[sembilan--c]

20K 1.9K 189
                                    

"Aya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aya ...."

Pijar memanggil nama itu dengan raut wajah sendu. Menatap raga wanita yang disayanginya, sembari berharap ada tanda-tanda Praya akan terbangun dari tidur panjangnya. Namun, Praya tetap terbaring diam di sana. Yang hingga hari ke empat pascaoperasi, belum menunjukkan adanya kemajuan.

"Dulu, kalau aku susah dibangunkan, kamu pasti langsung menggelitik kaki aku tanpa ampun." Pijar mengingat kembali interaksinya dengan Praya di masa lalu.

"Kamu takut kalau aku terlalu lama tidur, aku nggak akan bangun lagi, terus mati dan ninggalin kamu selamanya."

Pijar menjeda kalimatnya dan melajutkan, "Waktu itu aku bilang kalau kamu terlalu gampang dibohongi orang dengan cerita takhayul. Tapi kamu tetap aja percaya dengan hal itu. Sampai aku iseng ngerjain kamu. Aku sengaja nggak membuka mata aku, supaya kamu mengira aku sudah mati."

Saat itu Pijar harus mati-matian menahan rasa geli, untuk mematahkan omong kosong yang dipercaya Praya. Sayangnya, keisengannya itu malah membuat Praya yang kala itu masih berusia sembilan tahun menangis histeris, karena mengira ia sudah mati.

"Aku nggak menyangka kamu sampai sebegitu takutnya kehilangan aku. Karena selama di panti, aku pikir nggak akan pernah ada orang yang nangis kalau aku nggak ada."

Pijar menghela napas panjang sebelum berkata lagi. "Aku jadi tahu rasanya dibutuhkan. Dan sejak itu aku berjanji sama diri aku sendiri, kalau nggak akan pernah membuat kamu menangis lagi. Karena rasanya sangat nggak enak melihat kamu bersedih."

Melihat Praya bersedih adalah hal yang paling dibencinya.

"Sekarang aku takut kamu nggak akan pernah bangun lagi. Aku takut kalau kamu terlalu lama tidur, kamu akan pergi jauh," ucapnya penuh kesedihan. Pijar tak kuasa membayangkan itu akan terjadi.

"Kamu perlu tahu ini, Praya." Pijar menjeda sejenak, menatap Praya saksama dan dalam. Walaupun Praya tidak mendengarnya, tapi Pijar ingin mengungkapkan isi hatinya sekarang juga.

"Aku selalu sayang dan cinta sama kamu. Selamanya ...."

Pijar sudah mencoba agar tidak ada air mata yang tumpah, tapi ternyata sangat sulit menahan kesedihan yang mendera. Ia tidak bisa mengontrol luapan emosi yang telanjur mencabik-cabik perasaannya.

Sebelum keluar dari ruang ICU, Pijar memuaskan diri menatap wajah Praya. Entah kenapa, Pijar merasa harus melakukannya. Memanfaatkan waktu yang dimilikinya sebaik mungkin, selama kesempatan itu masih ada.

Pijar sangat takut kalau nanti tidak bisa menemukan wajah itu lagi. Ia sedang berusaha merekam setiap jejak Praya dalam ingatannya. Bersiap untuk segala kemungkinan terburuk, meskipun ia selalu berharap hanya hal baik yang akan terjadi pada Praya.

Ponselnya berdering, ketika Pijar baru saja akan meninggalkan rumah sakit. Sambil terus melangkah, ia mengobrol dengan Suri yang meneleponnya.

"Gimana keadaan Praya? Ada perkembangan?" Suri langsung menyerbu Pijar dengan pertanyaan.

Happiness is a Butterfly [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang