23 : Bunga Matahari yang Patah

788 137 29
                                    

Draco gelisah.

Sepatunya tak henti mengetuk lantai. Kedua tangannya bertaut erat, dan mulutnya memanjatkan doa. Keringat dingin sejak tadi keluar dari pelipisnya seolah di kelenjar keringatnya tidak akan berhenti mengeluarkan isinya dalam waktu dekat. Jantungnya juga berdegup kencang sejak tadi hingga kadang kala membuatnya kesulitan mengambil nafas.

Seseorang di dalam sana sedang berjuang antara hidup dan mati, begitu kata dokter.

Kondisi Hermione yang parah membuat tim dokter terpaksa melakukan tindakan terakhir yaitu mengeluarkan bayi di dalam perutnya. Seharusnya jika normal, bayinya baru lahir satu bulan lagi. Tetapi kondisi yang tidak memungkinkan membuatnya harus lahir satu bulan lebih awal.

Draco takut kehilangan keduanya.

Mereka berdua sangat berarti bagi Draco layaknya oksigen yang ia hirup setiap hari. Rasanya Draco ingin menangis setiap detiknya karena rasa takut dan khawatir yang terus menguar. Akan tetapi air matanya telah mengering, ia sudah tidak bisa menangis lagi.

Saat ini Draco menunggu seorang diri. Crabbe mengantar Elisa ke Manor untuk menyiapkan keperluan Hermione selama di rumah sakit nanti. Lalu kedua orang tuanya dan mertuanya sedang dalam perjalanan. Sedangkan Harry masih sibuk dengan operasi dadakan pasien yang mengalami kecelakaan. Sebagai gantinya, Harry menyuruh Ginny untuk datang tetapi Ginny mengirim pesan pada Draco bahwa ia harus menidurkan Albus terlebih dahulu, angin malam tidak baik untuk bayi itu.

Sejujurnya Draco tidak masalah kala tidak ada yang menemaninya menunggu. Pikirannya saat ini hanya fokus memanjatkan doa agar operasi berjalan lancar dan dua orang di dalam sana selamat.

Draco tidak bisa membayangkan bagaimana jika hari ini menjadi hari paling buruk dalam hidupnya. Hari yang menghancurkan batin dan jiwanya luar dalam. Mungkin Draco akan gila jika mereka tidak selamat.

Di sela-sela doanya, Draco membuka matanya. Ia menatap lurus ke arah tembok rumah sakit yang berwarna putih itu. Rasanya baru kemarin ia menginjakkan kaki di rumah sakit dan sekarang ia harus datang ke sini lagi. Warna putih yang mendominasi bangunan ini membuat Draco hampir memuntahkan isi perutnya.

Ia muak. Sungguh muak. Tiap kali memandang warna yang orang katakan melambangkan kesucian itu, membuat Draco selalu merasa takut. Warna ini, bangunan ini, selalu mengingatkan Draco tentang rasa takut akan kehilangan seseorang.

Sorot matanya jadi tidak fokus. Pikirannya tiba-tiba melayang. Lalu beberapa saat kemudian ia bertanya-tanya,

'Apa dosa-dosanya?'

'Apa kesalahan terbesarnya?'

'Mengapa semua ini terjadi padanya?'

'Kapan ia berhenti merasakan duka?'

'Kapan ia kembali merasa bahagia?'

'Kapan hidupnya yang abu-abu ini berubah menjadi berwarna?'

Semua pertanyaan itu membuatnya harus menemukan jawaban. Lalu jawaban sepintas keluar dari otaknya,

'Apa Tuhan sangat membencinya hingga memberi cobaan seberat ini?'

'Apa Tuhan tak mau memberinya keringanan meski hanya semenit— tidak, satu detik?'

Lamunan Draco buyar ketika seseorang tiba-tiba memeluknya dari samping. Pelukan hangat itu membuat mata Draco kembali berair. Ia menangis seperti anak kecil yang tidak diizinkan memakan permen oleh orang tuanya.

Narcissa memeluknya sangat erat.

Kalau dipikir-pikir sudah lama sekali Draco tidak merasakan kehangatan seperti ini. Separuh hatinya merasa nyaman dan lega tetapi itu masih tidak sanggup menghapus semua kekhawatirannya tentang keselamatan dua insan yang berada di dalam ruang operasi.

Can We Grieve no More? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang