13. Lebih Baik

18.3K 1K 19
                                    

Bab - 13

(Lebih Baik)

🍁🍁🍁🍁🍁

...

Mas Bayu menaruh piring yang sudah berisi nasi dan lauk di hadapanku, sikapnya menjadi semakin manis setelah dia berhasil 'memilikiku' sepenuhnya. Aku meraih piring itu dan mulai melahap masakan buatannya.

"Susu coklat ku, mana?" tanyaku, saat teringat dengan kesukaanku itu. Entahlah, setelah kejadian semalam, nada bicaraku tidak lagi terlalu ketus dan dingin. Biasa saja, sih. Aku sudah mulai terbiasa dengan kehidupanku sekarang.

Sejujurnya aku juga mulai betah tinggal disini, apalagi mas Bayu sudah melengkapi semua fasilitas yang biasa aku gunakan, sehingga aku tidak terlalu sulit saat melakukan pekerjaan rumah atau yang lainnya. Hanya saja, disini aku tidak bisa nongkrong di cafe atau makan enak di Restoran seperti di Jakarta. Ada plus dan minusnya deh.

"Oh iya, Mas lupa." Mas Bayu menepuk jidat, dan segera mengambil gelas dan mengisinya dengan susu dan air panas, kemudian menaruhnya di dekatku.

"Thanks," kataku singkat. Ini kata 'terimakasih' pertamaku untuk mas Bayu, setelah hampir satu bulan kami menikah dan hidup bersama.

"Sama-sama." Mas Bayu duduk di hadapanku dan mulai menyantap makanannya.

Sepuluh menit berlalu, kami sudah menghabiskan sarapan. Saat ini, aku dan mas Bayu duduk di saung kecil yang ada disebelah kiri rumah. Singkong goreng dan teh hangat menjadi teman di pagi hari kami, kali ini. Aku memangku laptop yang sengaja kubawa, untuk mengedit beberapa foto kemarin.

"Assalamualaikum!"  Suara ramai anak-anak mengalihkan perhatianku dan mas Bayu.

"Wa alaikum salaam," jawabku dan mas Bayu.

Pandji dan teman-temannya yang datang ke kediamanku. Mereka tampak gembira dengan senyum yang mengembang.

"Wah ... Mau main sama Mbak Naira lagi toh?," tanya mas Bayu.

"Kita mau ambil foto yang kemarin, terus katanya Mbak Naira mau fotoin kami lagi. Ayo Mbak, kami sudah siap, kami tadi sudah mandi terus pakai baju bagus lagi," kata Pandji dengan bersemangat. Sepertinya Pandji ini pemimpin dari anak-anak ini, soalnya dari kemarin selalu Pandji yang aktif bicara. Hahaha.

Memang aku sudah berjanji pada mereka ingin foto-foto lagi. Tak ada kata puas rasanya untuk memotret Desa ini. Anak-anak ini terlihat begitu antusias untuk di foto. Padahal bagiku dan anak-anak di kota, difoto merupakan hal sepele dan biasa. Bahkan terkadang malas untuk bergaya.

Berbeda dengan anak-anak ini, yang tampak bahagia. Sesederhana ini mereka bahagia?

Aku berdiri dan menutup laptop. "Sebentar, Kakak ambil dulu ya fotonya."

Aku beranjak meninggalkan mereka memasuki rumah, mengambil beberapa lembar foto di laci kamar dan kamera, kemudian segera menemui mereka lagi.

Ada sekitar sepuluh anak yang kemarin aku potret, 6 laki-laki, dan 4 perempuan. Aku memberikan satu-persatu foto pada mereka. Raut bahagia kembali terpancar di wajah mereka.

"Terimakasih, Mbak Naira," kata mereka bersamaan.

"Sama-sama," balasku. "Sekarang kita berangkat yuk. Hari ini kalian mau main apa?"

"Banyak mbak, kita sudah bawa semua alat-alatnya, tadi kita taruh ditempat biasa main."

"Oke. Mas, aku pergi dulu, ya," pamitku pada mas Bayu.

Mas Bayu mengangguk, kemudian berpesan, "hati-hati, yo. Anak-anak, jaga Mbak'e baik-baik yo, jangan dibikin nangis."

Anak-anak itu tertawa mendengar ucapan mas Bayu. "Tenang to mas, Mbak'e bakal aman, 'kan ada Pandji Suranji sang pendekar sakti."

Lagi-lagi kami tertawa melihat Pandji yang begitu percaya diri. Mas Bayu juga, kenapa ngomong gitu tadi? Padahal dia yang sudah bikin aku nangis sampai berdarah-darah semalam ... Eh! Lupakan!

🍁🍁🍁🍁🍁

Segelas susu hangat sudah ku habiskan. Kini aku sedang duduk di ruang tamu dan memeriksa kembali foto-foto yang ku ambil tadi siang, bersama anak-anak.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam, mas Bayu masih duduk di depan tv, menonton acara sepak bola yang sebentar lagi akan selesai. Mas Bayu mematikan tv dan beranjak mendekat padaku, dan duduk di sampingku.

"Dek ...," panggilnya pelan.

"Hmmm ...," responku singkat dan masih fokus ke layar laptop di hadapanku.

"Masih sibuk, ya?" tanyanya seraya melirik laptopku.

Aku menghentikan pekerjaanku dan menoleh padanya. "Dikit lagi, kenapa memangnya?"

"E-mm, kita ... Mas pengin ... Emm." Mas Bayu terlihat gugup.

"Pengin apa sih Mas?" tanyaku tak sabar, dengan alis bertaut.

"Kalau udah selesai, kita ibadah malam, yuk," jawabnya.

Aku menahan senyum mendengar ajakannya. Pasti seru kalau ngerjain mas Bayu. "Aku udah solat isya Mas. Mas belum?" Padahal aku tahu tadi mas Bayu sudah solat di Masjid.

Mas Bayu menggaruk tengkuknya dan tampak salah tingkah, serta wajahnya berubah merah dan gugup.

Aku tertawa melihatnya bertingkah seperti itu. "Iya iya ngerti, ayo!" Aku menghentikan pekerjaanku dan beranjak memasuki kamar.

Mau minta aja susah banget sih, mas Bayu. Tinggal ngomong terus terang 'kan bisa, ucap batinku.

Mas Bayu menyusulku ke kamar, menutup pintu dan menguncinya. Senyumnya lebar banget, saat berjalan mendekat. Seseneng itu, ya.

"Dek, terima kasih ya," kata mas Bayu saat aku naik keatas ranjang.

Aku mengernyitkan kening. "Terima kasih untuk apa, Mas?"

Mas Bayu mengikutiku dan duduk menempel di sampingku, kemudian menjawab, "terima kasih sudah mau menerima, Mas."

Aku tersenyum mendengar jawabannya. "Itu sudah jadi tugasku Mas, mama dan papa berpesan agar aku berbakti sama suamiku," ungkapku, "justru, aku yang harusnya minta maaf sama kamu Mas. Maaf karena aku sudah bersikap buruk dan memperlakukan kamu semena-mena," imbuhku.

Mas Bayu menggeleng pelan. "Mas ngerti, kemarin-kemarin 'kan kita belum saling kenal. Wajar kalau kamu menghindar dari Mas, kamu pasti butuh waktu untuk lebih mengenal Mas, 'kan?"

"Iya, Mas."

Mas Bayu meraih tanganku, menggenggamnya, dan mengusapnya lembut. Tatapannya teduh padaku. "Bismillah ya Dek, kita ibadah malam ini."

Aku mengangguk dan berkata, "iya, Mas."


Dinikahi Pemuda DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang