random 15: Angin Malam

1.6K 253 22
                                    

Langkah sepasang kaki dilumuri pasir pantai ditemani senja bersama biru laut seolah membayar pedih yang menjalari. Fiki membawa dirinya sendiri menyusuri pinggir laut sambil membawa beban di pundaknya. Sedihnya tak kunjung hilang, namun sedikit lega yang ia rasa dari liburan kali ini terasa cukup untuk menghilangkan sesak.

Lampu di sekitar pantai mulai dinyalakan, tanda malam akan segera datang. Teman-temannya yang lain duduk melingkar diatas tikar, sementara dirinya memilih menepi sejenak menikmati bayu menerpa kulit wajahnya. Adapun kini bahunya yang turun menandakan betapa ia telah lelah memanggul lukanya sendiri. Pabila Fiki diberikan kesempatan oleh semesta soal apa yang akan ia lakukan, maka ia tidak akan melakukan apapun. Perkara hati orang dewasa adalah persoalan paling rumit yang pernah ia temui. Maka walaupun perpisahan itu menyambut keduanya, Fiki tidak bisa menghalangi ataupun membuat mereka berdua berubah pikiran.

Anak Hawa yang diciptakan untuk melengkapi tulang rusuk yang rumpang dari seorang anak Adam terkadang hanya bertahan sesaat. Kata orang jodoh itu sudah diskenariokan oleh Tuhan. Mulai pertemuan hingga perpisahan yang tak selamanya diakhiri karena kematian.

Kakinya dibawa untuk memainkan butiran pasir di sepanjang pantai. Fiki menikmati pedih yang merayapi relungnya, membiarkan air matanya jatuh untuk kesekian kalinya. Lantas ia berlama-lama berjalan, lalu kembali setelah tiga puluh menit kemudian. Ia duduk disamping Gilang, menyandarkan bahunya pada bahu sang pria. Gilang dengan hangat menyambutnya, menepuk punggung bocah tersebut dengan sayang layaknya adik sendiri.

Betapa mereka tahu kehancuran yang dialami oleh lelaki muda tersebut. Pandang kasihan yang tertuju adalah bentuk rasa iba terhadap sang pemuda. Mereka kemudian saling merangkul, menikmati mentari yang tenggelam diiringi langit berwarna kemerah-merahan. Senyum terkembang pada raga tersebut. Mereka lelah akan realita, maka santai sejenak seperti ini bukan menjadi masalah, kan?

Sejenak saja, mereka ingin rehat.

****

Seusai menunaikan sholat Isya dan membersihkan diri, Pak Jo bersama delapan bujang memutuskan untuk menyiapkan barbekyu di taman belakang vila. Taman itu hari ini sepi, sebab lagi-lagi Pak Jo dengan segala upayanya membuat sang pemilik tak dapat berkutik dengan uang yang ia miliki. Pria paruh baya itu sengaja menyewa bagian belakang vila hanya untuk membuat anak-anak kosnya nyaman dengan waktu berkualitas ini. Pak Jo hanya melakukan yang terbaik.

Memanjakan anak-anak ini baginya serupa dengan memanjakan anak sendiri. Ia tak mau gagal lagi dalam memberi kasih. Pria itu sudah pernah kehilangan buah hati, maka ia tak pernah merasakan anaknya sendiri tumbuh dewasa. Namun, bersama delapan bujang, ia ingin mencurahkan rasa kasihnya pada mereka. Walaupun kelakuan mereka sedikit banyak membuatnya darah tinggi, namun Pak Jo tidak bisa memungkiri rasa sayang yang telah tertanam pada hatinya.

Soni yang tengah membumbui daging terlihat sibuk dengan racikannya sendiri. Sementara Gilang yang kini tengah mengipasi daging tersebut terlihat bersemangat layaknya tukang sate yang sedang dilanda berpuluh-puluh pelanggan. "Pegel juga tangan gue," gumam Gilang kemudian mengurangi tempo gerakannya.

Shandy yang tengah sibuk menyiapkan sayuran kemudian menyahut dari arah belakang pria itu. "Yaelah, lagian lu ngipasnya pake tenaga kuli. Santai aja ntar lengan lu copot kan berabe,"

"Brisik," balas Gilang.

Adapun Fenly yang kini tengah menggelar tikar dan menyiapkan peralatan makan bersama Fiki hanya menggeleng pelan melihat tingkah laku teman-temannya. Farhan dan Fajri sibuk memotong buah, sementara Pak Jo yang meracik es buah tersebut didalam termos.

Rumah Nomor 8 | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang