26. Mengalir

15.4K 945 3
                                    

Empat bulan sudah berlalu. Kehidupanku di Desa semakin menyenangkan, pekerjaan rumah sudah bisa kukerjakan sendiri, termasuk memasak. Jadi, mas Bayu hanya berfokus pada pekerjaannya memantau Sawah dan Kebun.

Setiap jam makan siang, aku selalu mengantarkan makanan ke Sawah untuk mas Bayu. Sudah menjadi kebiasaanku setelah kami kembali ke Desa.

Kehidupan Lastri dan Satya juga, semakin membaik. Ketika aku dan mas Bayu jalan-jalan pagi menikmati udara segar, tak sengaja kami berpapasan dengan Lastri dan Satya.

Mereka juga tengah berjalan bersama dan terlihat bahagia. Sikap Lastri padaku juga semakin baik, tidak ketus dan sinis seperti dulu. Sekarang dia selalu menyapaku dengan senyuman manisnya, ketika kami tak sengaja berpapasan di jalan.

Bahkan kini Lastri tengah mengandung. Usia kehamilannya baru menginjak satu bulan.

.

Pagi ini aku terbangun dengan rasa mual yang luar biasa. Segera aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan makanan yang kemarin sempat kumakan.

Mas Bayu yang sedang menyeduh teh, tergopoh-gopoh menghampiri dan mengusap tengkuk, serta memegang rambutku yang tergerai agar tak kena cipratan.

"Ya Allah, Dek, kamu kenapa? Kok muntah-muntah gini, toh." Suara Mas Bayu terdengar kuatir.

Aku membasuh mulutku dengan air dan menegakkan tubuh. "Enggak tau mas, kepala aku pusing banget, terus perut aku mual juga." Aku berjalan gontai keluar kamar mandi, dan duduk di meja makan.

Mas Bayu mendekatkan secangkir teh hangat padaku. "Adek minum teh dulu ya, biar badannya hangat, ini kayaknya Adek masuk angin," tukasnya.

Aku meraih gelas pemberian suamiku itu dan meminum sedikit teh hangat. Kepalaku terasa sangat pusing, aku menyandarkan kepala di atas meja dan memejamkan mata.

"Mau Mas kerokin, ndak?" tawar mas Bayu. Dia mengusap kepalaku pelan, dan menaruh telapak tangannya di keningku. "Tapi ndak panas badannya," ia bergumam.

"Huek ... Huek ... ." Aku segera berlari menuju kamar mandi lagi dan berjongkok di dekat kloset.

Lagi-lagi mas Bayu mengikuti dan mengusap punggungku. Aku kembali menegakkan tubuh dan menghadap mas Bayu, setelah rasa mual ku sedikit reda. "Mas ... ." Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku menangis dan memeluk mas Bayu.

Mas Bayu mengusap punggungku. "Sssttttt ... Sudah, jangan nangis. Nanti kita ke dokter, ya."

Aku mendongak mendengar ucapan mas Bayu, dan mengernyitkan kening. "Dokter? Memangnya disini ada dokter?" tanyaku. Setahuku di Desa ini tidak ada dokter.

Mas Bayu menggaruk tengkuknya, dan meringis. "Em ... Adanya di Desa sebelah, sih," jawabnya ragu.

Aku cemberut. "Jauh dong, aku enggak mau kalau harus pergi jauh, apalagi kepalaku pusing gini. Bisa tambah pusing dan mabuk nanti di mobil." Aku meninggalkan mas Bayu di dapur dan pergi ke kamar.

Merebahkan diri, dan menutup mata. Tak lama aku merasakan pijatan lembut di kakiku. Saat membuka mata, kulihat mas Bayu duduk di samping ranjang dan memijat kakiku.

"Ya sudah, Adek istirahat dulu saja. Nanti mas coba panggil dokter buat datang ke sini, ya."

Aku mengangguk dan menutup mata kembali, berharap rasa pening ini bisa berkurang.

*****

Dokter yang memeriksa ku tersenyum saat menunjukkan hasil tes pack yang tadi aku gunakan. Ya, tadi mas Bayu pergi ke Desa sebelah dan meminta dokter itu datang ke rumah kami, Alhamdulillah-nya, Dokter wanita paruh baya ini bisa memenuhi permintaan mas Bayu.

Saat baru datang dokter itu langsung memeriksa kondisiku, beliau memintaku untuk tes urine.

Saat ini kami duduk di ruang tamu dan menunggu penjelasan dokter.

"Selamat ya Pak, Bu, sebentar lagi kalian akan jadi orang tua," kata Dokter itu, memulai pembicaraan.

Mas Bayu membelalakkan matanya, dan bertanya, "j-jadi orang tua, Dok?" Mas Bayu terlihat senang, nampak dari binar matanya. "Istri saya ... Hamil, Dok?" Mas Bayu melontarkan pertanyaan lagi.

Dokter itu mengangguk, menjawab pertanyaan mas Bayu.

Aku pun tak bisa menahan senyumku. Mas Bayu memelukku dan mencium keningku.

"Kalau dilihat dari hari terakhir datang bulan, Bu Naira, usia kandungannya sudah menginjak tiga minggu. Kondisi yang masih rawan, pilihan Pak Bayu memanggil saya ke sini sangat tepat, dan tidak membawa Ibu Naira ke Klinik.

"Kondisi jalan disini sangat terjal dan berbatu, kalau naik mobil pun guncangannya luar biasa, itu bisa berbahaya untuk kehamilan Ibu Naira. Jadi sebaiknya Bu Naira jangan dibawa pergi jauh dulu ya Pak, untuk sementara waktu, hingga kandungannya lebih kuat." Dokter itu mengakhiri penjelasannya.

Kami mengangguk. "Terimakasih, Dok." Aku tersenyum bahagia mendengar kabar gembira dari Dokter di hadapanku ini.

"Nanti saya tulis resep untuk vitamin ya Pak, Bu. Pak Bayu bisa membelinya di Apotek Klinik nanti." Dokter itu menulis di secarik kertas kecil dan memberikannya pada mas Bayu.

Mas Bayu menerimanya dengan senang hati. "Terimakasih, Dok," katanya.

"Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu. Jaga kesehatan ya, Bu, makan makanan bergizi, sayur-sayuran dan buah-buahan, jangan terlalu kerja berat juga." Dokter itu memberi wejangan.

Aku mengangguk. Dokter itu berdiri dan menyalamiku dan memberi selamat sekali lagi atas kehamilanku.

"Dek, Mas mau antar Dokter dulu, ya, sekalian beli obat di sana. Kamu istirahat saja di kamar." Mas Bayu mengusap rambutku.

"Iya Mas, hati-hati."

"Kalau begitu, saya permisi, Bu," ucap Dokter itu.

"Sekali lagi, terimakasih Dok atas waktunya."

Dokter itu mengangguk dan berlalu menuju mobil, di susul mas Bayu. Kemudian mereka pun pergi meninggalkan pekarangan rumah.

Aku menghela napas dan tak henti-hentinya tersenyum. Setelah kepergian mas Bayu dan dokter itu, aku mencoba mematut diriku di cermin dengan sedikit menyingkap baju, dan memperlihatkan bagian perut.

Perutku masih rata, tapi seiring berjalannya waktu, perut ini akan membesar. Bayi di dalam sana pasti akan menendang-nendang saat menginginkan sesuatu.

"Hihihihi ... ." Aku tertawa geli membayangkan suatu hari nanti akan ada mahkluk mungil yang memanggilku dengan sebutan 'Mama', dan 'Papa' pada mas Bayu.

Aku mengusap-usap perutku yang masih rata itu. Tidak sabar rasanya menanti kehadiran si jabang bayi lahir ke Dunia ini.

Dinikahi Pemuda DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang