03 : Mengapa Kau Pergi di Saat Aku Memutuskan Mengalah?

962 158 24
                                    

Sinar matahari menyeruak masuk melalui celah gorden yang tertutup. Ketika sinar itu mengenai wajahnya, ia menggeliat lalu beberapa saat kemudian merasa sakit di punggungnya. Ia baru teringat bahwa semalam ia ketiduran di ruang kerjanya dengan posisi tubuh membungkuk sehingga tak ayal pagi ini punggungnya terasa sangat kaku.

Ketika kesadarannya telah sepenuhnya kembali ekspresi wajahnya langsung berubah dingin. Kejadian semalam sangat mengguncangnya. Kalimat itu keluar dengan mulus dari bibir Hermione membuat tubuh Draco berhenti bereaksi.

Draco ingat ia menolaknya dengan sangat dingin. Hermione memohon padanya tetapi Draco tetap berkata tidak hingga pada akhirnya gadis itu benar-benar marah, air matanya terus menetes dan ia kembali ke kamarnya dengan membanting semua barang-barang di dalam kamarnya. Draco tahu karena suara benda pecah terus terdengar bersahut-sahutan hingga ke ruang kerjanya.

Draco tahu bahwa ia egois memaksa untuk mendekap Hermione. Rasa bersalah itu terus menyiksa Draco hinga secara tak sadar ia tertidur di meja kerjanya dengan air mata yang menetes. Bekas air mata Draco masih terlihat jelas di atas dokumen yang pagi ini akan ia gunakan untuk materi rapat.

Dengan langkah gontai Draco keluar. Saat melewati koridor kamar Hermione ia melihat Elisa berdiri di depan pintu sembari membawa nampan berisi sarapan.

"Apa dia baik-baik saja?" tanya Draco sendu pada Elisa yang hendak memasuki kamar.

Elisa mengangguk. "Seperti biasa, hanya mengamuk tetapi saya akan memastikan bahwa Nyonya Muda akan baik-baik saja."

"Terima kasih telah menjaganya."



***



Hermione memeluk lututnya, menenggelamkan wajahnya disana dan menangis lagi. Saat ini ia hanya tahu cara menangis, menangis, dan menangis. Ini hidupnya tetapi entah mengapa seperti bukan miliknya. Ia dikurung meski semua ini tidak sepenuhnya salah si pengurung.

Ia ingin pergi menyusul sosok yang ia rindukan selama tiga tahun ini.

Di sini rasanya terlalu menyakitkan. Semua hal dan semua orang disini membuatnya terus merasa sesak. Tiga tahun terakhir ini Hermione telah lupa bagaimana caranya bahagia, tersenyum dan tertawa. Sekarang ia hanya tahu bagaimana caranya menangis.

Ada lebih banyak hal yang membuatnya menangis ketimbang bahagia. Tidak ada kebahagiaan yang tersisa di dalam dirinya. Semuanya telah hilang, menguap entah kemana. Yang tersisa hanyalah rasa bermuram durja tanpa akhir. Skenario hidupnya sangat buruk hingga ingin menggantinya saja rasanya mustahil karena itu berarti ia harus menulis ulang ceritanya. Sedangkan menulis ulang kisahnya pun ia tak sanggup.

"Nyonya Muda sudah saatnya Anda makan."

Elisa masih setia berdiri di depannya seraya membawa nampan berisi sarapan. Lihat, bahkan menu sarapan yang beragam itu tak sekalipun menarik minat Hermione. Ia tidak merasa lapar, rasa sakit dihatinya telah mengalahkan rasa laparnya. Bahkan hanya melihat makanan itu saja telah membuat indera pengecapnya merasa pahit.

"Aku tidak lapar."

"Anda akan sakit jika tidak makan."

"Bagus itu berarti aku bisa lebih cepat mati."

Elisa membelalak. Nyonya Muda yang ia layani lagi-lagi berkata hal menyakitkan. Elisa tahu bahwa Nyonya Muda itu merasa putus asa atas segalanya, ia ingin menyerah menjalani hidup tetapi disisi lain Tuan Muda berusaha keras mengembalikan kehidupan di dalam diri sang Nyonya Muda. Hanya saja cara Tuan Muda salah sehingga pada akhirnya mereka berdua justru saling menyakiti.

"Tidak Nyonya Muda, tolong jangan katakan hal itu."

"Aku lelah Elisa, kau tidak tahu bagaimana rasanya menjadi aku! Aku bisa gila jika terus seperti ini..." tangis Hermione pecah lagi. Ia mengacak rambutnya lalu menjambaknya untuk melampiaskan segala emosinya yang membuncah.

Can We Grieve no More? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang