27. Rencana

15.6K 857 10
                                    

"Assalamualaikum... ."

Aku tergopoh menuju ruang tamu ketika mendengar salam dari seseorang, aku sangat hapal suara ini. Benar saja, seketika aku membelalakkan mata melihat mama yang berdiri di depan pintu rumahku.

"Mama!" Aku memekik senang, dan berlari memeluk mama dengan erat.

"Hey, jangan lari-lari, kamu lagi hamil, loh!" tegur mama.

Aku cuma cengengesan mendengar teguran mama.

Memang, seminggu yang lalu aku langsung memberitahu mama, saat mas Bayu kembali setelah mengantarkan Dokter dan mengambil obat di Apotek.

Mama dan papa terdengar sangat bahagia, dan aku dengar mama menangis saking bahagianya ketika aku menelfon. Dan sekarang, tanpa memberi kabar, tiba-tiba mama dan papa sudah berada di hadapanku.

Mas Bayu yang sedang berada di kamar belakang, entah sedang apa, menghampiri kami dan mencium punggung tangan mama dan papa.

"Mama, Papa, apa kabar? Kenapa ndak kasih kabar, kalau Mama dan Papa mau kesini?" tanya mas Bayu sopan, dia juga terkejut melihat kehadiran mama dan papa.

"Alhamdulillah baik, sengaja Papa dan Mama enggak kasih kabar dulu, biar jadi kejutan. Kalian sehat, kan?" Kini papa yang menjawab disertai tanya.

"Sehat, Pa, Alhamdulillah... ."

"Ayo Ma, Pa duduk dulu, aku buatkan teh dulu, ya." Aku mempersilakan mama dan papa untuk duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu, dan segera ke dapur untuk membuat minum.

Setelah membuat teh, aku membawanya ke ruang tamu, dimana mama, papa, dan mas Bayu sudah duduk di sana.

Aku meletakkan satu persatu cangkir berisi teh dihadapan mereka, dan ikut duduk di samping mas Bayu.

"Duh ... Anak Mama sudah mandiri ya, sekarang. Sudah pintar melayani." Mama tersenyum bangga melihatku dan menyeruput teh buatanku itu.

"Aku kan udah besar, Ma," ucapku dengan bangga pula.

"Iya dong, anak Papa harus mandiri, sebentar lagi kan mau jadi ibu." Papa menimpali.

"Mmm ... Mama sama Papa naik pesawat ya ke sini, masih siang sudah nyampe?" Aku penasaran. Biasanya aku dan mas Bayu sampai ke Desa saat hari menjelang malam kalau menggunakan mobil, padahal kami memulai perjalanan pagi-pagi sekali.

"Iya. Mama kamu enggak kuat kalau lama-lama naik mobil. Mama kan tukang mabuk kendaraan. Hahaha... ." Papa tertawa setelah mengatakan itu.

Aku dan mas Bayu juga ikut tertawa, dan mama yang cemberut.

"Oh iya, Mama dan Papa sepakat, kalau kalian sebaiknya tinggal di Jakarta saja, supaya nanti saat Naira melahirkan semuanya gampang, dan kebutuhan pun bisa di dapat dengan mudah." Papa bersuara lagi, setelah menghentikan tawanya.

"Iya, Nak. Mama kuatir kalau Naira harus melahirkan disini, mama lihat disini jauh dari Rumah Sakit, masa' Naira melahirkan cuma dibantu dukun beranak aja, mama enggak mau Naira kenapa-napa." Kini mama yang bicara setelah menghentikan aksi cemberutnya.

"Husssttt! Mama jangan ngomong gitu." Papa memperingati. Mama cuma bereaksi dengan menutup mulutnya dengan jari tangannya yang lentik, seperti milikku.

"Iya Ma, Pa, Bayu juga berpikir begitu. Tapi kata Dokter, harus menunggu hingga kandungan Naira kuat dulu, usia kandungan Naira saat ini masih terlalu muda, jadi sangat rawan," ucap mas Bayu menjelaskan kata Dokter waktu itu.

Papa terlihat berpikir. "Mmmm ... Kira-kira samapi usia kandungan berapa, Naira bisa ke Jakarta?" tanya papa.

"Kira-kira tiga bulan lebih, Pa, itu usia kandungan yang sudah cukup kuat untuk diajak jalan." Mama yang menjawab.

"Gimana kalau menjelang empat bulan, kami baru berangkat ke Jakarta, sekalian nanti bikin acara empat bulanan di sana? Itu pun kalau Mama dan Papa mengizinkan." Mas Bayu mengutarakan idenya.

Papa mengangguk setuju. "Ya, Papa setuju dengan usulan kamu, Bayu," katanya.

"Tapi ... Artinya Naira harus jauh dari Mama, dong? Mama kuatir kalau jauh dari Naira dalam keadaan hamil begini." Mama terlihat cemas.

"Enggak papa Ma, aku bisa jaga diri, kok. Mas Bayu juga pasti akan siaga 24 jam, dan lebih ketat menjaga aku." Aku menenangkan mama, bahkan aku berpindah tempat duduk di sampingnya dan memeluknya dari samping.

Mama balas memelukku, dan berkata, "tapi janji, ya, jaga diri baik-baik. Jangan pecicilan terus, ingat ada yang harus kamu jaga di sini." Mama mengusap perutku yang masih rata.

Aku mengangguk dan tersenyum. "Janji," ucapku sungguh-sungguh.

***

Tiga bulan lebih berlalu, perutku sudah sedikit mengembang, walau tidak terlalu kentara. Hari ini aku dan mas Bayu akan berangkat ke Jakarta. Kali ini mas Bayu ingin kami berangkat dengan pesawat, agar waktu perjalanan lebih singkat dan aku tidak terlalu lelah dalam perjalanan.

Dari Desa, kami menggunakan mobil menuju Bandara. Di sana sudah ada orang suruhan papa yang akan membawa mobil kami ke Jakarta, sementara kami naik pesawat.

Mas Bayu sedang memasukkan barang-barang yang akan kami bawa ke sana, dalam bagasi. Ada juga oleh-oleh berupa hasil kebun dari Satya dan Lastri.

Saat ini mereka sedang berada disini untuk mengantar kepergian kami nanti. Lastri menggenggam jemariku, perutnya terlihat lebih menggembung dariku, jarak usia kandungan kami tak terlalu jauh. Beberapa bulan kemarin, aku dan dia selalu bertukar cerita dan informasi, seputar kehamilan.

"Kalian hati-hati di jalan ya, nanti kalau sudah di Jakarta jangan lupa telfon aku, pokoknya kita jangan sampai putus hubungan," ucap Lastri.

Aku mengangguk. "Iya, itu pasti. Nanti kalau sudah lahiran jangan lupa, kasih tau aku."

"Iya pastilah. Jangan lupa juga, sering-sering main ke sini nanti kalau anak kamu sudah besar, ya."

"Iya dong, aku pasti bakal rindu banget sama Desa ini."

Aku dan Lastri berpelukan dan cipika cipiki. Setelah itu aku bersalaman dengan Satya. "Jaga Lastri baik-baik ya, jangan dibikin nangis, loh!" Aku menatap serius pada Satya.

Dia terkekeh. "Hehehe ... Pasti dong, aku akan menjaganya dengan segenap jiwa dan raga." Satya mengepalkan tangan dan menepuknya di dada.

Aku tertawa melihat tingkahnya yang selalu lucu, pasti Lastri juga sering tertawa melihat kelakuan suaminya ini.

Mas Bayu menghampiri kami, dia sudah selesai memasukkan barang-barang kami. "Kami jalan dulu, ya Satya, Lastri." Mas Bayu bersalaman dengan Satya dan juga Lastri.

"Hati-hati dijalan ya, jaga Naira baik-baik." Pesan Satya pada mas Bayu.

"Iya, itu pasti. Kamu juga, jaga Lastri baik-baik," balas mas Bayu.

Hingga perbincangan singkat lainnya usai. Aku dan mas Bayu masuk ke dalam mobil dan segera pergi dari sana.

Aku melambaikan tangan pada Lastri dan Satya, begitu pun mas Bayu. Aku menghela napas panjang, sebelum akhirnya nanti paru-paru ini akan menghirup udara Jakarta yang tidak sesegar ini.

Aku pasti akan sangat merindukan tempat ini, dan suatu hari nanti aku ingin kembali lagi ke sini, walau hanya untuk sesaat.


Dinikahi Pemuda DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang