Setelah kelahiran anak perempuanku, aku resmi menjadi janda secara hukum dan secara agama. Surat janda telah aman berada di tanganku, aku memang sengaja langsung mengambil surat jandaku ini tanpa menunda-nunda waktu, kata Pak Hakim harus dibawa tanggal segini ya aku ambil tanggal itu juga.
Aku ingat kalau Fikri itu teman Mas Badrun dan dia mata duitan, bisa jadi dengan kekuasaannya mereka memanipulasi surat kuasa untuk mengambil surat jandaku juga, yang nantinya akan berujung aku menjadi kesulitan saat ingin menikah lagi dan diharuskan menebus sekian juta atau puluh juta untuk mendapatkan surat jandaku itu dari tangan mereka. Masih mending kalau hanya dimintai tebusan, kalau mereka membakar surat jandaku, bisa-bisa aku hanya bisa menikah siri saja dengan suami baruku nanti dan menyebabkan sulitnya mengurus akta kelahiran untuk anakku kelak. Aku hanya berjaga-jaga saja, bukan berarti aku ingin segera mencari pengganti, rasa-rasanya aku sudah trauma memiliki seorang suami, biarlah waktu yang menjawab, apakah aku akan lebih betah menjanda atau aku akan menjadi seorang istri kembali.
Mas Hendri dan keluarga kecilnya telah berangkat ke perantauan kembali setelah beberapa minggu tinggal di kampungku dan kampung istrinya secara bergantian. Aku begitu kagum dengan kehidupan pernikahan Mas Hendri dan Istrinya. Mereka begitu harmonis dan juga tidak egois satu sama lain. Masih bisa kuingat dengan jelas percakapan mereka dulu sewaktu mereka sedang duduk-duduk di teras depan rumah Ibuku sembari mengopi di gelas yang sama.
***
"Mas, aku mau pulang dulu ke kampung Ibuku, boleh?" tanya Mbak Hanifah kepada suaminya.
"Boleh, Nif. Nanti biar Mas antar kamu kesana, sekalian Mas mau menyerahkan uang yang memang sudah sepantasnya diterima oleh Ibumu dan Ayahmu yang telah berjasa membesarkan wanita cantik dan sholehah seperti dirimu," puji Mas Hendri.
"Jangan suka gombal ih," tangan Mbak Hanifah memukul pelan paha suaminya dengan senyum malu-malu yang menghiasi wajahnya.
"Iya, iya, maaf, Mas kelupaan kalau istri Mas yang pesek ini nggak suka dipuji berlebihan," tangan Mas Hendri menjawil dagu istrinya.
"Makasih ya, Mas," tubuh Mbak Hanifah kini bersandar ke tubuhnya Mas Hendri dengan kepalanya yang menempel di pundak Mas-ku.
"Makasih atas?"
"Makasih karena kamu tidak seperti laki-laki lain,"
"Memangnya laki-laki lain seperti apa?"
"Lebih mementingkan kedua orang tuanya dan abai kepada orang tua istrinya," cebik Mbak Hanifah.
"Nggak semuanya kayak gitu kok, di luaran sana banyak juga kok laki-laki yang adil dan bijaksana, bahkan mungkin lebih baik dari Mas."
"Tapi bagiku kamu yang paling terbaik, Mas. Makasih ya kamu selalu memberikan jatah yang sama besarnya kepada orang tuaku seperti jatah yang kamu berikan kepada orang tuamu,"
"Sudah sepatutnya memang seperti itu. Mana boleh Mas membeda-bedakan jatah antara orang tuaku dan orang tuamu. Orang tuamu adalah orang tua Mas juga, dan sebaliknya orang tua Mas itu orang tuamu juga, Nif. Orang tua Mas telah sangat berjasa membesarkan Mas sampai dewasa, begitu pun kedua orang tuamu, Nif, mereka juga sangat berjasa dalam membesarkanmu sampai dewasa, dan mereka juga dengan ikhlas menyerahkan anak gadisnya yang telah mereka jaga baik-baik kepada Mas. Apakah Mas pantas jika Mas tidak menyayangi mereka juga?"
"Makasih banyak ya, Mas. Nifah janji, Nifah juga akan menyayangi orang tua Mas Hendri seperti sayangnya Nifah kepada orang tua Nifah sendiri,"
***
"Mir, Mir, kamu lagi ngelamun ya?"
"Eh," aku mengerjap kaget saat dibangunkan oleh Bu Laksmi dari lamunanku. "Kenapa, Bu?"
"Ini Mutia udah saatnya dikasih mimik, dari tadi udah mulai rewel dia,"
Bu Laksmi menyerahkan anakku yang sedari tadi telah dia asuh saat aku sedang menjaga warung.
"Sini sini anak Mama," aku mengambil anakku dari gendongan Bu Laksmi.
"Sana kamu susui dulu anak kamu di kamarnya Fahri, biar warung Ibu yang jaga."
"Iya, Bu, makasih banyak ya."
"Iya," angguknya cepat.
Aku mulai keluar dari dalam warung sambil menggendong anak perempuanku untuk menuju ke rumahnya Bu Laksmi. Kamar Fahri yang tengah kosong akibat pemiliknya sedang merantau ke luar kota kini menjadi kamar dadakannya Mutia saat siang hari. Anakku selalu tidur di kamarnya Fahri setelah aku susui, seperti halnya saat ini, dia langsung tertidur lelap, dengan sangat hati-hati aku melepaskan diri dari Mutia agar gadis kecilku tidak terbangun. Kudengar suara pintu kamar berderit dan ada Rizal yang baru pulang dari sekolahnya melongok ke dalam kamar ini.
"Mbak, Mutia lagi tidur ya?" bisiknya bertanya padaku, dia seolah takut kalau suaranya bisa membangunkan anakku dari tidurnya.
"Iya," jawabku tidak kalah berbisiknya.
Rizal mulai berjalan dengan sangat pelan-pelan memasuki ruang kamar ini dan mulai naik ke atas kasurnya Fahri.
"Biar, Izal aja yang jagain Mutia, Mbak. Mbak Mira jaga warung aja," bisiknya lagi.
"Iya," anggukku dengan senyum yang mengembang.
Sungguh bahagia hati ini, dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayangiku dan anakku.
Aku kembali ke warung karena jam-jam seperti ini aku harus sudah mulai mempersiapkan bumbu-bumbu dan bahan-bahan untuk gorengan nanti. Sekitar satu jam lagi, pasti orang-orang sudah mulai berdatangan untuk membeli gorengan di warungku ini.
Alhamdulillah rejeki memang tidak kemana. Semua pelanggan gorengan di warungku yang lama kini ikut pindah juga ke warungku yang baru setelah tahu aku membuka warung baru di depan rumah Bu Laksmi.
"Mutia sudah tidur ya?" tanya Bu Laksmi.
"Iya, Bu."
"Kalau gitu, Ibu mau nemenin Mutia lagi ya," pamitnya yang langsung pergi meninggalkan warung ini.
Tidak lama kemudian muncul Rizal yang sudah berganti pakaian tengah cemberut karena dirinya dikalahkan lagi oleh Bu Laksmi. Aku berusaha menahan senyumku agar dia tidak bertambah kesal.
"Mbak, Ibu licik," serunya mengadu padaku.
"Licik gimana, Zal?" tanyaku pura-pura tidak tahu.
"Masa Ibu nggak mau gantian sama aku, dia terus yang mau jagain Mutia," cebiknya, "padahal Ibu kan sudah dari tadi pagi jagain Mutia, harusnya gantian dong sama aku,"
"Sudah biarin aja, Zal. Mungkin Ibu kamu mau puas-puasin dulu jagain Mutia, kalau tidak salah minggu depan dia sudah harus mulai jaga sawah kan?" tanyaku mengingatkan.
"Eh, iya juga sih. Ya sudahlah, untuk sementara biar Ibu aja yang nguasain Mutia,"
Aku terkekeh mendengar perkataan Rizal yang bilang menguasai menguasai. Sungguh lucu tingkah polahnya jika sedang cemberut karena selalu dikalahkan oleh Ibunya.
"Oh iya, Mbak. Barusan pegawai Toko Senen mengirim pesan, dia nanya kita mau belanja apa? Sore ini katanya mereka mau ngirim barang buat Tokonya Haji Saripin,"
"Bentar, Mbak cek barang-barang dulu ya,"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkrut Usai Ceraikan Istri (Ibuku Sayang Ibuku Malang)
General FictionSudah TAMAT .... Semua part masih lengkap .... "Uang anak perempuan yang telah bersuami itu haram hukumnya dinikmati oleh orangtuanya, Mir!" hardik suamiku sembari merampas uang sepuluh ribuan kertas dari tangan Ibu kandungku. *** Mira seorang wani...