15. Gadis Desa

14.2K 958 1
                                    

Bab - 15

(Gadis Desa)

🍁🍁🍁🍁🍁

...

Pagi ini aku sedang memasukkan snack yang kemarin mas Bayu beli dari pasar, ke dalam Tote bag besar. Aku mau pergi menemui anak-anak yang sudah mau menjadi objek fotoku. Ya bisa dibilang, ini sebagai bentuk rasa terima kasihku. Setelah semuanya siap, aku bergegas membawanya, tapi sebelum itu aku harus minta izin mas Bayu dulu. Mas Bayu sedang duduk di saung kecil samping rumah, bersama pak Udin. Mereka sedang mengobrol dengan ditemani masing-masing segelas kopi, dan ubi rebus, serta cemilan yang kemarin mas Bayu beli.

"Mas, aku pergi dulu ya, mau bagi-bagi snack buat anak-anak." Aku berpamitan setelah ada dihadapannya.

"Iya, hati-hati. Jangan pulang terlalu sore ya, Dek." Aku mengangguk.

"Neng Nai, mau kemana?" tanya pak Udin.

"Mau main Pak, sekalian bagi-bagi makanan buat anak-anak," jawabku. "Sudah ya, aku pergi dulu. Assalamualaikum."

"Wa alaikum salaam," jawab mereka.

Aku berjalan menyusuri jalanan Desa menuju saung tempat kami bermain kemarin dan berharap mereka ada di sana. Tapi setelah sampai, ternyata tidak ada siapa-siapa, jadi aku memutuskan untuk mencari keberadaan mereka. Lima belas menit aku mencari keberadaan anak-anak itu, akhirnya ketemu juga. Mereka sedang berkumpul di rumah Pandji ternyata.

Di rumah Pandji ada tv, dan mereka sedang menonton kartun. Di Desa ini tak banyak yang mempunyai tv, sehingga anak-anak dan orang yang tak punya tv, harus menumpang pada tetangga yang memiliki tv untuk menontonnya bersama. Barang elektronik itu memang benda yang cukup mewah bagi warga Desa, walaupun cuma tv tabung kecil. Bukan cuma tv saja, barang-barang elektronik yang lain pun sama mewahnya juga bagi mereka ... Maybe?

Bagaimana kalau mereka melihat tv-ku di rumah mas Bayu? Pasti mereka mengira itu adalah layar bioskop. Ups! Lagi-lagi sifat sombongku muncul, meskipun dalam hati.

Aku duduk bersama mereka dan membagi-bagikan snack yang aku bawa. Mereka tampak senang dan berebut saat aku membagikannya, tapi untung semuanya kebagian.

Ternyata Pandji punya kakak perempuan, usianya sekitar 20 tahunan. Dia menghampiriku yang sedang duduk di ruang tamunya bersama adik dan teman-temannya.

"Mbak bukan dari Desa sini, ya?" tanya Sinta —kakak Pandji.

Aku mengangguk. "Iya, aku dari Jakarta, baru sekitar satu bulan disini," jawabku ramah.

"Mbak, tinggal dimana?"

"Aku tinggal dirumahnya mas Bayu."

"Mas Bayu? Emm ... Apa kamu istrinya mas Bayu?" Sinta tampak antusias, dan menebak.

Aku mengangguk. "Iya."

"Oalah ... Jadi bener kata ibu, kalau mas Bayu sudah menikah?" Dia memandangku intens. "Kamu cantik, bener juga kata ibu. Kemarin ibu cerita, katanya mas Bayu sudah menikah di Jakarta, dan dia bawa istrinya kesini. Wah ... ."

"Kamu kenal mas Bayu?" tanyaku juga.

"Siapa yang ndak kenal toh Mbak, semua warga Desa kenal sama mas Bayu. Wong'e ganteng, pinter, sopan lagi," jelasnya. Sinta tampak antusias saat menceritakan sosok mas Bayu.

Aku tersenyum mendengar pujian Sinta. Seterkenal itukah mas Bayu di Desa ini?

"Oh iya, temen-temenku saja, pada ndak percaya kalau mas Bayu sudah menikah. Padahal Lastri juga, sudah kasih tau. Tapi mereka tetep ndak, percaya." Sinta kembali ngoceh.

"Temen? Emm ... Temen kamu ada berapa orang?"

"Sekitar lima orang, kenapa Mbak?"

Aku ada ide, untuk pemotretan selanjutnya. "Aku mau ketemu temen-temen kamu, dong."

"Kebetulan, aku mau kesana. Ayo, sekalian saja ikut," ajaknya.

🍁🍁🍁🍁🍁

Aku berjalan bersama Sinta menuju saung dekat sungai, itu tempat dimana dia dan temannya suka bertemu.

Sinta bercerita kalau teman-temannya itu pernah suka dan berharap mendapatkan cinta mas Bayu. Tapi harapan tinggal harapan. Mas Bayu pergi ke Jakarta dan menikah denganku.

Memang sih, mas Bayu itu ganteng, kulitnya sawo matang, enggak putih, tapi dia memiliki senyum yang manis dan tatapan mata yang teduh, serta lesung pipi yang membuatnya semakin terlihat manis saat senyum. Membuatku benar-benar terpesona oleh senyumannya. Aku baru menyadari semuanya, saat malam itu.

Sinta menyebutkan nama teman-temannya, ada Ningsih, Ayu, Siti, Sari, dan juga Lastri. Gadis yang beberapa hari lalu mendekati mas Bayu, dengan membawakannya makan siang ke sawah.

Tapi belum sampai aku ke tempat tujuan, aku berhenti saat ponselku bergetar, ada pesan masuk dari mas Bayu. Pesan itu baru masuk setelah 5 menit, benar-benar jelek sinyalnya! Aku membukanya dan dia menyuruhku pulang.

"Sinta, maaf ya aku enggak bisa lanjut ketemu teman kamu sekarang. Mas Bayu nyuruh aku pulang," kataku menyesal.

Sinta mengangguk. "Iya, ndak apa-apa. Kalau gitu kamu pulang saja. Perintah suami harus dituruti."

"Tapi nanti tolong tanyakan sama teman kamu ya, mau enggak jadi model pemotretanku? Kalau mau, kalian besok kumpul di rumah kamu aja jam 7 pagi, ya. Kalau bisa pakai kebaya tradisional juga."

"Iya, iya, gampang! Nanti aku tanya sama mereka. Kalau sudah ada jawaban, nanti tak' suruh Pandji ke rumahmu kasih kabar, yo."

"Terima kasih ya, aku balik dulu. Bye ...." Aku melambaikan tangan.

Ada apa ya, mas Bayu nyuruh aku pulang?

Dinikahi Pemuda DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang