10. Hujan

15.2K 1K 16
                                    

Bab - 10

(Hujan)

🍁🍁🍁🍁🍁

...

Pagi ini cuaca sangat mendung. Awan hitam menutupi langit sehingga cahaya matahari terhalang oleh gumpalan awan yang sepertinya siap menurunkan butiran-butiran air hujan.

Duh, kalau hujan nggak jadi foto-foto sama Pandji dan kawan-kawan dong, kasihan mereka, pasti kecewa kalau nggak jadi, bisik batinku.

Benar saja, beberapa tetes air yang turun dari langit jatuh di atas telapak tanganku saat aku menengadahkannya. Memang saat ini aku sedang berdiri di halaman rumah dan menatap langit mendung. Beberapa saat kemudian tetesan air hujan semakin banyak dan cukup deras, gegas aku berlari menuju teras untuk berteduh.

Aku mengusap lengan dan rambutku yang cukup basah agar tidak masuk angin. Udara terasa dingin karena hembusan angin disertai hujan rintik yang sedang berlangsung. Lebih baik aku masuk saja daripada nanti masuk angin.

"Hujannya deras ya, Dek?" tanya mas Bayu saat aku baru saja masuk kedalam rumah.

Sepertinya dia baru saja mau pergi ke sawah, untuk memantau padi yang yang digarap oleh pakdhe Diman.

"Iya. Kamu mau kemana?" balasku.

"Tadinya Mas mau ke sawah, tapi kalau hujan begini ndak jadi, besok saja Mas pergi ke sawah."

Aku mengangguk dan berlalu dari hadapannya, masuk kedalam kamar. Mengganti baju dengan sweater dan kembali ke ruang keluarga.

Mas Bayu sedang menonton tv, menikmati berita pagi yang ditayangkan oleh salah satu stasiun tv swasta. Sial, tadinya aku mau nonton Drakor. Tuh 'kan, lagi-lagi mengumpat kalau dekat sama dia.

Lebih baik aku bikin coklat panas saja, pasti enak kalau cuaca lagi dingin begini. Segera aku meluncur ke dapur, mengambil panci kecil dan menuangkan sedikit air, kemudian menaruhnya di atas tungku kompor, selanjutnya aku memutar untuk menyalakan kompor.

Butuh beberapa kali aku memutar untuk menyalakannya, tapi kenapa tidak mau menyala?

"Mas, ini kenapa kompornya enggak mau nyala?" teriakku dengan kesal.

Mas Bayu menghampiri dan berdiri di sampingku. "Gas-nya habis Dek, Mas belum beli lagi," tukas mas Bayu.

"Ya udah kamu beli sana!" seruku dengan kesal.

Mas Bayu menggaruk tengkuknya dan meringis pelan. "Disini ndak ada yang jualan gas, Dek. Warga sini masih pakai tungku kayu untuk masak, jadi ndak ada yang jualan gas."

Aku tercengang dengan ucapan mas Bayu, dari sekian banyaknya rumah —memang tidak terlalu banyak— masak tidak ada yang pakai kompor satupun?

"Masak enggak ada satupun warga yang pakai kompor gas sih? Jadi cuma kita doang?" tanyaku dengan raut tak percaya.

Mas Bayu mengangguk, kemudian dia melirik panci diatas kompor dan tersenyum padaku. "Adek mau masak apa memangnya?"

"Aku mau bikin coklat panas, biar anget," jawabku, masih dengan nada kesal.

"Mau mas bikin anget?" goda mas Bayu, seraya mengerling dan menaik turunkan alisnya dengan senyum jahil.

Aku menatapnya sengit. "Apa sih! Jangan macam-macam, ya!" pungkasku dengan tegas.

Senyum mas Bayu sedikit meredup, begitupun sorot matanya. Biarlah, supaya dia tidak macam-macam lagi padaku!

"Maaf," cicitnya pelan, "mau Mas masakin airnya?" tawarnya kemudian.

"Iya."

"Tunggu ya, mas mau nyalain apinya dulu dibelakang."

Keningku seketika mengernyit mendengar ucapannya barusan. "Nyalain api dimana?"

"Kita masak air pakai tungku kayu untuk sementara, Adek mau lihat?" Tanpa menunggu jawabanku, mas Bayu meraih lenganku dan menariknya menuju dapur kotor dibelakang rumah.

Kemudian mas Bayu mengambil beberapa kayu bakar dan memasukkannya ke mulut tungku, mengambil korek dan menyalakannya lalu membakar kayu-kayu itu. Api berkobar dengan cantik, setelah mas Bayu menata kayu-kayu itu sedemikian rupa. Mas Bayu mengambil panci dan menaruhnya diatas tungku kayu itu, dan mengisinya dengan sedikit air.

"Tunggu ya Dek, sebentar lagi airnya matang," ujarnya.

"Aku tunggu didalam aja," cetusku dan berlalu meninggalkannya. Lebih baik nonton Drakor dulu, deh.

Aku duduk selonjoran di karpet yang ada didepan tv, dan meraih remot, mengganti channel tv dengan saluran yang menayangkan Drama Korea kesukaanku. Kebetulan sudah tayang.

Di sampingku ada sepiring kacang tanah rebus, pasti mas Bayu yang merebusnya tadi subuh. Sembari menunggu air matang, aku menikmati kacang rebus itu dan menonton tayangan di tv yang menampilkan oppa-oppa Korea yang aku sukai.

Sesekali aku tertawa dan hampir menangis saat menonton. Tak lama mas Bayu datang dengan mug berwarna biru milikku.

"Ini Dek, sudah jadi," katanya, seraya menyerahkan mug itu padaku.

Aku meraih mug dari tangan mas Bayu, menghirup aroma coklat panas sejenak dan meniupnya, kemudian menyeruputnya sedikit demi sedikit. Hmmm, enak, bisikku dalam hati.

Mas Bayu tersenyum melihatku yang sedang menikmati coklat panas buatannya tadi.

"Assalamualaikum."

"Wa alaikum salam," sahut mas Bayu dan aku serempak, saat terdengar suara salam dari depan.

Mas Bayu beranjak dan membuka pintu. Tanpa ikut ke depan pun, aku bisa melihat siapa yang datang dari tempatku duduk sekarang.

"Loh, Pandji?"

Pandji?

Aku beranjak dan menyusul mas Bayu menemui Pandji yang datang bertamu. "Pandji, ada apa kamu kesini?" tanyaku. Pandji basah kuyup karena hujan-hujanan saat menuju kemari.

"Kita ndak jadi foto-foto Mbak?" Pandji balik bertanya, bibirnya bergetar karena menggigil.

Aku jadi merasa bersalah pada Pandji dan teman-temannya, karena sudah berjanji akan foto-foto lagi. "Maafin Kakak ya, Pandji. Sekarang 'kan lagi hujan, jadi besok saja kita foto-fotonya ya. Ya ampun kamu sampai hujan-hujanan gini."

"Teman-teman kamu menunggu Mbak Naira?" Mas Bayu yang bertanya.

Pandji menggelengkan kepalanya. "Ndak, Mas, aku sengaja kesini cuma mau tanya saja. Ya sudah kalau ndak jadi, besok aku sama teman-teman nunggu ya Mbak. Aku balik dulu."

"Mampir dulu saja, ganti baju kamu dan minum coklat panas, mau?" Aku menawarkan. Kasihan Pandji, dia bela-belain datang cuma buat nanya sama aku.

"Ndak usah Mbak, matur nuwun aku mau lanjut main hujan-hujanan lagi," tolaknya, "assalamualaikum."

"Wa alaikum salam," balasku dan mas Bayu.

Pandji berbalik dan berlari menembus hujan, menghampiri dua temannya yang menunggu dibawah pohon jati yang ada tak jauh dari rumah mas Bayu. Kemudian mereka bertiga pergi melanjutkan bermain.

"Duh, kasihan mereka, pasti kecewa deh," gumamku.

"Ndak apa-pa Dek, sekarang 'kan hujan, Mas ndak mau kamu sakit nantinya," ujar mas Bayu.

Aku menghela napas dan kembali masuk kedalam rumah, melanjutkan nonton dan menikmati coklat panas yang tadi belum habis.

Dinikahi Pemuda DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang