05 : Balasan Makasih

99 27 3
                                    

Disepanjang perjalanan, keduanya saling diam tak bersuara. Tak terlihat kalau mereka akan memecahkan keheningan tersebut. Suara hembusan angin pun lumayan kuat, membuat Luna merasa percuma saja kalau dia akan berbicara dengan Darren. Toh, mungkin gak bakalan dijawab.

Saat memasuki kawasan perumahan, Darren hanya bisa menebak dalam hati. Mungkin saja rumah Luna berasa di kompleks perumahan ini. Dan benar saja, tangan Luna ia gapai ke arah rumah yang berbalut cat putih tulang. Rumahnya cukup besar, dengan satu mobil berwarna hitam dan sepeda motor sport berwarna hitam.

Luna turun dari motor, tangannya bertumpu pada bahu Darren. Dan Darren, dia hanya diam saja dengan itu. Luna sempat meringis, mengingat lututnya yang lecet dan rasa pedih yang masih terasa amat kuat walaupun sudah diobati.

"Makasih, ya." Ucap Luna menatap Darren yang sudah membuka kaca helmnya.

Darren tak mengangguk ataupun menggeleng. Dia malah bertanya, "Rumah tante lo?" Tanyanya yang mendapatkan kerutan tipis dari Luna.

"Rumah gue. Tinggal bertiga sama kakak gue, ada juga Mbak yang sudah Nyokap siapin. Nyokap gue kerja, Bokap gue pergi." Jawab Luna. Ayah Luna memang sudah pergi meninggalkannya sejak ia masih kecil. Meninggalkan keluarga kecilnya untuk beberapa wanita yang sering datang ke rumah sambil marah-marah dan menyumpahi keluarga mereka saat itu. Dan dapat diperkirakan, kalau saat itu Papanya Luna selingkuh tanpa sepengetahuan Mamanya.

Mendengar itu, Darren hanya diam sambil menatap lurus ke depan. Tak lama, dia kembali menatap Luna. "Rumah gue jaraknya cuman beberapa rumah dari sini. Rumah warna coklat tua dengan ayunan kecil disana. Itu rumah gue." Ucap Darren tiba-tiba.

Luna sempat terbengong, tidak fokus bahkan tidak percaya dengan ucapan Darren tadi. "Wait, maksud lo, lo tinggal di perumahan ini dengan blok yang sama dengan rumah gue?" Tanya Luna spontan.

Darren tak menjawab, dia yakin Luna sudah mendengar baik ucapannya tadi. Tak ingin berlama-lama di rumah orang, Darren memutuskan untuk pulang ke rumahnya yang hanya berjarak beberapa rumah dari rumah Luna. Yang berarti, saat ini, Luna dan Darren bisa dikatakan tetangaan. "Gue cabut," Ujarnya yang sudah menyalakan motor.

"E-eh," Luna menahan lengan seragam Darren, membuat Luna hampir tertarik motor besar itu.

Darren langsung berbalik badan dengan kasar. "Lo gila?! Kaki lo udah luka gitu masih aja berulah! Kalau lo keseret, gimana?!" Bentak Darren kasar.

"S-sorry. Habisnya kalau gue manggil lo, belum tentu lo mau berhenti. M-makanya g-gue tarik." Ucap Luna yang nadanya bicaranya sudah mulai memelan diakhir.

Darren berdengus dan menatap Luna tajam dengan cukup lama. Masih berpikir kenapa dia bisa se-sial hari ini. Bertemu dengan orang asing yang bahkan betah berbicara dengannya. "Apaan?" Tanya Darren lagi. Dia memberi Luna kesempatan untuk berbicara.

Luna menunduk perlahan, tiba-tiba dia menciut saat ditatap intens oleh Darren. "A-anu, gue mau tawahvjklhsab. Mau, gak?"

Darren melepas helmnya. Rambutnya yang tebal langsung berantakan tak karuan. Tapi itulah yang membuat ketampanannya menjadi semakin next level. "Hah?" Tanya Darren lagi.

Luna menghembuskan nafas dalam. Dia menutup matanya sesaat. "Gini, tadi kan lo udah bantuin gue. Ya walaupun lo juga gak banyak bantuin gue, tapi setidaknya lo bantuin gue walaupun cuman seuprit. Jadi gua mau bales budi ke lo. Gue bakalan turutin satu permintaan lo. Expirednya sampe besok." Jawab Luna lalu tersenyum diakhir.

"Gak," Jawab Darren tak tertarik. Lalu dia hendak pergi, tapi kunci motornya berhasil direbut cepat oleh Luna. "Kembaliin selagi gue bicara baik-baik." Ucap Darren dingin.

Luna menggeleng sambil menampilkan wajah tengilnya. "No," Jawabnya.

Darren mengelus dadanya sabar. Dia menarik nafasnya perlahan, dan menghembuskannya perlahan. "Mau lo itu apa, sih?!" Dengusnya.

DARREN ; on goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang