19. Nasihat

14.9K 983 38
                                    

Bab - 19

(Nasihat Pak Udin)

🍁🍁🍁🍁🍁

...

Setelah pertengkaran kemarin, aku tak mengizinkan mas Bayu tidur di kamarku. Aku mengunci kamar sepanjang hari. Mas Bayu terus saja mengetuk pintu dan membujukku untuk membukakannya dan menyelesaikan masalah. Tapi aku enggan melakukannya.

Hingga sekarang waktu sudah pagi menjelang siang, aku membuka pintu kamar dan keluar. Mas Bayu sedang duduk diruang tamu. Kebetulan kamarku berada tepat di samping ruang tamu. Mas Bayu tersenyum semeringah melihatku dan segera berdiri menghadap.

"Dek ... Akhirnya, kamu keluar juga," katanya, dengan logat medok yang sebulan lebih menjadi nada yang selalu aku dengar di Desa ini.

Aku menatapnya sinis dan tak menanggapi ucapannya.

Pak Udin menghampiri kami dengan segelas susu coklat hangat ditangannya. Beliau tersenyum melihatku yang sudah mau keluar kamar.

"Alhamdulillah ... Neng Naira keluar kamar juga akhirnya," ucap Pak Udin. "Ini, Bapak buatkan susu coklat buat Neng Naira." Pak Udin menyerahkan segelas susu coklat itu padaku. Pak Udin memang sudah tahu kesukaanku ini.

Aku menerimanya dan berterimakasih, kemudian meminumnya hingga habis. Lapar juga, belum makan dari kemarin soalnya.

"Kita duduk dulu ya, ada hal yang mau Bapak kasih tahu pada kalian." Pak Udin membimbingku dan mas Bayu untuk duduk.

Awalnya aku tidak mau duduk disebelah mas Bayu, tapi pak Udin memaksa. Jadilah aku dan mas Bayu duduk berdampingan, tapi aku mengambil posisi agak jauh darinya.

Pak Udin tersenyum melihat tingkahku, kemudian beliau berkata, "sebelumnya Bapak minta maaf, bukan maksud Bapak ikut campur urusan kalian berdua. Tapi, kemarin Bapak tidak sengaja mendengar keributan kalian," tuturnya membuka percakapan.

"Bapak lihat, dari kemarin Mas Bayu coba bujuk Neng Naira, supaya buka pintu dan dengar penjelasannya. Kenapa Neng Naira, tidak mau dengar dulu penjelasan suaminya?

"Biarkan Mas Bayu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, antara dia dan mantan pacarnya itu. Neng Naira harus kasih kesempatan, agar semuanya jadi jelas," imbuhnya.

Aku masih cemberut mendengar nasihat dari pak Udin. Pak Udin yang duduk di depan kami, membuat kami terlihat seperti dua anak kecil yang sedang dimarahi karena bertengkar.

"Kenapa Neng Naira marah, pas tau Mas Bayu pernah punya pacar dulu? Bukannya Neng Nai juga pernah pacaran pas SMA dan kuliah, bahkan seingat Bapak, Neng pernah ganti pacar sampai 5 kali, iya 'kan?"

Aku meringis mendengar ucapan pak Udin, kenapa mesti dibahas soal itu! Aku melirik mas Bayu, dia mengulum senyum melihatku.

"Kenapa dia enggak pernah cerita, kalau pernah pacaran sama cewek di Desa ini?!" kataku. Aku tidak mau kalah.

Pak Udin tersenyum mendengar ucapanku. "Neng Nai pernah cerita nggak, kalau dulu pernah pacaran? Sampai 5 kali, lagi."

"Ndak pernah, Pak." Mas Bayu yang menjawab. Awas aja, nanti.

"Nah 'kan, berarti kalian impas. Sama-sama pernah pacaran dan punya mas lalu. Yang lalu, biarlah berlalu, itu cerita lama antara kalian dan mantan pacar kalian itu. Sekarang giliran cerita kalian yang harus dilanjutkan mulai hari ini, besok, dan seterusnya."

Aku masih cemberut dan ngambek. Memang sih, mas Bayu terus saja membujuk agar aku mau berbaikan, tapi masih ada sesuatu yang membuatku tidak enak.

"Nak Bayu, kalau istri sedang marah, jangan sampai kamu ikut tersulut emosi juga, sebagai suami kamu harus bisa menenangkan dan membujuknya. Sebagai pasangan kalian harus saling menenangkan jika salah satunya sedang marah. Nak Bayu tau ... kalau istri merajuk begini, itu tandanya dia cinta sama kamu, dia lagi cemburu."

Aku menoleh pada pak Udin. "Apa? Cemburu? Aku enggak cemburu?" sanggahku cepat. Aku melirik mas Bayu yang tersenyum senang kearah ku. Pasti dia merasa di atas awan sekarang, pikirku.

"Kalau bukan cemburu, terus apa namanya, Dek?" tanya mas Bayu.

Aku menatapnya sinis dan tak menjawab pertanyaannya. Sedangkan dia masih mesem-mesem melihat tingkahku.

"Dalam rumah tangga, masalah kecil seperti ini sudah biasa mampir. Ini bisa menguji kalian berdua, bagaimana cara kalian menghadapinya dan menyikapinya. Masalah cemburu-cemburuan seperti ini, sudah jadi bumbu dalam setiap rumah tangga. Tinggal bagaimana kalian, akan menyelesaikannya saja," kata pak Udin, menasihati.

Ditengah perbincangan kami di ruang tamu, tiba-tiba pintu rumah diketuk dengan tak sabaran, serta suara seseorang memanggil mas Bayu.

Tok tok tok!

"Mas Bayu ... Mas!"

Tok tok tok!

"Mas!"

Mas Bayu yang berada dekat dengan pintu segera berdiri dan membukanya, aku pun ikut melihat siapa yang datang.

Lastri. Lastri yang datang. Dia terlihat tegang dan khawatir, pipinya basah karena air mata yang merembes dari matanya, dia terlihat  begitu sedih.

"Lastri, ada apa?" tanya mas Bayu yang terkejut. Begitu pun aku dan pak Udin.

"Bapak, Mas ... Bapak tambah parah... ," jawabnya.

Memang yang aku tahu, bapaknya Lastri sudah lama sakit keras.

"Bapak pengin, aku segera menikah. Beliau bilang, mumpung beliau masih ada umur. Aku takut, Mas...," Kata Lastri disertai isakan.

Mas Bayu memegang pundak gadis Desa itu, berusaha menenangkannya. "Kamu tenang dulu, ya... Bicara alon-alon," ucap mas Bayu lembut.

Aku memutar bola mata sinis, muak melihat mas Bayu yang selalu baik pada Lastri. Entah kenapa ada perasaan tak suka.

"Ndak bisa Mas ... Mas, Mas Bayu mau 'kan, menikahi aku? Aku rela walaupun jadi istri kedua Mas Bayu."

Aku melotot mendengar ucapan Lastri. Apa katanya? Istri kedua? Brengsek!

"Kemarin Mas bilang, Mas Bayu masih cinta sama Lastri. Buktikan, Mas!" kata Lastri lagi.

Mas Bayu, menoleh padaku, dia terlihat tegang dan gugup. Emosiku sudah mencapai ubun-ubun. Apa-apaan mereka?!

Aku berbalik dan meninggalkan mereka dengan dada bergemuruh. Perasaan sesak kini benar-benar menghimpit dadaku. Aku masuk kedalam kamar dan mengambil koper  yang aku bawa saat pertama kali aku datang kesini.

Aku muak dengan semuanya, lebih baik aku kembali ke Jakarta. Dimana duniaku berada.


Dinikahi Pemuda DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang