random 17: One Fine Day

1.2K 226 67
                                    

Pernahkah kau merasa muak untuk hidup? Merasa muak menjalani apa yang sudah menjadi rutinitas setiap hari? Merasa letih dengan semua ekspektasi? Merasa jenuh memandang berbagai ekspresi dari orang-orang yang terus memaksamu berhenti? Pernahkah kau terpikir ingin mati? Shandy merasakannya, namun orang-orang tak pernah melihat perasaannya secara kasat mata. Mungkin ia terlihat selalu baik-baik saja, namun kejadian beberapa bulan belakangan membuat ia merasa tertekan.

Kini ia sedang berlari tanpa arah, tak menghubungi siapa-siapa bahkan tak menggubris siapapun yang ia kenali. Ia tak memberi kabar akan kepergiannya, menghilang begitu saja dan berharap secara perlahan semua orang segera melupakannya.

Bujang 24 tahun itu memang sudah habis akal. Tak ada lagi senyum yang tersisa di wajahnya. Kini ia luntang-lantung di jalanan. Tak menginap di hotel ataupun rumah singgah, melainkan memilih tidur di emperan toko agar tak terdeteksi dimana-mana. Ia hanya ingin sendiri saat ini, berlari dari ekspektasi yang tak mampu ia realisasi. Ia terus berlari, lari dan lari hingga tak satupun ada yang bisa menyaingi langkahnya. Sungguhlah ia tak mampu berucap ataupun memendam segalanya, ia hanya ingin lenyap secepatnya.

Beberapa kali ia mencoba bunuh diri, namun semuanya gagal. Ia sudah lelah bersembunyi, tapi tidak ada yang mau mengerti. Maka satu-satunya cara yang ia pilih adalah dengan pergi. Ia tak lagi memikirkan perasaan orang lain, ia sudah lelah berpura-pura bersama topengnya setiap hari.

"Mas kenapa tidur disini?" sebuah tanya dari pengendara yang singgah sebentar melihat Shandy yang kini menghampar tasnya untuk tidur di depan toko, lagi.

Malam ini dingin. Pukul sebelas lewat sedikit dan kota sudah mulai sepi dari pengguna jalan raya. Sosok bapak-bapak yang kini mampir dihadapannya mengenakan jaket ojek terlihat prihatin akan situasi pria muda ini. "Nggak papa pak. Pengen aja tidur disini,"

"Jangan mas, bahaya. Pulang ke rumah saya aja nggak papa kalo semisalnya masnya nggak punya uang untuk menginap di rumah singgah," ujar si bapak.

Shandy tersenyum tipis seraya menolak halus, "nggak apa-apa pak. Saya disini aja, ya? Bapak pulang aja. Udah malam,"

"Ya gimana saya mau pulang kalo liat masnya begini? Saya kasihan mas liatnya. Ikut saya aja ya? Di rumah ada istri saya sama dua anak saya. Saya bermaksud baik kok,"

Bapak ojek itu mungkin terlihat sederhana, namun kekayaan hatinya bisa terpancar daripada caranya memandang seseorang. Tangannya yang kini terulur mengajak Shandy menginap, membuat rasa hati Shandy tergugah. Tidak ada yang pernah mengulurkan tangan dengan sebaik ini padanya. Maka dengan mengabaikan logika serta rasa frustasi yang menghantuinya, kini ia turut mendudukkan diri di jok motor si Bapak.

Mereka kemudian menembus jalanan Bandung dengan suasana hening. Bapak tersebut tak mengajak Shandy bicara selama perjalanan mereka. Ia mengerti bahwa pria muda yang kini berada dibelakangnya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang pernah ia temui ingin mati. Sorot mata Shandy sudah menggambarkan perasaannya, sang Bapak tak perlu lagi menanyakan apa-apa. Aura Shandy pun warnanya begitu gelap, tidak ada setitik cerah pun disana. Badannya terasa dingin, seolah siap mati dan menghilang dari muka bumi.

Mungkin, pria ini butuh hangat untuk bertahan hidup walau hanya sesaat.

****

Rumah kecil sederhana yang letaknya berada di jalan buntu sebuah kawasan kumuh di daerah Bandung adalah tempat pemberhentian mereka. Bapak ojek yang rupanya bernama Darno tersebut kemudian mengetuk pintu rumahnya yang rapuh. Sambutan hangat dari istri yang hanya mengenakan selembar daster telah membuat lelah Pak Darno nampak hilang.

Shandy menatap momen sepersekian detik tersebut dengan membatin secara heran. Apakah sebegitu berpengaruhnya sambutan dari orang terkasih tatkala pulang ke rumah sendiri? Bagaimana rasanya? Apakah memang sebahagia itu?

Rumah Nomor 8 | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang