21 : Tetaplah Menjadi Lukisan yang Indah nan Cantik

785 136 31
                                    

Malam bertabur bintang remang-remang di atas atap rumah sakit sangat sesuai dengan suasana hati Draco saat ini. Draco seperti bintang remang-remang itu, yang ragu akan bersinar terang benderang atau justru lebih baik meredupkan sinarnya dan tidur.

Draco ragu. Haruskah ia mengutarakan kesimpulan dan pemahaman yang baru saja ia dapatkan pada Hermione sekarang?

Akan tetapi, rasanya tidak tepat jika mengutarakannya sekarang.

Lelaki berambut pirang itu memutuskan untuk kembali ke ruangan tempat Hermione di rawat. Lebih tepatnya kembali ke kursi tunggu di depan ruangan. Meski berat ia tetap memaksa kakinya terus melangkah menyusuri lorong-lorong sepi, berkelok di beberapa titik, sampai akhirnya berhenti di ruangan VVIP itu.

Draco mendudukkan dirinya di salah kursi itu. Ia menatap bunga lavender di pojok ruangan yang sengaja diletakkan di sana oleh pihak rumah sakit sebagai pemanis. Sebenarnya selain pemanis ruangan, bunga lavender juga memiliki beberapa khasiat.

Seingat Draco salah satunya adalah untuk kesehatan mental. Aroma yang dimiliki lavender mampu mengurangi kecemasan dan insomnia. Penelitian juga menunjukkan bahwa kandungan linalool pada ekstrak bunga lavender dapat membantu meredakan kecemasan dan menciptakan rasa rileks pada tubuh. Maka dari itu Draco juga meletakkan bunga lavender di jendela kantor dan ruang kerjanya, serta membeli minyak lavender yang kadang kala ia hirup jika pikirannya sedang berat.

Namun kali ini bunga lavender di rumah sakit tak sanggup meredakan kecemasannya. Sebenarnya bukan salah bunga lavender jika kecemasan Draco tak kunjung reda. Pasalnya bukan hanya kecemasan yang hinggap dihatinya tetapi juga keraguan, kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, dan semua rasa negatif bercampur aduk menjadi satu.

Ia bingung sekali.

Menurutnya permasalahannya dengan Hermione kali ini jauh lebih rumit daripada memikirkan nasib perusahaan miliknya kedepan. Membayangkan perusahaannya terus sukses di masa depan sangat mudah bagi Draco tetapi jika membayangkan bagaimana nasibnya dan Hermione di masa depan membuat Draco ingin menceburkan wajahnya ke dalam air. Jangankan masa depan, beberapa detik dari sekarang saja ia tidak tahu.

Di tengah pikirannya yang terus berdebat tiada henti itu, seseorang memanggil Draco lirih. "Tuan Muda?"

Draco mendongak mendapati Elisa menatapnya dengan sorot mata teduh, seperti seorang ibu yang menatap anaknya. Kemudian Draco menggeser duduknya, menyisakan ruang agar Elisa bisa duduk disampingnya. Sepertinya ada yang ingin wanita itu ceritakan pada Draco.

Penampilan Elisa jauh dari kata baik. Anak-anak rambutnya mulai mencuat padahal biasanya selalu tersisir rapi, pakaiannya terlihat kusut, dan wajahnya berminyak. Draco sampai lupa bahwa penyebab penampilan Elisa seperti ini karena wanita itu harus menjaga Hermione dari pagi sampai paginya lagi.

Bahkan saat ini posisi Elisa telah mengalahkan Helena, ibu kandung Hermione dan juga nengalahkan Ginny, sahabat Hermione.

"Sudah makan?" tanya Draco sedikit prihatin.

Elisa tersenyum lembut. "Sudah. Nyonya Muda makan dengan lahap kali in--"

"Bukan Hermione, tapi kau,"

"Ah, saya--, belum."

Seperti yang Draco duga. Jika ia berada di posisi Elisa mungkin ia akan melakukan hal yang sama. Elisa sangat loyal sejak pertama kali melayani Hermione, mungkin saking loyalnya sampai ia mengabaikan dirinya sendiri.

Draco segera meraih ponselnya dan mengetikkan pesan pada Vincent Crabbe untuk membawakan pakaian ganti Elisa dan membelikannya makanan enak.

Seraya mengetik Draco berkata. "Mandilah, meski sudah malam. Ada air hangat di kamar mandi ruangan Hermione, aku akan menyuruh Crabbe untuk membawakanmu pakaian ganti dan makanan yang enak."

Can We Grieve no More? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang