21. Hutang Budi

14.4K 919 5
                                    

Bab - 21

(Hutang Budi Kakeknya Naira)

🍁🍁🍁🍁🍁

...

Pagi ini aku, mama, dan papa sedang duduk di ruang keluarga, duduk berdampingan di sofa yang disusun melingkar. Aku duduk didekat mama, dan mama mendekap ku sembari mengusap rambutku dengan lembut, hal yang paling ku rindukan. Papa duduk disebelah kananku. Beliau memakai baju santai dan belum bersiap berangkat kerja, karena papa memilih untuk berbicara denganku dulu sebelum berangkat kerja jam 10.00 nanti.

"Nai, semalam pak Udin cerita sama Papa, katanya kamu berantem, sama Bayu?" tanya papa memulai pembicaraan setelah beliau menyeruput kopinya.

Aku menghela napas dan cemberut. "Iya, Pa," jawabku lesu.

"Pak Udin juga cerita, kalau mantan pacar Bayu, meminta dinikahi oleh Bayu?" tanya papa lagi.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Tapi Papa percaya, kalau Bayu tidak akan mau memenuhi permintaan mantan pacarnya itu, Nai," ujar Papa dengan yakin.

Aku menatap beliau sambil mencebik. "Kenapa Papa bisa seyakin itu, Naira sudah banyak tahu soal mas Bayu dari teman-teman Naira di sana, Pa," kataku dengan yakin, juga.

"Belum tentu cerita mereka itu benar. Semalam Papa sudah bicara dengan Bayu di telefon, dan dia sudah menjelaskan semuanya pada Papa. Dan, Papa sangat kenal, seperti apa Bayu dan sifatnya. Jadi papa mau, kamu beri dia kesempatan dan dengarkan penjelasannya."

"Udahlah Pa, aku enggak mau bahas itu lagi. Papa tau sendiri, dari awal aku udah benci sama mas Bayu," kataku kesal.

Papa menghela napas. "Papa tetap percaya sama Bayu. Saat pertama Papa mengungkapkan keinginan papa untuk menjodohkan kamu dengan dia, dia menerimanya dengan lapang dada. Bahkan dia sudah berjanji pada Papa, untuk menjaga dan membahagiakan kamu, Nai. Dia orang yang baik, perhatian, sopan, dan jujur. Apa kamu tidak melihat kebaikannya, selama sebulan lebih tinggal bersama dia?"

Iya pa, aku tahu. Aku tahu mas Bayu orang yang baik dan lembut, aku tidak benar-benar membencinya, sekarang aku sudah sadar, batinku berbisik.

"Tapi Pa, mantan pacar mas Bayu itu bilang, kalau mas Bayu pernah ngomong masih cinta sama dia, jadi besar kemungkinan, mas Bayu mau menikahi dia. Aku kecewa sama dia, Pa!" Berteriak sedikit kencang di akhir kalimatku, kini aku sudah duduk tegak dan lepas dari pelukan mama.

Mataku terasa panas, dan bulir bening seketika meluncur melewati pipiku. Mama kembali memelukku dan menenangkanku.

"Sabar Sayang ...," bisiknya lembut. Aku terisak di pelukan mama.

"Maafkan Papa, Nai." Papa mengusap pundak ku. "Papa tidak mungkin menjodohkan kamu dengan orang sembarangan, kamu putri Papa satu-satunya, jadi tidak mungkin Papa menjerumuskan anak Papa sendiri ke jurang kesedihan."

Aku mengusap air mataku dan duduk menghadap papa, ada sesuatu hal yang penting, yang harus kutanyakan pada papa. "Pa ... Hutang budi apa, yang membuat Papa, menjadikanku untuk membayarnya?" tanyaku hati-hati, setelah tangis ku reda.

Papa mengusap air mata di pipiku dan menangkup pipi kiri ku. Beliau menatapku dalam dan tersenyum simpul, kemudian beliau mulai bercerita tentang hutang budi itu.

"Dulu, kakek kamu sakit jantung, dan harus menerima donor jantung. Saat itu Papa belum menikah. Papa sudah berusaha mencari donor untuk kakek kamu. Tapi saat itu sangat sulit untuk mendapatkannya.

"Saat Papa sedang dalam keadaan pusing memikirkan semuanya, tiba-tiba ada ambulance yang datang membawa korban kecelakaan. Yahh ... Saat itu Papa sedang duduk didepan Rumah Sakit, tempat kakek kamu dirawat.

"Tak lama seorang Dokter datang menemui Papa, dia Dokter yang menangani kakek kamu. Dia berkata, mau mempertemukan Papa dengan seseorang. Ternyata orang itu, korban kecelakaan yang tadi dibawa ke sana.

"Seorang pria paruh baya, terbaring lemah di UGD, dia tampak sekarat. Dia memberitahu Papa, kalau dia bersedia mendonorkan jantungnya untuk kakek kamu, karena beliau merasa waktunya sudah tidak lama lagi.

"Pria itu terlibat kecelakaan saat akan berangkat ke Jakarta untuk merantau. Dia memberi wasiat pada Papa, untuk menjaga anak dan istrinya di Kampung. Beliau bilang, saat itu anaknya baru berusia 2 tahun setengah, anaknya laki-laki. Dan anak itu adalah, Bayu, suami kamu." Papa menjeda ceritanya dan menepuk pipiku pelan.

"Ayah Bayu, yang sudah menyelamatkan nyawa kakek saat itu. Hingga kakek kamu merasa sangat bersyukur dan berterima kasih. Hingga suatu saat Papa menikah dengan Mama kamu, dan Mama mengandung anak perempuan secantik kamu, kakek bersumpah, akan menjodohkan kamu dengan anak dari orang yang menolongnya," sambungnya, mengakhiri cerita.

Air mataku tumpah semakin deras saat mendengar cerita papa. Sekelam itu masa kecil mas Bayu? Sejak kecil dia sudah tidak merasakan kasih sayang seorang ayah. Tapi dia di besarkan menjadi orang yang baik dan lembut oleh ibunya.

Sekarang aku merasa sangat bersalah, selama ini aku selalu bersikap kasar padanya. Sejak kecil, mas Bayu sudah menjalani kehidupan yang begitu keras, seharusnya, sekarang sebagai istri aku mesti merawat dan menyayanginya sepenuh hati, serta melayaninya dengan Baik.

Mas Bayu, maafkan aku...

"Papa enggak bohong ,kan?" tanyaku dengan suara serak, memastikan kebenaran cerita papa.

Papa mengangguk dan mengusap rambutku. "Papa enggak bohong Sayang ...," jawabnya, "kamu beruntung bisa mendapatkan Bayu, dia orang yang baik. Dia dibesarkan oleh wanita yang lembut dan benar-benar menjunjung tinggi toto-kromo, almarhumah mertua kamu itu wanita Jawa yang benar-benar lemah lembut.

"Terbukti dengan didikannya pada Bayu yang bersifat lemah lembut, baik, sopa, pekerja keras. Itu sebabnya Papa juga benar-benar merasa beruntung bisa kenal dengan keluarga mereka, dan sekarang ... Bayu menjadi menantu Papa. Papa percaya kalau Bayu bisa menjaga dan menyayangi kamu sepenuh hati."

"Aku jadi merasa bersalah sama mas Bayu, pa ...."

Mendengar pengakuanku papa dan mama tersenyum. "Jadi ... Gimana perasaan kamu sama Bayu sekarang?" Kini mama yang buka suara.

Pipiku merona mendengar pertanyaan mama, membuat mama dan papa terkekeh melihat perubahan  di wajahku.

Sejujurnya, aku merasa nyaman dengan mas Bayu. Apalagi setelah kami menyempurnakan pernikahan kami.

"Muka kamu merah ... Jadi sekarang kamu suka sama Bayu?" goda mama sambil tertawa kecil.

"Aahhh, Mama nih ...." Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, malu digoda seperti itu.

Papa dan mama tergelak melihatku yang salah tingkah oleh perbuatan mereka. Dasar, iihhhh ...

Dinikahi Pemuda DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang