16. Lastri

13.5K 966 7
                                    

Bab - 16

(Lastri)

🍁🍁🍁🍁🍁

...

Pagi ini cuaca sangat cerah, kebetulan sekali, hari ini kan aku mau memotret Sinta dan teman-temannya. Kemarin Pandji datang ke rumah, membawa pesan dari Sinta, kalau teman-temannya setuju. Dan soal kemarin mas Bayu menyuruh pulang, ternyata mama video call dan menanyakan keberadaan ku. Mama mencoba menghubungiku tapi tidak bisa, gimana mau bisa kalau sinyal saja GSM (Geser Sedikit Mati) hahaha.

Setelah video call kemarin, rasa rinduku semakin menggebu, tak sabar pengin ketemu mama dan papa lagi. Sampai aku nangis-nangis saat video call.

Setelah sarapan, aku meminta izin pada mas Bayu, untuk pergi melakukan pekerjaan. Dia mengizinkan. Katanya dia juga mau mengajak pak Udin jalan-jalan, lihat-lihat Desa dan melihat kondisi kebun dan sawah milik papa. Ya, memang papa punya beberapa hektare sawah dan kebun yang dipercayakan pada mas Bayu, dan mas Bayu mempekerjakan beberapa warga untuk mengurusnya, nanti dia yang akan memeriksa dan memberi arahan sesuai ilmu yang dia dapat di universitas.

Aku segera mengambil kamera dan juga tas punggung berisi beberapa barang yang akan aku gunakan nanti. Memakai sepatu, kemudian meluncur ke rumah Sinta.

Aku melewati beberapa rumah warga, areal persawahan, dan perkebunan untuk menuju rumah Sinta.

"Mbak, Naira!" Aku menoleh ke sumber suara, ternyata Sinta yang memanggil. Sinta berlari kecil ke arahku, dia sedikit ngos-ngosan saat sudah berdiri di depanku.

"Sinta, kamu dari mana?" tanyaku.

"Aku dari tempat kumpul Mbak, temen-temenku sudah di sana semua. Aku kesini tadinya mau nyamper ke rumah Mbak, eh ternyata ketemu disini."

"Loh, inikan belum jam tujuh. Kalian berangkat jam berapa?" Aku melihat jam di pergelangan tanganku.

"Jam 06.30 kita sudah kumpul di rumahku, terus langsung pergi ke saung nunggu, Mbak. Kita ndak sabar pengin di foto, jadi aku susul saja Mbak ke rumah, gitu."

Aku terkekeh melihat ke-antusiasan mereka. "Mereka juga pakai baju kayak kamu gini, kan?" Sinta mengenakan kebaya klasik dengan kain jarik yang menutupi kakinya, serta rambutnya digelung sederhana. Kebetulan rambutnya panjang.

Sinta mengangguk. "Sudah Mbak, semuanya sesuai dengan apa yang Mbak minta."

"Ya sudah, ayo, kita kesana," seruku dengan penuh semangat.

Aku dan Sinta melanjutkan perjalanan ke tempat berkumpulnya teman-teman Sinta. Di saung, Ningsih, Siti, Sari, Ayu, dan Lastri sudah menunggu. Mereka mengenakan kebaya yang sama dengan Sinta, hanya warna yang membedakannya.

"Nah, teman-teman, ini Mbak Naira, yang kemarin aku ceritain itu loh." Sinta mengenalkan ku pada mereka.

Aku menyalami mereka satu-persatu dan berkenalan. "Aku Naira," kataku memperkenalkan diri.

Kemudian mereka menyebutkan nama mereka masing-masing, kecuali Lastri, karena aku sudah mengenalnya.

"Kita langsung mulai saja, ya," kataku.

Mereka setuju dan bersiap. Tempat ini dekat dengan sungai, aku mengajak mereka kesana dan memilih spot yang bagus.

Ada beberapa batu yang berukuran sangat besar, aku mengarahkan mereka untu naik kesana dan menyuruh mereka duduk seperti sedang mengobrol. Sengaja aku membuat mereka tampak natural. Tadi, sebelum aku memulai sesi pemotretan, aku mengubah sedikit tatanan rambut mereka agar tampak natural dan tak dibuat-buat.

Dinikahi Pemuda DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang