random 14: Liburan Ala-ala

1.5K 259 45
                                    

Hari Sabtu saat fajar belum sempurna terbit di ufuk timur, semua penghuni rumah nomor 8 harus bangun pagi-pagi akibat waktu liburan telah menghampiri. Rumah itu menjadi dua kali lebih berisik dibandingkan hari-hari normal. Fenly sibuk berteriak membangunkan anak bujang yang lain, sementara Pak Jo tengah menyiapkan mini bus yang sudah disewanya semalam.

"YA TUHAN YESUS, BANG SEN CEPETAN BANGUN! JANGAN MANGAP AJA LU!" Shandy dengan gayanya yang sama sekali berantakan hanya membuka sedikit kelopaknya kemudian kembali melanjutkan perjalanan ke alam mimpi.

Namun belum sempat Shandy mengunci pintu ilusi, Fenly telah berhasil mencipratkan air dari gelas di nakas kearah wajahnya membuat Shandy buru-buru terbangun walau rasa hati gondok tak karuan. "Iya-iya ini gue udah bangun nih!" pria itu kemudian menggosok matanya dua kali dan berjalan menuju kamar mandi. "Heran banget sih, udah tau dia yang nyetir malah masih ngorok. Ntar kalo semuanya pada telat gimana coba? Hah... Untung sayang, coba nggak udah gue kirim ke Merkurius biar kepanasan deket matahari," omel pria itu selepas Shandy berlalu dari hadapannya.

Fenly beranjak dari sana. Tugasnya membangunkan abang-adik satu rumah telah rampung, giliran ia yang harus merapikan dirinya sendiri saat ini.

Pukul tujuh pagi, delapan bujang beserta Pak Jo telah siap menuju lokasi liburan yang sudah mereka pilih. Sebuah pantai di kawasan Bandung menjadi destinasi wisata kali ini. Shandy duduk di kursi pengemudi, membawa mini bus itu melaju membelah jalan raya menembus kepadatan kota.

"Barang-barang tadi udah nggak ada yang ketinggalan kan?"

Fajri yang bersisian dengan sang penanya, Fenly, pun mengangguk dengan yakin.  "Udah semua kok. Tikar, galon air, bahkan lotion biar nggak gosong juga udah disiapin sama mereka. Tenang aja," Fenly mengangguk percaya. Ia hanya khawatir akan semua orang, sebab itulah ia kembali memastikan— selagi belum terlalu jauh.

Perjalanan memakan waktu sekitar kurang lebih enam jam mengingat padatnya jalanan ketika weekend telah tiba. Tadinya semua ingin menikmati perjalanan dengan senda gurau, namun yang terjadi justru mereka sibuk berkelana menuju mimpi. Shandy yang duduk di kursi pengemudi menilik dari balik spion depannya. Bujang-bujang berbeda usia itu terlelap semua, hanya tersisa ia dan Pak Jo yang kini sibuk menyantap sebungkus coklat di tangannya. "Hati-hati sakit gigi Pak Jo," tegur Shandy sambil melirik pria paruh baya itu.

Pak Jo terkekeh saja. "Saya ini sudah tua, Sen. Sakit gigi sedikit tidak apa-apa, palingan kalian yang kena semprot saya kalo bikin kelakuan," mendengar hal tersebut lantas Shandy hanya terkekeh saja. Toh ia menyenangi perangai Pak Jo yang seperti ini. Bukan masalah baginya bila mereka bertukar kata layaknya bapak dan anak.

Dalam pikirannya tiba-tiba saja terbersit rasa rindu pada sang ayah. Sudah bertahun lamanya Shandy tidak pulang ke kampung halaman—sekitar 4 atau 5 tahun belakangan. Pria itu sibuk bekerja hingga tak sempat menjenguk keluarga besarnya. Memang sebetulnya Shandy bisa saja pulang-pergi walau dua belas kali dalam setahun, uang hasil ia bekerja cukup besar. Satu proyek yang berhasil, ia bisa meraup puluhan juta. Bahkan akhir-akhir ini ia menjadi makelar tanah yang notabenenya mendapatkan lebih banyak komisi dibanding sekedar menjadi makelar alat transportasi pribadi. Namun, pekerjaannya sebagai freelance yang tak memiliki jadwal pasti membuat pria tersebut kesulitan untuk menyisihkan waktunya. Kalaupun ada waktu untuk libur baginya hanya bertahan paling lama satu minggu, sementara setiap kali ia pulang tidak mungkin ibu dan ayahnya akan membiarkan ia bertahan hanya sebentar seperti itu.

"Jangan melamun, Sen. Itu udah ijo lampunya," tukas Pak Jo tatkala menyadari sang anak kos sedikit hilang sadar pada realitanya.

Shandy menyunggingkan senyum kecil saja sebagai upaya untuk merespon perkataan si bapak tua. Pria itu kembali menarik persneling dan memusatkan fokusnya pada jalanan. Ah, perkara yang lain harus disingkirkan dengan segera saat ini. Karena sekarang ada nyawa orang lain yang bergantung pada kemudinya.

****

"HUAA CANTIKNYA!" Ricky adalah orang pertama yang berteriak heboh tatkala baru saja turun dari mini bus. Pria berhidung bangir tersebut tersenyum lebar layaknya anak kecil yang baru pertama kali diajak menuju wahana permainan.

"Hadeh, heboh banget lu Rick," julid Soni yang mendapat balasan sengit dari Ricky. "Suka-suka gue dong. Jarang nih ada orang yang berbaik hati dan menyingkirkan tiraninya untuk ngebawa gue menuju kedamaian," balasnya.

"Apaan sih bahasa lu, Rick. Pake tirani segala," balas Farhan tak mau kalah.

"Sudah-sudah. Mending kalian taruh barang-barang kalian di penginapan dengan segera dan istirahat. Nanti kalau udah mulai senja baru kita kumpul lagi. Ini tikar segala macamnya dikeluarkan nanti saja. Pemanggang barbekyu juga taruh saja disini dulu," instruksi Pak Jo yang kemudian diikuti oleh para jejaka tersebut.

Kesembilan pria dengan rentang usia yang cukup jauh tersebut kemudian berlalu menuju kamar masing-masing. Satu kamar diisi oleh dua orang, Pak Jo memilih kamar yang diisi sendiri sehingga total kamar yang kini berhasil mereka reservasi sebanyak lima ruang. Tidak mudah sebenarnya memesannya, Pantai Rancabuaya tergolong pantai terkenal dimana hampir penginapan di sekitarnya selalu dipenuhi oleh turis baik lokal maupun mancanegara. Pak Jo dengan kekuatan seribu bayang akhirnya berhasil menyewa dalam satu malam. Maklum, uang bertindak diatas segalanya.

"Gue sekamar Farhan pokoknya. Titik nggak pake koma," ujar Shandy memotong. "Licik lu Bang Sen, gue baru aja mau sama Bang Han. Monopoli yang sungguh menyayat hati. Cih," balas Ricky sambil merengut. Ia padahal sudah berencana sekamar dengan Farhan agar bisa bercurhat ria, namun apalah dayanya dibanding Shandy. Lantas ia menggeret tasnya bersama Gilang, sekamar dengan mas youtuber juga tidak buruk, pikirnya.

Sementara Shandy bersama Farhan dan Ricky memilih melemparkan dirinya untuk berbagi ruang dengan Gilang, empat anak muda yang lainnya justru hanya diam saling menatap. "Lah gue sama siapa?" tanya Fenly sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Nggak tau. Gue juga bingung," jawab Aji yang sama herannya.

"Apalagi gue," tukas Soni.

Keempatnya yang kini tengah duduk di sofa lobi kemudian memangku dagu masing-masing. Sementara Fiki yang sedari tadi tak buka suara hanya dilirik-lirik saja. Sedari tadi ia bungkam, tak banyak bicara seperti biasanya. Lelaki itu masih terpukul. Terakhir kali ia mendapatkan telepon semalam bahwa orang tuanya sudah bersepakat tak ingin mediasi. Tentu semuanya bisa merasakan kepahitan yang dialami bocah tersebut, namun baik mereka pun tak ada yang ingin mengusiknya. "Gue sekamar Soni aja," itulah kalimat pertamanya selepas tiba.

Fiki menjinjing tasnya menuju kamar, sementara Soni mengikuti dari belakang. Tersisa Fenly dan Aji yang kini duduk bersisian saling menghela napas. "Lu lagi, lu lagi. Seneng kan lu sekamar gue? Jadi nggak usah keluar buat minjem charger," ujar Fenly dengan raut wajah mencibir.

Aji dengan kurang ajarnya justru menyengir. "Hehe tau aja lu,"

"Hihi tii iji li," balas Fenly dengan mengejek.

Aji mendengkus. Pemuda itu kemudian bangkit dari sofa dan memilih membawa dirinya menuju kamar mereka berdua. "Masuk ah, pengen mandi. Sebel ngomong sama lu,"

Fenly melotot sambil mendecih sinis. "Bocah songong!"

After long time akhirnya aku bisa update! Segini dulu. Doain nggak lama update part berikutnya ya. Anyway, part kali ini didedikasikan buat temen-temen yang udah nanya-nanya di Twitter kapan aku update ya hahaha. Nih, akhirnya aku update.

Jangan lupa besok MV Restu Waktu! Mimpi indah malam ini ya, biar besok bisa menyambut dengan hati senang.

sekian.

30 Maret 2021
—april.

Rumah Nomor 8 | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang