempersilakanku untuk masuk ke dalam rumah.
"Silakan duduk, Mir!"
Aku mulai duduk di salah satu kursi di ruang tamu ini.
"Begini, Bu. Maksud tujuan saya datang kesini mau menawarkan jasa untuk menyetrika baju-baju Bu Laksmi." tuturku.
"Maaf, Mir, tapi Ibu nggak bisa biarin kamu nyetrika baju di rumah Ibu."
"Kenapa Bu?" tanyaku yang merasa kecewa karena mendengar jawaban dari Bu Laksmi. "Bukankah kemarin-kemarin Ibu bilang ingin menyewa jasa tukang setrikaan?"
"Iya sih, memang. Tapi Ibu mau nyewa jasa orang lain saja."
Aku menunduk kecewa.
"Kamu jangan sedih ya, Mir, karena tidak bisa mendapatkan job untuk menyetrika baju. Ibu sama Rizal tadi berunding dan akhirnya sepakat mau gunain uang pemberian dari kamu selama ini buat modal usaha kamu di depan rumah Ibu."
Aku mengangkat wajahku, "Maksud Ibu apa?"
"Ibu mau kamu ngewarung mendoan lagi, Mir! Ibu sudah dengar tentang musibah yang menimpa kamu pagi ini. Dan akan sia-sia sekali bakat dagang kamu kalau tidak dipergunakan dengan baik. Ibu yakin rejeki itu sudah ada porsinya masing-masing. Meski rumah Ibu dengan rumah Ibu Saadah tidak terlalu jauh, tapi Ibu yakin, pasti akan ada pembeli yang membeli di warung baru kamu."
Aku mengerjapkan kedua mataku karena tidak percaya dengan pendengaranku saat ini.
"Ibu mau aku buka warung di depan rumah Ibu? Maksudnya begitu kan?"
"Iya, Mir." angguknya. "Untuk masalah bangunan warung, modal dan lain-lain kamu tidak usah khawatir karena uang yang selama ini kamu kasih buat rizal masih utuh dan bisa buat modal buka warung dan juga bangun warung."
"Alhamdulillah, makasih ya, Bu." aku segera menyalami tangan Bu Laksmi. Aku sangat menyambut baik rencana baik Bu Laksmi ini dan aku yakin beliau dan keluarganya adalah orang-orang yang baik dan tidak akan mungkin hanya memanfaatkanku saja. Buktinya semua uang yang aku kasih selama ini masih tersimpan utuh ditangan mereka, padahal uang itu memang sudah jadi miliknya Rizal.
"Tapi,"
"Tapi kenapa Bu?" hatiku mulai deg-degan.
"Tapi kita nanti akan pakai surat perjanjian kerjasama dan penyerahan uang juga akan disaksikan sama Pak Haji Ramli dan juga Pak Haji Ganjar. Maaf kalau kita pakai acara surat perjanjian segala. Kami hanya ingin mengantisipasi agar dikemudian hari Bu Saadah dan Badrun tidak bisa mengaku-ngaku lagi modal warung usahamu. Ibu tahu bagaimana sifat mereka, pasti mereka nanti akan menuduhmu memakai uang dari warungmu yang lama dan dengan mudahnya mereka bisa mengambil alih isi warung barumu. Dengan adanya surat perjanjian ini, kamu bisa tenang menjalankan usahamu dan tidak waswas lagi direbut lagi usaha warungmu. Nanti disurat perjanjian kerjasama, kamu berhak mendapatkan limapuluh persen keuntungan dan Rizal juga mendapatkan limapuluh persen keuntungan bersih. Dan selain keuntungan lima puluh persen, kamu juga boleh mengambil uang untuk bayaran keringatmu mengurus warung."
"Makasih banyak ya, Bu. Saya nggak keberatan sama sekali dengan surat perjanjian kerjasama itu. Saya malah bisa bernapas dengan lega karena tidak perlu waswas lagi akan didepak dari tempat usaha karena sudah ada perjanjian hitam di atas putih nantinya. Makasih juga Ibu dan keluarga sudah berbaik hati menawarkan kerjasama ini, padahal saya nggak punya uang sepeser pun untuk memodali usaha ini."
"Ssttt, semua uang yang jadi modal itu awalnya memang uang kamu, Mir. Kebaikan kamu dan kejujuran kamu dulu yang selalu rajin ngasih uang persenan keuntungan untuk Rizal kini bisa kamu gunakan untuk membangun usahamu kembali dari nol. Tapi kalau ada yang nanya-nanya yang modalin siapa, kamu jawab aja yang modalin Ibu sama Bapak ya! Ibu nggak mau uang modal ini diembat juga sama Bu Saadah dan Badrun." dengus Bu Laksmi.
"Iya, Bu." anggukku cepat.
"Maaf ya, Mir, karena dulu Ibu sama Bapak nggak ngasih peringatan buat kamu. Sebenarnya Ibu dan Bapak tahu sifat asli mereka sekeluarga itu kayak apa, tapi kami nggak mau dikira lagi halang-halangin jodoh orang."
"Iya, Bu. Nggak apa-apa. Aku ngerti kok."
"Kalau gitu kamu jangan dulu pulang ya! Pak Haji Ramli dan Pak Haji Ganjar sedang dijemput sama Bapak dan Rizal agar segera datang kemari. Tadi niatnya Ibu mau ke rumah kamu, eh alhamdulillah malah kamu yang nyamperin duluan, hahaha,"
"Iya, Bu." anggukku cepat dengan senyum yang menyungging di bibirku.
Ya Allah, makasih atas berkahmu yang langsung memberikan pertolongan kepada hambamu ini yang sedang membutuhkan pertolongan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkrut Usai Ceraikan Istri (Ibuku Sayang Ibuku Malang)
General FictionSudah TAMAT .... Semua part masih lengkap .... "Uang anak perempuan yang telah bersuami itu haram hukumnya dinikmati oleh orangtuanya, Mir!" hardik suamiku sembari merampas uang sepuluh ribuan kertas dari tangan Ibu kandungku. *** Mira seorang wani...