18 : When The After Meets Past

24 10 0
                                    

Suara langkah kaki mendekati brankar. Langkah kaki itu terdengar pelan dan berhati-hati. Seolah ragu untuk mendekat.

Disana, seorang cewek dengan topik kupluk berwarna coklat sedang menatap dalam wajah seorang cowok yang sudah tertidur akibat obat bius. Cukup lama dia menatap wajah cowok itu. Bahkan dia tak percaya kalau dia akan berada didekat cowok itu dengan wkatu yang cukup lama. Selama ini dia menatap cowok itu dari jarrah jauh bahkan dari balik kaca mobil. Tapi sekarang, dia membernaikan diri untuk menatap wajah cowok itu dari dekat. Dengan hati yang sakit, serta raga yang lelah, cewek itu hanya bisa tersenyum pahit saat menyadari dirinya telah berbohong pada cowok itu.

Bahkan kata maaf seolah tak cukup untuk membiarkan dirinay hidup dengan tenang. Dengan air mata yang begitu berat untuk ditetes, dan dengan nafas yang begitu sesak untuk ditarik, Cindy hanya bisa tersenyum kecil.

"How's your day?" Ucap Cindy pelan. "I hope you're great," Lanjutnya dengan nada kecewa. Cindy meneteskan air matanya, dan tangannya meraih tangan Darren yang terasa hangat untuk digenggam. "I'm so sorry for what happened to you. Berat, ya? Aku aja berat, Der. Berat banget. Bahkan nafas aku sangat berat untuk ditarik disaat aku sadar kalau aku berbohong sama kamu lebih dari empat tahun."

Rasa bersalah terus memukul Cindy walaupun dia hanya diam term,enung. Entah kenapa, tiap kali dia termenung dengan cuaca yang dingin, pikirannya langsung mengarah ke Darren. Bertanya-tanya, apakah Darren sehat? Bertanya-tanaya, apakah Darren sudah makan dengan baik atau belum. Bahkan bertanya-tanya, apakah Darren telah melupakannya atau belum.

"Aku gak suka liat kamu begini, Der. Aku gak suka. Aku mau kamu sehat terus. Aku mau kamu terus bahagia. Aku mau kamu lupain aku selama-lamanya." Mulut Cindy terasa terasa sakit untuk mnegatakan itu. Tapi Darren harus melakukan itu. Melupakan Cindy yang sebentar lagi akan kembali menghilang dalam waktu dekat. "Please, Der. Lupain aku. Aku ini udah bohong sama kamu lebih dari empat tahun. Dan sudah lebih dari empat tahun juga aku memberikan kamu kesempatan untuk buka hati kamu. Tapi kenapa? Kenapa kamu masih mau cari aku?" Cindy memukul dadanya. Dengan nafas yang sudah tak karuan, Cindy hanya bisa menangis sambil menundukkan kepalanya. "Lupain aku, Der. Dengan begitu, aku bisa tenang dan kembali menghilang." Lanjutnya tak kuasa.

~

"Cindy,"

"Cindy!"

Darren membuka matanya dengan cepat. Keringat dingin sudah membasahi daerah pelipisnya. Tangannya dengan tangan Luna yang tertaut kuat langsung membuat Luna terbangun dari tidurnya.

"Der," Luna langsung berdiri, membuat Stiven dan Rangga yang tadinya tertidur menjadi ikutan bangun.

Darren menoleh kanan dan kiri, membuat Luna, Rangga dan Stiven ikutan bingung.

"Der, lo nya-"

"Stiv, gue tadi denger suaranya Cindy." Darren menunjuk kearah pintu, dan dia hendak berdiri.

"D-der," Stiven dan Rangga berjalan cepat kearah brankar, dan menyuruh Darren untuk duduk dan tidak kemana-mana. Tangan Darren masih bertautan dengan tangan Luna, membuat Luna ikutan bingung.

"Stiv, Ga, percaya sama gue. Gue yakin Cindy ada disini. Tadi gue denger suaranya. Demi Tuhan, Stiv. Lo harus percaya sama gue." Darren kembali hendak berdiri, namuan ditahan oleh Rangga dan Stiven.

"Der, udah. Cindy gak ada disini. Mulai dari tadi cuman ada kita bertiga disini. Gak ada lagi yang lain. Gak ada Cindy." Jawab Rangga menenangkan.

"Cindy ada disini, Ga. Tanya aja sama Luna." Darren menoleh kearah Luna. "Lun, lo liat Cindy, kan?" Lanjut Darren. Luna hanya diam dan takut untuk berbicara, bahkan lirikan matanya terlihat ragu untuk menatap Darren. "Lun, kok lo diem aja, sih? Tadi lo disini sama gue. Lo liat Cindy, kan?" Lanjut Darren yang bersikeras mengatakan kalau dia mendengar suara Cindy.

DARREN ; on goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang