adult life is also full of burdens, problems and stress. really tiring. can i sit back for a while?
-Farhan, penghuni kamar no.04.••••
"Minta tolong banget kalau bisa diusahakan, ya, Bang," ujar perempuan yang menginjak usia 51 tahun terdengar lembut di telinga laki-laki asli Jakarta itu.
Farhan menarik napasnya perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara dengusan yang keras. Ia lalu memijat pangkal hidungnya dengan pelan. "Iya, Ma. Nanti Abang usahain ya. Doain aja bulan depan uangnya udah ada," katanya.
Diseberang sana sang Mama menghela napas. Anak sulungnya, lagi-lagi harus ia bebankan. Andai saja kondisi kesehatannya baik, ia tentu tidak akan menaruh beban besar di pundak lelaki itu. Namun apalah dayanya, ia tidak bisa menahan sakitnya. Sempat beberapa kali dirinya nekat bekerja, namun akhirnya tumbang. Bukannya meringankan, ia justru menambah beban pikiran si sulung tentang biaya rumah sakit. Hingga sekarang, ia hanya bisa duduk diam dirumah. Sesekali menerima pesanan jahit, jika ada. Selebihnya, kehidupannya dan si bungsu 100% ditanggung si sulung.
"Sehat-sehat ya anak Mama. Mama minta maaf karena selalu merepotkan kamu,"
"Ma, jangan ngomong kayak gitu ah. Abang nggak suka dengernya. Ini udah jadi tanggung jawab Abang buat nafkahin Mama sama adek, Mama tenang aja, ok? Secepatnya Abang kabarin kalau uangnya udah siap,"
Sang Mama tersenyum kecil. "Iya, nak. Terimakasih ya. Kamu jangan lupa istirahat, banyakin makannya dan jangan suka begadang. Setiap mau ngapa-ngapain juga jangan lupa do'a. Trus, nggak usah nambah tatto lagi ya, Mama pusing lihatnya,"
Farhan terkekeh pelan mendengar kalimat terakhir sang Mama. Benar, ia mencetak tatto di lengannya, dan tentu saja sang Mama baru mengetahui setelah tatto tersebut dibuat. Sesekali Farhan memang bandel, tidak menurut, namun akhirnya kembali menjadi anak yang berbakti. Lagi-lagi ia tersadarkan bahwa hidupnya tidak lagi sama sejak sang Papa pergi ke pangkuan Tuhan untuk selamanya. Ia si sulung, anak laki-laki pertama sekaligus bertanggungjawab atas keluarganya. Menuruti segala permintaan orang tua baginya adalah kewajiban. Oleh sebab itu, meski sesekali ia bertindak diluar batas, namun ia tak pernah lupa dengan orang tuanya.
"Hahaha, oke deh, Ma. Nggak akan ditambah lagi kok, udah cukup. Lagian duitnya lumayan gede kalau mau tambah, segini aja udah cukup,"
"Bagus. Ya sudah Mama tutup dulu, ya, nak. Salam sama anak kosan kamu sama Pak Jo. Bilangin sewanya bisa kali Pak turunin 50 ribu hahaha,"
"Yah... Si Mama lawak ah. Udah murah banget itu dikasih Pak Jo. Yaudah, Ma, hati-hati ya. Kalo ada apa-apa langsung kabarin Abang,"
"Siap, nak. Tutup, ya. Assalamualaikum,"
"Waalaikumussalam warahmatullah...,"
Usai panggilan itu di tutup, Farhan berjalan menuju kamar mandi, bersiap-siap untuk sikat gigi. Besok hari akan menyambutnya lagi, waktunya kini beristirahat dan mempersiapkan diri.
[]
"Farhan!" panggilan yang cukup nyaring terdengar dari sosok pria berbadan tinggi besar membuat atensi Farhan Jawas teralihkan.
Laki-laki yang tadinya sibuk memegang obeng dan mengotak-atik mesin mobil dihadapannya itu kini mengalihkan pandangan pada pria yang sudah memanggilnya. Ia melepaskan obengnya dan segera berlari kecil kearah si bos.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Nomor 8 | UN1TY
FanfictionDelapan orang kepala dengan latar belakang berbeda-beda kini memutuskan hidup bersama dalam satu atap. Pak Jo selaku pemilik rumah memutuskan untuk menampung delapan anak itu dengan senang; walau sedikit banyak harus menerima kelakuan aneh dan segal...