28. Kelahiran

20.3K 851 11
                                    

Beberapa bulan berlalu. Hari ini adalah hari yang akan mengubah kembali hidupku, perutku sudah merasakan mulas. Rasa itu timbul tenggelam, tapi seiring mendekati waktunya bayi ini keluar, kontraksinya semakin sering.

"Mas ... ." Aku meringis saat merasakan kontraksi lagi. Mas Bayu dengan sabar mendampingiku dan mengusap perutku pelan.

Saat ini aku sedang ada di mobil menuju Rumah sakit. Papa yang menyetir, dan mama duduk di samping papa di kursi depan.

Aku dan mas Bayu duduk di kursi belakang. Dia selalu siaga saat aku mengeluh. Mas Bayu memelukku dan terus membisikkan kata-kata penyemangat.

Lima belas menit berlalu, kami sudah sampai di Rumah Sakit, jarak dari rumah ke sini memang tidak terlalu jauh jadi kami bisa cepat sampai, kondisi jalan juga tidak sedang macet.

Dua orang perawat membawaku ke ruang bersalin dengan brangkar. Mama, papa, dan mas Bayu juga ikut mendorong brangkar yang aku gunakan.

Semua persiapan sudah selesai, kini saatnya untuk aku melahirkan. Mas Bayu selalu ada di sampingku dan menggenggam erat tanganku, dan membisikkan kata-kata cinta serta terus memberi semangat.

Bayi dalam perutku sudah terasa menendang, sudah tak sabar untuk keluar. Dokter yang membantu persalinan ku memberi arahan apa yang harus aku lakukan.

"Ibu, kalau bayinya sudah memberi isyarat untuk mengejan, ibu mengejan ya. Kalau bayinya belum melakukannya, ibu jangan dulu mengejan supaya ibu tidak kehabisan tenaga," kata Dokter saat akan memulai proses persalinan.

Aku mengangguk mengerti.

"Tahan ya ... Siap ... ." Dokter wanita itu memberi aba-aba. "Ya ... Dorong, bu!"

"Nngghhhhh ... ." Aku mengejan, tanganku semakin erat memegang tangan mas Bayu.

Air mataku luruh membasahi pipi. Aku teringat dengan mama, dulu mama merasakan apa yang kini kurasakan. Sakitnya bertaruh nyawa. Perasaanku semakin membuncah saat aku merasakannya. Aku juga sedang berjuang, melahirkan anakku dan mas Bayu. Buah cinta kami berdua.

*****

Proses persalinan sudah selesai, dan semuanya juga sudah dibereskan. Aku sudah dipindahkan ke ruang rawat.

Mas Bayu tak henti-hentinya menciumi jagoan kami. Ya, aku melahirkan anak laki-laki, sebuah kejutan yang membuat mas Bayu dan papa merasa sangat senang.

Sengaja, aku dan mas Bayu tidak menanyakan jenis kelamin anak kami pada Dokter saat USG dulu. Aku menangis terharu saat melihat mas Bayu meng-adzani anak kami saat di ruang persalinan tadi, suaranya yang merdu begitu menggetarkan hati.

Mama dan papa masuk ke kamar rawat setelah menyelesaikan suatu urusan. Mama langsung menghampiri mas Bayu tanpa menghampiriku dulu, mas Bayu yang sedang menggendong anak kami menjadi tujuan utama mama saat memasuki ruangan ini.

"Ulululuh ... Cucu Oma." Mama mengambil alih Bagas, Bagas Putra Adjikusuma, nama yang diberikan oleh mas Bayu.

Mama menciumi Bagas dan mengajaknya mengobrol, padahal dia masih belum mengerti dan masih asik memejamkan mata. Tapi mama begitu antusias.

Papa menghampiriku dan mencium keningku. "Selamat ya, sayang, kamu sudah menjadi seorang ibu sekarang, dan terimakasih sudah memberi Papa seorang cucu yang sangat tampan." Papa tersenyum bahagia.

"Iya, Pa, aku juga seneng banget akhirnya anakku lahir juga." Aku memandang Bagas yang sedang di timang-timang mama.

"Ya sudah, kamu istirahat lagi. Papa mau lihat cucu Papa dulu." Papa beranjak meninggalkanku dan menghampiri mama, mereka terlihat sangat bahagia dengan kehadiran Bagas.

Mas Bayu menghampiriku, mencium kening dan pipiku kanan dan kiri. Dia menatapku lembut dengan senyum yang selalu terpatri di bibirnya, apalagi setelah ada Bagas, mas Bayu semakin bahagia.

"Terimakasih ya sayang, sudah memberi jagoan untuk Mas," kata mas Bayu berbisik, wajah kami begitu dekat sekarang.

Aku mengangguk. "Aku juga berterimakasih sama kamu, Mas, karena sudah menjadi suami yang baik dan siaga buat aku dan anak kita. Terimakasih sudah mau bersabar menghadapi kecerewetan, kemanjaan, dan sifat-sifat aku lainnya, yang nyebelin."

"Semua yang ada di diri kamu, sudah menjadi candu buat Mas, tetaplah seperti itu. Mas anggap, itu sebagai bentuk cinta dan sayang kamu sama, Mas." Mas Bayu menempelkan keningnya di keningku. "Dek, Mas pengin 2 anak lagi," bisiknya.

"Ehkkemmm!"

Deheman papa membuat mas Bayu menjauhkan wajahnya dariku, dia terlihat salah tingkah dengan wajah memerah, bahkan mas Bayu menggaruk tengkuknya, entah gatal atau tidak, aku tidak tahu.

Mama menghampiri kami, masih dengan Bagas di gendongannya. "Tahan dulu dong, Bay, anak kamu belum ada sebulan lahir, kamu harus puasa dulu." Mama tersenyum jahil pada mas Bayu, yang membuat muka mas Bayu semakin merah.

Aku terkekeh melihatnya yang salah tingkah. "Udah Ma, jangan digodain lagi, kasian Mas Bayu, hahaha ... ." Aku memperingati mama, sambil tertawa.

Papa juga ikut terkekeh melihat mas Bayu yang salah tingkah.

"Setelah ini dan seterusnya, kalian tinggal di Jakarta saja ya, jangan tinggal di Desa lagi. Mama enggak mau jauh dari cucu mama ini." Mama mengecup Bagas setelah mengatakan itu.

"Papa setuju dengan Mama, supaya nanti Bagas dapat pendidikan yang bagus juga. Di Kampung kan letak sekolah jauh, Papa kuatir kalau sampai terjadi sesuatu dengan cucu Papa ini." Papa menimpali.

"Apapun yang terbaik, saya ikut saja Pa." Mas Bayu menyetujui.

***

"Nai! Selamat ya kamu sudah jadi ibu!"

Suara Lastri terdengar senang di sambungan video call yang sedang kami lakukan. Di sana Lastri sedang menggendong bayi mungil perempuan, buah hatinya dengan Satya. Maya Mayangsari, nama yang diberikan mereka pada putrinya.

Lastri melahirkan anaknya sekitar sebulan yang lalu, mereka memberi kabar setelah kelahiran anaknya itu.

Dan sekarang, aku yang menghubungi mereka dan memberi tahu kalau aku juga sudah melahirkan.

"Makasih ya, Las. Sekarang kita sudah jadi ibu-ibu, hahaha ... ." Aku tertawa dengan ucapanku sendiri.

Di sana Lastri juga tertawa. "Nai, nanti kalau Bagas sudah besar main ke sini ya, kita ketemuan, biar anak kita bisa jadi teman."

Aku mengangguk. "Iya, In Sya Allah ... Aku pasti ke sana, tunggu saja."

Aku mengobrol dengan Lastri hampir satu jam, hingga obrolan kami harus terhenti karena Maya menangis di sana, dan Lastri harus menyusuinya. Jadilah kami mengakhiri obrolan yang sedang seru-serunya itu.

.

Aku tidak menyangka, kisah cintaku dan juga Lastri hampir mirip. Kami menikah dengan tidak memiliki perasaan pada suami kami saat pertama menjalankannya.

Tapi, Tuhan memang maha pembolak-balik hati manusia. Seiring berjalannya waktu, dan kami sudah saling terbiasa hidup bersama, getaran-getaran itu mulai hadir menyusup ke dalam relung hati.

Kerasnya hati kami digempur dengan perhatian dan cinta yang begitu luar biasa dari suami, hingga perlahan hati kami mulai mencair dan menerima takdir yang sudah di gariskan Tuhan untuk kami.

Hingga kesabaran yang mereka jalani, kini berbuah manis dan lebih mengikat hubungan kami masing-masing.

Aku dan mas Bayu.

Lastri dan Satya.

Buah cinta kami, anak-anak kami, yang menjadi hadiah paling berharga dari sebuah kesabaran dalam menjalani takdir dan mengambil hati pasangan masing-masing.

Cinta kami tumbuh semakin besar, karena terbiasa bersama.

𝓦𝓲𝓽𝓲𝓷𝓰 𝓣𝓻𝓮𝓼𝓷𝓸 𝓙𝓪𝓵𝓪𝓻𝓪𝓷 𝓢𝓸𝓴𝓸 𝓚𝓾𝓵𝓲𝓷𝓸
(𝓒𝓲𝓷𝓽𝓪 𝓑𝓲𝓼𝓪 𝓣𝓾𝓶𝓫𝓾𝓱 𝓚𝓪𝓻𝓮𝓷𝓪 𝓣𝓮𝓻𝓫𝓲𝓪𝓼𝓪)


Selesai.

Dinikahi Pemuda DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang