"GILANG! MANDINYA JANGAN KELAMAAN WOI, SARAPAN!"
"FIKI MANA FIKI? FIKI CEPET TURUN! SARAPAN BURUAN NTAR LU TELAT!"
"AJI JANGAN LUPA CUCIAN LU DIJEMUR DULU!"
"WEI RICKY MOTOR LU JANGAN LUPA DICUCI ITU BENTAR LAGI KARATAN!"
"BANG HAN HANDUK LU JANGAN DIJEMUR DI KAMAR, BAWA KELUAR!"
"BANG SHAN JANGAN LUPA ABIS MANDI KAMAR MANDINYA DISIKAT!"
"Brisik lu, Fen! Masih pagi juga," sahut Soni yang sedang menata meja makan.
Fenly mendelik, "diem!" ucapnya dengan galak.
Soni hanya menampilkan tatapan malasnya lalu bergegas membersihkan dirinya. Fenly yang sudah rapi dengan setelan kemeja putih dan celana bahan warna hitam itu mulai mengecek satu per satu berkas yang akan dia bawa. Maklum, staf tata usaha honorer beginilah kerjaannya. Tidur nggak teratur, kerjaan menumpuk belum lagi tugas kuliahnya yang sekali-kali ingin rasanya dia hibahkan kepada laut pantai selatan untuk ditenggelamkan.
Meski begitu, Fenly nggak pernah menyerah sama sekali. Demi bayar uang kos dan melanjutkan kuliahnya, ia harus rela mengorbankan dirinya sendiri. Nggak apa-apa lelah, sebab hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Asik banget nggak tuh bahasanya?
"Fenly," cowok yang disebut namanya itu menoleh pada pria yang memanggilnya.
"Siap! Kenapa Pak Jo?"
"Saya bisa minta tolong?" dengan cepat Fenly mengangguk, "bisa pak,"
"Tolong singkirin kecoa di bawah ranjang saya dong! Saya nggak berani," ucap Pak Jo dengan nada pelan.
Fenly tercengang, matanya bahkan langsung membulat seketika itu juga. Alih-alih menolak, cowok itu akhirnya mengikuti langkah Pak Jo menuju kamar pria itu. Dalam hitungan detik kecoa yang tadinya berlarian kesana-kemari dan tertawa seperti lagu Payung Teduh itu akhirnya tewas seketika.
Pak Jo menatap Fenly dengan berbinar. Pria itu kemudian mengacungkan dua jempolnya kemudian bertepuk tangan riuh, "WAH! MANTEP BANGET EMANG NAK FENLY! TERBAEKK!"
Fenly tersenyum lebar sambil menggaruk hidungnya yang tidak gatal, "bapak jangan muji saya dong! Hidung saya genit nih, jadi gatal,"
"Ada-ada aja! Udah sana siap-siap. Nanti saya nyusul. Makasih ya,"
Fenly mengangguk kemudian bergegas menuju meja makan. Disana sudah ada Fiki dengan seragamnya yang agak sedikit kusut, sepertinya efek setrika yang kurang panas sewaktu ia menggosok. Lalu, sudah ada Aji dengan setelan kemeja flanel dan celana jins kebanggaannya. Farhan juga muncul tidak lama kemudian dengan pakaian santai dan ransel di pundaknya yang diyakini berisi pakaian kerja miliknya. Satu per satu dari mereka berdatangan sampai akhirnya lengkap, tidak lupa ada Pak Jo yang duduk diantara mereka.
"Oke sudah kumpul semua 'kan?" tanya Pak Jo memastikan.
Semuanya mengangguk. "Oke. Kalo gitu Ricky silahkan pimpin doa," ujarnya.
Ricky mulai mengangkat tangannya begitupun dengan yang lain. "Sebelum memulai makan dan beraktivitas hari ini, alangkah baiknya kita berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Berdoa dimulai,"
Semua menunduk dengan khidmat. Pagi itu mereka akhirnya duduk dan sarapan seperti hari-hari sebelumnya.
[]
"Fik, lu ikut bareng gue nggak?"
Fiki mengangguk kemudian ia mengikuti langkah kaki Fenly yang menuju garasi. "Eh, Fen, gue tunggu didepan ya, biar sekali nutup pagar ntar," cowok yang disebut namanya oleh Fiki itu hanya mengangguk.
"Jangan lupa pake helm Fiki," peringat Fenly yang ditanggapi ringisan kecil.
"Oh iya lupa hehehe,"
Fiki berjalan menuju pagar dan mulai menatap fokus kearah depan rumahnya. Rumah nomor 9. Disana ia bisa melihat sosok gadis yang berseragam putih abu-abu sepertinya sedang mengikat tali sepatu. Fiki tersenyum senang sambil terus memperhatikan.
Tin tin!
"Lu mau liatin cewek itu sampe biji mata lu keluar atau mau berangkat sekarang? Kalo nggak gercep, gue tinggal!" ujar Fenly dengan galak.
Fiki mendengkus sebal, "yaelah! Iya dah, ini gue tutup dulu pagarnya," ucap cowok itu.
Meski sedikit keki, akhirnya Fiki tetap naik ke atas motor. Sepanjang perjalanan ia terus memikirkan gadis itu. Ia ingin berkenalan, tapi bagaimana caranya? Sebab selama ini gadis itu selalu menghindar tiap kali ia menatapnya.
"FIK KALO LU BENERAN NAKSIR CEWEK TADI, SARAN GUE LU HARUS RAJIN BERSIHIN HALAMAN RUMAH DI BAGIAN DEPAN. DIA SERING BERSIH-BERSIH TIAP WEEKEND SAMA SORE," ujar Fenly yang samar-samar masih bisa terdengar oleh Fiki. Maklum, mereka sedang berada di tengah jalan, maka dari itu mereka harus saling mengeraskan suara satu sama lain.
"HAH? KOK GUE NGGAK PERNAH TAU SIH? LU KOK BISA TAU? LU MERHATIIN DIA JUGA, YA?!"
"YAELAH NGGAK GITU KONSEPNYA GUSTAVO. GUE SAMA BANG SHAN KAN SERING BERSIH-BERSIH DI HALAMAN DEPAN, MAKANYA SERING NGGAK SENGAJA NGELIAT DIA,"
Fiki cemberut, "SIAL. TAU GITU GUE AJA YANG BERSIHIN HALAMAN,"
Dalam hati Fenly bersorak riang. Yes! Kena jebakan kan lu, bocil! Hahahaha. Good bye halaman penuh dedaunan, gue nggak akan urus lu lagi. Batinnya.
"YA UDAH MULAI BESOK LU GANTIIN GUE BERSIHIN HALAMAN YA. SIAPA TAU LU BISA SEKALIAN MODUS,"
Fiki berpikir sejenak kemudian mulai membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi apabila ia menggantikan posisi Fenly. Fenly ada benarnya juga, jika ia memulai membersihkan halaman pasti ia bisa melihat gadis itu dan bisa iseng mengajak kenalan. Ah iya, image-nya sebagai anak rajin juga akan terbentuk jika ia melakukan hal itu.
Tanpa pikir panjang Fiki pun akhirnya mengangguk membuat Fenly tersenyum selebar daun pepaya.
Yes!
-
21 Mei 2020
-april.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Nomor 8 | UN1TY
FanfictionDelapan orang kepala dengan latar belakang berbeda-beda kini memutuskan hidup bersama dalam satu atap. Pak Jo selaku pemilik rumah memutuskan untuk menampung delapan anak itu dengan senang; walau sedikit banyak harus menerima kelakuan aneh dan segal...