Praya memejamkan mata. Rasanya begitu nyaman bersandar pada dada bidang Pijar. Sudah lama ia tidak merasakan bentuk kenyamanan seperti ini. Usapan tangan Pijar di punggungnya, semakin membuat rasa aman itu seketika muncul. Ia seperti sedang kembali ke masa-masa mereka berdua masih belum berjarak. Di mana akan selalu ada Pijar untuknya.
"Jangan khawatir. Ada aku di sini."
Itu juga yang dikatakan Pijar saat Praya menangis kebingungan, karena berbadan dua. Ditambah dengan kekalutannya yang memuncak ketika Bagas malah sulit ditemui. Praya seakan ditinggal sendirian. Ia takut Bagas pada akhirnya sama saja dengan lelaki lain.
Pijar yang kemudian merangkulnya. Lelaki bermata teduh itu meminta Praya untuk berterus terang pada kedua orang tuanya. Dan menata hati untuk tidak takut dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Bahkan Pijar sempat berkata kalau dia rela menjadi ayah dari anak yang dikandungnya, bila nanti Bagas tidak mau bertanggung jawab.
Namun, lelaki yang diinginkan Praya ada di sampingnya adalah Bagas. Bukan Pijar. Meskipun Pijar mencintainya, tapi pada saat itu Praya hanya bisa berbagi cinta dengan Bagas. Ia memilih menolak ketulusan serta segala rasa cinta yang coba diberikan Pijar untuknya.
"Kamu duduk dulu. Biar aku yang beresin pecahannya," kata Pijar yang dengan sigap membersihkan serpihan beling di lantai. Sedangkan Praya hanya duduk diam mengamati.
Dalam hati, Praya merasa malu terlihat lemah di hadapan Pijar. Padahal baru kemarin ia bilang dirinya baik-baik saja. Bisa jadi sekaramg Pijar pun akan berpikir kalau hidupnya memang bermasalah.
"Diminum dulu tehnya." Pijar meletakkan secangkir teh hangat di atas meja, lalu menarik kursi dan duduk.
Praya menunduk dan masih tampak ragu. Belum sepenuhnya pulih dari kesedihan yang mendadak tersebut. Namun, usapan lembut Pijar di punggung tangannya yang terangkum membuat ia mengangkat kepala. Ia melihat Pijar sedang menatapnya. Jenis tatapan yang Praya tahu kalau itu adalah semacam bentuk perhatian untuknya.
"Aku nggak akan bertanya apa-apa. Tapi aku hanya mau kamu merasa tenang sekarang," jelas Pijar.
Praya menurut. Ia menyesap teh perlahan. Menikmati aliran hangat cairan keemasan itu di dalam tubuhnya.
"Maaf." Itu kata yang keluar dari Praya setelah cangkir tehnya diletakkan kembali.
"Maaf untuk apa?" Pijar bertanya dengan lembut.
"Karena sudah merepotkan kamu, Mas."
"Kalau kamu kira membersihkan beling bikin aku repot, kamu berarti sudah ngeremehin aku," gurau Pijar.
Praya tersenyum samar menanggapi perkataan Pijar, lalu kembali menyesap tehnya hingga tandas.
"Mau aku buatin lagi tehnya?" tanya Pijar yang langsung disambut gelengan kepala oleh Praya.
Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya Pijar berkata lagi. "Waktu pertama kali aku datang ke rumah ini, aku merasa menjadi orang yang paling beruntung."
Pijar mulai menarik kembali kisahnya sekarang. Menceritakan kembali kepingan hidupnya itu pada Praya.
"Bertahun-tahun hidup di panti asuhan dan tanpa pernah tahu rasanya memiliki orang tua yang utuh, membuat aku berpikir kalau barangkali Tuhan nggak mau membagi kasih sayangnya buatku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness is a Butterfly [TAMAT]
Romansa☆Ambassador's pick bulan Desember 2021☆ ☆Daftar Pendek Wattys Award 2022☆ Rumah tangga Praya dan Bagas tidak sebaik yang tampil di permukaan. Masing-masing menyimpan kekecewaan serta rasa frustasi pada pernikahan yang sudah mereka berdua jalani sel...