Malam harinya aku yang sedang berbaring di samping suamiku yang sedang ketawa-ketiwi melihat layar hapenya mulai memberanikan diri untuk mengutarakan permintaanku.
"Mas, besok Mas tolong bangun warung kecil-kecilan ya di depan rumah ini! Papan, asbes dan semua kebutuhan lainnya ambil saja di rumah Ibuku, kata Ibu semua barang-barang itu bisa kita pakai dulu."
"Hm," dia hanya menjawab singkat saja. Aku anggap itu jawaban iya atas permintaanku.
Esok harinya, suamiku belum bangun dari tidurnya, mungkin efek karena dia begadang main hape sampai malam.
"Mas," guncangku mencoba membangunkan suamiku. "bangun, Mas! Katanya Mas bersedia membangun warung kecil di depan rumah ini? Ini sudah siang lho,"
"Berisik!" bentaknya sambil menarik selimutnya sampai menutupi seluruh tubuhnya.
"Mas," aku mencoba sekali lagi.
Tiba-tiba suamiku langsung bangun dan meraih gelas yang ada di atas meja dekat ranjang tidur.
Prankk.
"Aaa!" teriakku kaget.
"Kamu itu istri durhaka! Sudah tahu suaminya lagi tidur malah digangguin terus. Kalau mau buat warung ya sana buat sendiri!" bentaknya. "Aku juga tidak yakin warungmu itu akan jalan,"
Aku hanya diam dengan kedua mata yang mulai berair karena mendapatkan perlakuan buruk seperti ini dari suamiku, tidak kah dia ingat tentang janjinya yang akan membahagiakanku? Tapi sepertinya dia sudah hilang ingatan dengan semua janjinya dulu. Bahkan Ibuku yang sudah merawatku sedari kecil, memberiku makan, dan membiayai sekolahku tidak pernah berbuat seperti ini. Tapi suamiku yang belum genap dua bulan menikah denganku sudah berani-beraninya membentakku, memangnya dia sudah memberikan apa padaku? Makanpun hanya lauk seadanya itu pun belum sampai berpuluh-puluh tahun seperti Ibuku yang memberi makan aku. Tidakkah dia malu? Kok sampai tega memperlakukan seperti ini.
Aku kira dia benar-benar laki-laki yang sholeh meski pekerjaannya tidak tetap, tapi nyatanya kesholehannya yang dulu dan keramahtamahannya dulu hanya topeng belaka agar aku mau menerimanya.
Aku keluar dari kamar kami dan segera berjalan menuju Bu Laksmi dan Pak Imron. Aku berniat ingin meminta tolong kepada Pak Imron agar membantuku untuk membangun warung kecil-kecilan di depan rumah Ibu mertuaku.
Sebenarnya jika ada lahan lain, aku ingin membangun ditempat lain saja, namun aku dan Ibuku tidak mempunyai tanah di pinggir jalan, satu-satunya tanah kami hanyalah tanah yang sudah dibangun rumah dan itupun berada di pelosok.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam," jawab Bu Laksmi. "eh, Mira. Ada perlu apa, Mir? Tumben pagi-pagi sudah datang ke rumah Ibu?"
"Pak Imron-nya ada, Bu?"
"Ada,"
"Kira-kira hari ini Pak Imron bekerja tidak ya? Soalnya Mira mau minta tolong untuk dibangunkan warung kecil-kecilan sama Pak Imron."
"Pak! Pak!" Bu Laksmi berteriak memanggil suaminya yang ada di dalam rumah.
"Iya, Bu!" sahut Pak Imron berteriak.
"Ke sini sebentar!"
"Baik, Bu!"
Pak Imron saat ini sedang berjalan ke arah kami, "Eh, ada Mira."
Aku mengangguk sekejap memberikan salam sambil tersenyum.
"Ada apa, Bu?" tanya Pak Imron kepada Bu Laksmi.
"Ini, Mira minta tolong untuk dibangunkan warung kecil-kecilan. Bapak hari ini ada kerjaan nggak?"
"Sebenarnya sih ada, tapi masih bisa diundur kok. Kata Pak Ramli dikerjakan hari apapun boleh, asalkan pas tanggal 10 sudah beres."
"Ya sudah, bantu Mira saja dulu!"
"Iya, deh."
Kini Pak Imron melihat ke arahku, "Semua barang-barangnya sudah ada kan, Mir?"
"Sudah ada, Pak. Ada di rumah Ibuku. Tinggal diambil saja."
"Ya sudah kalau gitu nanti siang Bapak angkutin semua barang-barang, eh tapi kamu mau buat warung di mana?"
"Di depan rumah mertuaku, Pak."
Pak Imron dan Bu Laksmi saling berpandangan, "Oh," Pak Imron mengangguk kaku.
"Mending kamu cari tempat lain saja, Mir!" celetuk Bu Sukri adik dari Pak Imron yang tiba-tiba sudah berada di belakangku sambil membawa semangkuk sayur daun singkong yang sudah matang.
"Memangnya kenapa Bu kalau saya buat warungnya di depan rumah mertua saya?"
"Soalnya me-" belum selesai Bu Sukri menjawab, Bu Laksmi sudah memotong perkataan beliau.
"Huss, Suk kamu nggak boleh bilang yang aneh-aneh." larangnya.
Keningku mengernyit, sebenarnya Bu Sukri mau bilang apa sih? Aku kan jadi penasaran kalau begini ceritanya.
"Kalau gitu saya pamit pulang dulu ya, Pak, Bu!" pamitku yang tidak enak jika berlama-lama di depan rumah ini karena ini memang masih pagi.
"Oh iya silakan."
Pukul 08:05 pagi, Pak Imron datang ke rumah mertuaku, kebetulan aku sedang ada di teras depan rumah karena takut kalau Pak Imron kebingungan saat mau mengambil semua barang-barang yang ada di rumah Ibuku mengingat Ibuku di jam-jam seperti ini pasti sedang berjualan tempe.
"Mir, ayo kita ambil barang-barang yang mau dipakai buat bangun warung. Sekalian panggil suamimu untuk bantu-bantu."
Aku hanya bisa menunduk karena suamiku masih tidur dan tidak mau membantuku membangun rumah.
"Dia lagi sakit, Pak." bohongku yang malu untuk mengakui kalau suamiku tidak mau membantuku dalam proses pembangunan rumah.
"Oh gitu ya. Terus Bapak sama siapa dong kerjanya? Kan kalau hanya sendiri tidak akan mungkin bisa."
Sebuah mobil angkot yang mengangkut murid-murid sekolah menengah pertama berhenti tepat di seberang rumah ini. Terlihat bocah-bocah laki-laki sedang turun dari atas atap angkot lalu memberikan selembar uang dua ribuan.
"Thanks ya, Bro." ucap supir angkot yang mulai menginjak pedal gasnya kembali.
Ada tiga bocah laki-laki yang berhenti di depan sana, dan mereka mulai menyebrangi jalanan. Salah satu dari bocah itu berjalan ke arah kami.
"Assalamu'alaikum, Pak." salamnya sembari mencium punggung tangan Pak Imron.
Dia adalah Rizal anak bungsunya Pak Imron yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
"Wa'alaikumsalam," jawab Pak Imron dan aku karena salam itu memang ditujukan untuk kami berdua.
"Tumben pulangnya gasik, Nak?" tanya Pak Imron kepada Rizal.
"Guru-guru di sekolah mau rapat, Pak. jadinya kami dipulangkan dan diminta untuk belajar di rumah."
"Oh," angguk Pak Imron, "tapi kenapa kamu berhentinya di sini? Bukannya rumah kita ada di ujung sana?"
"Hehe," bocah itu nyengir, "Izal mau mampir ke rumah Nenek dulu, Pak. Kemarin Izal kasih nenek siomay ikan, eh malah minta dibeliin lagi, hehe."
"Ya udah sana anterin siomaynya dulu, trus makan, abis makan langsung ke sini lagi ya, bantuin Bapak bangun warung buat Mbak Mira."
"Beres, Pak. Izal ke rumah Nenek dulu ya."
"Iya, jangan lupa langsung balik ke sini kalau sudah makan!"
"Siap, Pak Bos."
'Harmonis sekali keluarga mereka' batinku iri.
"Ayo, Mir kita pergi ke rumah Ibumu!"
"Iya, Pak." anggukku cepat.
Kami berdua berjalan menuju rumah Ibuku yang ada di pelosok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkrut Usai Ceraikan Istri (Ibuku Sayang Ibuku Malang)
Narrativa generaleSudah TAMAT .... Semua part masih lengkap .... "Uang anak perempuan yang telah bersuami itu haram hukumnya dinikmati oleh orangtuanya, Mir!" hardik suamiku sembari merampas uang sepuluh ribuan kertas dari tangan Ibu kandungku. *** Mira seorang wani...