Aku dan Pak Imron mulai mengangkut semua barang-barang, baik itu papan, asbes, paku, dan kebutuhan bangunan lainnya dari rumah Ibuku.
Anak bungsu Pak Imron yang bernama Rizal juga sudah ikut membantu kami memindahkan semua barang-barang ini.
Dengan cekatan Pak Imron mulai membangun warung kecil di depan rumah Ibu mertuaku dibantu oleh Rizal, sedangkan suamiku saat ini sedang ngopi di dalam rumah, dia memang sengaja tidak keluar, mungkin takut dimintai tolong oleh Pak Imron.
Sore harinya warung kecil-kecilan milikku sudah berdiri dan sudah beres dikerjakan oleh Pak Imron dan anak bungsunya.
"Terimakasih banyak ya, Pak." aku mengulurkan uang seratus ribuan di dalam amplop kepada Pak Imron.
"Iya, sama-sama." jawab Pak Imron sambil menerima amplop yang aku berikan.
"Zal, makasih banyak ya sudah bantu-bantu." kini giliran Rizal yang aku sodori amplop putih berisi uang limapuluh ribu.
"Nggak usah, Mbak. Aku cuma bantu-bantu doang kok, Mbak." tolaknya halus.
"Sudah terima saja! Ini uang dari Mbak untuk kamu jajan di sekolah."
Pak Imron menggelengkan kepalanya mengkode agar Rizal tidak menerima uang pemberianku.
"Nggak usah beneran, Mbak. Kalau uang jajan, aku sudah lebih dari cukup setiap harinya dikasih sama Bapak dan Ibu. Mending uang itu buat tambah-tambah modal usaha warung Mbak saja."
"Beneran nih kamu tidak mau Zal?"
"Iya, Mbak." angguk Rizal.
"Lebih baik uang itu kamu simpan saja, Mir. Lumayankan buat nambah-nambah modal usaha." seru Pak Imron.
"Alhamdulillah, makasih banyak lho, Pak, Zal."
"Iya, sama-sama, Mir." sahut Pak Imron.
"Iya, sama-sama, Mbak." sahut Rizal.
"Kami pamit pulang dulu ya, sudah sore soalnya."
"Iya, Pak. Silakan."
Pak Imron dan Rizal pulang ke rumah mereka dan aku saat ini mulai membersihkan warungku. Aku menyapu semua kotoran dan sampah bekas potongan kayu dan papan, lalu membakarnya di seberang jalan depan warung yang di mana di situ memang sering dipakai untuk membakar sampah.
Sudah tiga bulan aku membuka warung mendoan ini dan alhamdulilah respon masyarakat di sekitar warungku luar biasa, mereka selalu memberi masukan kepadaku tentang mendoan dan gorengan buatanku. Ada juga yang menyarankan untuk menyediakan barang jualan lainnya dan aku pun menurutinya.
Ibuku yang masih bisa berjualan tempe masih bekerja seperti sebelumnya, bahkan ketika aku menawarkan gorengan mendoanku, Ibuku selalu membayarnya.
"Bu, kenapa dibayar? Mira niatnya ngasih lho,"
"Usaha kamu masih baru, Mir. Kalau Ibu ambil gorenganmu dengan cuma-cuma nanti uang modalmu habis lho."
"Ya Allah, Bu. Empat gorengan mendoan ini tidak akan mengurangi uang modalku. Hari ini juga Mira sudah dapat untung."
"Ya sudah, uang ini kan bisa jadi tambahan modal buat usahamu, Mir. Buat ngebesarin warungmu ini. Kalau anak Ibu sukses, Ibu bakalan ikut seneng." senyumnya begitu meneduhkan, kedua mataku mulai berair karena terharu dengan kebaikkan Ibuku yang bukan hanya memberikan modal untukku tapi dia juga mendo'akan dan selalu menyemangatiku agar terus berjuang membesarkan warung mendoanku ini.
"Makasih ya, Bu." aku memeluk uang dua ribu rupiah yang diberikan oleh Ibuku.
"Kalau begitu Ibu pamit pulang ya."
"Iya, Bu. Hati-hati ya Bu."
Ibuku mengangguk mengiyakan dan berlalu meninggalkan warungku yang saat ini sedang sepi karena masih siang, biasanya sebentar lagi para pembeli yang membeli gorengan akan mengantri sampai menutupi warung kecilku ini.
Seiring bertambah ramainya warungku, bengkel kecil milik suamiku yang awalnya tidak terlalu ramai kini ikut menjadi ramai dan membuatnya tidak perlu bekerja lagi di tempat lain. Tapi ya begitulah, dia masih menyebalkan seperti dulu. Dia ikut menikmati keuntungan dari warung mendoanku namun dia tidak pernah ikut membantuku. Dia hanya ongkang-ongkang kaki jika pagi hari, sedangkan aku mengayuh sepeda bututku ke pasar di pagi buta dan sebelum pukul enam pagi aku harus segera sampai di warungku karena harus segera menggoreng mendoan.
Berbanding terbalik dengan Ibuku, Ibu mertuaku dan adik ipar dan kakak iparku malah menjadi tikus yang selalu menggerogoti warungku setiap hari.
Mbak Ingah, setiap pagi dia selalu mengambil jajanan pasar yang ada di meja dan hanya mengatakan kalau dia hanya membawa nasi uduk saja satu. Aku tahu kalau dia mengambil lebih, tapi aku hanya diam saja karena aku sadar, aku sedang menumpang jualan di lahan milik Ibu mertuaku. Aku hanya sedang menghindari konflik agar aku bisa terus berjualan di sini.
"Mir, Mir!" bisik Mbak Fitri memanggilku.
Aku yang sedang membuat bumbu untuk mendoanku menoleh dan mulai berdiri, "Ada apa, Mbak?"
"Tadi Mbak Ingah bukan hanya ngambil nasi uduk aja lho. Dia juga ngambil getuk, sosis, kupat, dan sayur kangkung." bisiknya.
Aku hanya tersenyum saja mendengar perkataan Mbak Fitri tetanggaku yang saat ini sedang menggendong buah hatinya yang masih bayi. Dia memang sering berdiri di dekat warungku karena di sini matahari paginya sangat baik sebab tidak terhalang oleh rimbunnya pepohonan.
"Kamu sudah tahu tentang hal ini?" tanya Mbak Fitri yang langsung bisa menebak dari senyumanku ini.
"Iya, Mbak." anggukku.
"Kirain Mbak, kamu belum tahu. Sebenarnya Mbak sudah sering lihat Mbak Iparmu itu mengambil banyak barang daganganmu, tapi Mbak memilih diam saja karena takut dikira mau adu domba. Tapi lama-kelamaan Mbak kasihan sama kamu, takut kamu rugi lama-lama karena tingkah Mbak Iparmu itu."
"Makasih ya Mbak sudah mau mengkhawatirkan aku. Tapi aku juga nggak bisa labrak juga, aku takut kalau nantinya jadi ribut, sedangkan aku masih ingin berjualan di sini."
"Iya juga sih. Kalau gitu kamu yang sabar ya."
"Iya, Mbak." anggukku.
Mbak Fitri mulai menjauh lagi dari warungku dan mulai menjemur buah hatinya kembali yang masih bayi agar mendapatkan vitamin D dari matahari pagi yang sedang bersinar.
Memang betul kata Mbak Fitri, harusnya sayur dan makanan yang dibawa oleh Mbak Ingah bisa menjadi keuntunganku, tapi boro-boro untung, balik modal saja aku sudah sangat bersyukur.
Tidak lama kemudian datang adik iparku yang bernama Reni.
"Mbak minta minyak sayurnya dulu ya, nanti dibayarnya, soalnya belum ada uang receh."
"Iya, ambil saja tuh di dalam ember."
Adik iparku mulai membuka tutup ember dan membawa dua bungkus plastik minyak sayur yang sudah aku takar seperempat kilo per-plastiknya.
"Huft, berkurang lagi deh keuntunganku," gumamku setelah adik iparku pergi dari dalam warung ini.
Aku tidak terlalu mengharapkan adik iparku membayar semua barang daganganku yang diambil dengan jaminan bahwa dia akan membayarnya nanti, karena pada kenyataannya dia tidak akan membayar semua barang-barang itu. Sedangkan aku tidak berani meminta uang bayaran, aku tidak ingin ada keributan yang nanti akan timbul setelah aku meminta uang bayaran kepada adik iparku. Aku tahu wataknya, dia pasti akan bereaksi berlebihan dan ujung-ujungnya satu keluarga besar itu akan mengeroyokku habis-habisan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkrut Usai Ceraikan Istri (Ibuku Sayang Ibuku Malang)
General FictionSudah TAMAT .... Semua part masih lengkap .... "Uang anak perempuan yang telah bersuami itu haram hukumnya dinikmati oleh orangtuanya, Mir!" hardik suamiku sembari merampas uang sepuluh ribuan kertas dari tangan Ibu kandungku. *** Mira seorang wani...