15 : It's Not Like A Prolog

22 13 1
                                    

"Cepetan naik!"

"Gak bisa, tolol! Kaki gue sakit!" Balas Darren memukul belakang kepala Rangga.

Rangga berdecak. Lalu dia melirik Luna dann Stiven yang sudah entang menunggu Darren dan Rangga siap. "Stiv, bantuin ni orang naik, anjer. Diem bae lo disana." Sahut Rangga dengan nada tinggi.

Stive cengegesan, beggitupun juga dengan Luna. Kalau saja hpnya tidak lowbat, pasti dia sudah merekam kejadia sekarang ini. Dimaa kaki Darren pincang, dan sebelah tangannya memegang pundak Rangga. Mereka berdua terlihat sangat cocok.

Stiven membantu Darren untuk naik keatas motor milik Rangga. Selama bertahun-tahun, dia tak pernah numpang atau duduk di kursi penumpang motor. Jadi dia sempat shock saat menyadari kalau motor Rangga cukup tinggi. "Motot lo tinggi amat, Ga." Komplen Darren.

Rangga memutar bola mata, dan Stiven hanya tertawa mendengar itu. "Ini motor yang lo pilih pas gue lagi di Swiss, bego!" Decak Rangga.

Saat itu Rangga sedang liburan di Swiss, dirinya bermaksud healing dan menjauh dari Indonesia yang polusi udaranya bukan main. Saat itu bukan hanya dirinya yang sedang liburan, tapi ada juga Stiven yang sedang liburan bersama Mamanya ke Myanmar. Disaat berencana healing, Darren menganggu ketenangan mereka. Menelfon via video call dan menyuruh Rangga untuk memilih motor yang ia sukai. Dan saat ini, motor itu sedang Rangga kendarai dan Darren duduki. Dan Rangga tak percaya kalau saat itu Darren dan Stiven berencana membelikannya motor baru sebagai hadiah ulang tahun.

Lama mencari posisi yang nyaman utuk duduk, akhirnya mereka berempat pun siap untuk pulang.

Didalam perjalanan, Rangga dan Darren terus beradu mulut perihal jawaban tugas Matematika dan Fisika yang Rangga karang.

Namun Stiven dan Luna, mereka berdua mengobrol ringan.

"Kok lo bisa kenal Darren, sih?" Tanya Stive ditengah perjalanan.

"Gue gak tau dia siapa, tapi Bella sering nge-gosipin ketua osis. Tapi dia gak pernanh nyebut nama. Gue tau namanya Darren pas gak sengaja numpahikuah bakso kemaren." Jawab Luna yang lumayan berteriak karna angin menjadi penghalang topik mereka.

Stiven mengangguk pelan. "Temen lo yang Bella itu? Yang rambutnya panjang?"

Luna kembali mengangguk. "Iya,"

"Temenan sejak kapan?"

Luna berpikir. Dia tak menghitung berapa lama dia berteman dengan Bella. Bahkan pertemanan mereka juga terjadi secara tak sengaja. "SMP," Jawab Luna asal. Stiven mengangguk pelan. Sekarang, giliran Luna yang bertanya. "Kalau Kakak sejak kapan temenan sama Darren?"

Stiven tertawa mendengar panggilan Luna yang mengarah padanya. "Panggil gue gak pake formal baget, kali. Gue anggap, kita udah temenan, oke?" Ucap Stiven sedikit lantang.

Luna tersenyum sambil mengangguk. Seru rasanya kalau punya teman baru apalagi kakak kelas.

"Gue temenan ama Darren sejak kelas 1 SMA. Dia pindahan dari luar kota. Katanya pindah karna Papanya punya cabang perusahaan disini. Terus, kenalan, deh. Awalnya Rangga yang minta kenalan duluan, tapi gue gak mau. Karna gue ngerasa, kita gak usah punya urusan sama anak baru yang kita gak tau latar belakangnya. I mean, Darren itu pindahan dari sekolah inter, jadi kita ragu buat temenan. Sapa tau dia gak bisa Bahasa Indo, ye, kan?"

Luna berhasil dibuat tertawa ngakak mendengar itu. Dan dia mendapatkan fakta baru tentang Darren.

Mendengar tawa Luna, Stiven juga ikut menggelengkan kepala. Tak lama, dia melanjuti ceritanya. "Lo harus tau, sih, Lun, Ranga itu kocak banget pas minta kenalan. Hahaha," Stiven sudah ngakak duluan saat mengingat kejadian dua tahun yang lalu.

DARREN ; on goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang