"Bunda!" Sebuah teriakan dari salah satu kamar di lantai atas memecah kesunyian pagi.
Praya yang sejak beberapa menit lalu hanya terdiam di tempat, seolah dipaksa untuk secepatnya bergerak ke sumber suara. Seperti ada sensor pada tubuhnya yang secara otomatis menggerakkannya, begitu penghuni rumah ini sedang membutuhkan sesuatu.
Sebelum keluar kamar, wanita berkacamata minus itu menarik napas terlebih dulu dan menyingkirkan masalah telepon mesra Bagas dari kepalanya. Ada hal lain yang lebih penting, daripada harus memikirkan sesuatu yang sudah berulang kali dilakukan oleh Bagas.
"Bunda!"
Sekali lagi, teriakan anak keduanya itu terdengar memanggil. Praya segera menaiki tangga dengan cepat dan langsung memasuki kamar, yang pada pintunya tergantung huruf-huruf membentuk sebuah nama berhias boneka teddy bear mungil.
"Seharusnya, kamu nggak perlu sampai berteriak kalau mau panggil Bunda," ujar Praya yang melihat Salwa sedang membongkar isi laci lemari pakaiannya.
Salwa terlihat tak acuh pada anjuran Praya. Remaja perempuan berusia tiga belas tahun itu malah mengacungkan sehelai kaos kaki miliknya.
"Kaos kakiku yang ini, sebelahnya lagi nggak ada," sungut Salwa.
"Sudah kamu teliti lagi di dalam laci?"
"Kalau memang ada di laci, aku nggak mungkin panggil Bunda." Salwa memutar kedua bola matanya sebagai tanda kalau Praya semestinya tak menanyakan sesuatu yang sudah jelas.
"Kalau begitu, kamu bisa pakai kaos kaki yang lain," kata Praya yang sekadar berharap kali ini sarannya didengar. Walau ia tahu kalau Salwa sangat teratur dalam pemakaian kaos kaki, yang sudah ditentukannya sendiri berdasarkan hari.
"Aku nggak mau kalau hari ini nggak pakai kaos kaki itu. Titik."
Praya mengembuskan napas perlahan dan berpikir kalau drama pagi hari ini akan segera dimulai dengan keribetan masalah kaos kaki.
Praya kemudian turun ke ruang laundry, untuk memeriksa keranjang pakaian yang sudah dicuci. Mungkin saja kaos kaki itu terselip di sana. Namun, Praya tak menemukannya. Ia lalu menunda pencarian kaos kaki Salwa, begitu ingat harus membuat kopi untuk Bagas
Bagas baru saja keluar dari kamar mandi ketika Praya masuk ke kamar sambil membawa secangkir kopi. Bagas yang masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk yang terbelit di pinggang, langsung menyesap kopi diikuti pandangan mata Praya.
Suaminya tetap terlihat menarik, meski usianya sudah menginjak tiga puluh delapan tahun. Badannya masih seatletis dulu, karena Bagas selalu rajin berolahraga. Ketampanan Bagas telah berhasil memikatnya. Membuat Praya jatuh cinta pada lelaki yang tak pernah disangkanya akan berubah di kemudian hari. Bagas yang sekarang, bukan lagi laki-laki penuh cinta yang memuja Praya.
"Ada apa?" Bagas mengangkat alis. Heran dengan Praya yang memperhatikannya.
"Nggak ada apa-apa." Praya mengedikkan pundak. Bersikap sebiasa mungkin.
Tanpa disangka, Bagas mendekati Praya lalu mengusap rambutnya. Sehingga Praya mengira kalau mungkin Bagas sedang bersikap mesra.
Tapi ia keliru.
"Kapan terakhir kali kamu keramas?" tanya Bagas yang kemudian buru-buru menjauhkan jarinya dari rambut Praya.
"Mungkin tiga ... atau lima hari yang lalu ...." Jawaban Praya terdengar tak meyakinkan. Praya tidak mengingat kapan terakhir kali ia keramas.
Bagas berdecak. "Bisa nggak kamu itu lebih bersih? Aku harus sampai tahan napas waktu kita making love tadi, gara-gara cium bau rambut kamu yang nggak enak itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness is a Butterfly [TAMAT]
Romance☆Ambassador's pick bulan Desember 2021☆ ☆Daftar Pendek Wattys Award 2022☆ Rumah tangga Praya dan Bagas tidak sebaik yang tampil di permukaan. Masing-masing menyimpan kekecewaan serta rasa frustasi pada pernikahan yang sudah mereka berdua jalani sel...