24 : Percayalah, Aku Mampu Menjadi Partner Hidupmu

925 146 74
                                    

"AKU TIDAK MAU MENDENGAR BERITA BURUK DARIMU!" seru Draco yang langsung menerjang tubuh sang dokter.

Sang dokter yang sudah tidak bertenaga lagi karena telah lelah berdiri seraya mengerahkan seluruh tenaganya selama prosedur operasi hanya bisa diam. Ia pasrah ketika suami pasiennya menerjang tubuhnya seperti ini. Mau membela diri pun rasanya percuma, tenaganya sangat jauh berbeda.

Crabbe yang ada di sana berusaha untuk melerai Tuan Mudanya dan sang dokter. Crabbe dibantu oleh Lucius sedangkan Richard membantu sang dokter untuk bangkit. Dua orang perawat yang baru saja keluar dari ruangan juga segera membantu Richard menarik sang dokter menjauhi Draco.

Draco tampak liar sekarang seolah energi buruk benar-benar mengambil alih tubuhnya.

"Draco, tenanglah!" hardik Lucius begitu berhasil menjauhkan tubuh anaknya dari sang dokter.

Memanfaatkan keadaan yang tiba-tiba hening itu, sang dokter segera berkata. "Ibu dan bayinya selamat."

Nafas Draco yang awalnya naik-turun karena harus mengatur amarahnya, tiba-tiba saja berhenti. Paru-paru Draco tersumbat selama beberapa detik sampai akhirnya ia kembali mengambil nafas ketika telah menguasai diri.

Tubuhnya limbung mendadak. Ia jatuh berlutut. Air matanya tumpah, tak kuasa lagi ia membendungnya. Bibirnya terus mengucap terima kasih kepada Tuhan karena telah mengabulkan doanya.

Lucius mengusap bahu Draco, menyalurkan ketenangan lewat sana. "Selamat, selamat, selamat, Nak." bisiknya terharu.

"Bayinya laki-laki." kata sang Dokter seraya tersenyum simpul. "Anda bisa menjenguk ibu dan bayinya setelah dipindahkan ke ruang rawat tetapi lebih baik Anda saat ini membiarkan mereka tidur dulu. Sang ibu kondisinya masih sedikit lemah sedangkan bayinya masih harus menjalani pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui adanya kelainan pada tubuhnya atau tidak." lanjutnya

Draco mengangguk. Ia buru-buru mendekati sang dokter dan membungkuk hormat sebagai tanda permintaan maaf. "Maafkan saya yang gegabah."

Sang dokter tersenyum simpul. Ia lalu menepuk pundak Draco. "Saya tahu, ini bukan pertama kalinya saya tiba-tiba diterjang keluarga pasien haha."

"Maksudnya?" tanya Ginny penasaran. Kalimat sang dokter barusan memang terdengar seperti lawakan tetapi nada suaranya datar.

"Wajah saya ini memang bawaan dari lahir haha."

Hening.

"Ah, maksudnya, ekspresi saya. Ekspresi saya ini sering sekali menimbulkan kesalahpahaman."

Mendengar hal itu semua orang di sana tidak tahu harus merespon bagaimana. Draco sendiri semakin merasa tidak enak karena telah berprasangka buruk pada sang dokter.

Beberapa saat kemudian sang dokter dan perawatnya pamit, membiarkan keluarga pasien yang baru saja ia tangani menyelesaikan urusan mereka.




***




Kaki Draco kaku saat ia berusaha memasuki ruangan tempat Hermione di rawat. Rasanya Draco tak akan berani melangkah masuk jika tidak dipaksa oleh kedua orang tua dan mertuanya. Hatinya menuntunnya untuk memasuki ruangan tetapi otaknya menolak. Otaknya masih terus mengingat saat-saat di mana Hermione membuat peraturan yang tidak boleh dilanggar tentang larangan memasuki kamarnya.

Draco memasuki ruangan itu ditemani oleh Ginny dan James yang saat ini sudah tidur. Kedua orang tua beserta mertuanya sedang menemani pemeriksaan cucu mereka. Sedangkan Elisa dan Crabbe pulang karena Draco menyuruh mereka untuk istirahat.

"Mione masih tidur." ujar Ginny bisik-bisik. Wanita itu menidurkan James di sofa lalu kembali menempatkan diri di samping Draco.

Draco hanya mengangguk.

Can We Grieve no More? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang