Praya berdiri di depan cermin. Meneliti refleksi diri yang terpantul di sana. Alis berantakan, mata sayu seperti orang mengantuk, juga kantung mata yang menambah ketidaksempurnaan. Ia menilai wajahnya sudah tidak bisa disebut menarik lagi. Meski kulit wajahnya tidak bermasalah, tapi proses penuaan sudah menunjukkan eksistensinya. Kerutan samar di ujung matanya mulai terlihat.
Praya merasa bukan lagi wanita cantik yang sering menuai kekaguman Bagas. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Bagas memujinya. Ia lantas menyentuh bibirnya, karena teringat kalau dulu Bagas begitu menyukai bagian ini. Bagas selalu memuji keindahan bibirnya, selalu menyempatkan untuk memberikan kecupan mesra dan banyak ciuman panjang. Ia tiba-tiba merasa rindu mencecap rasa manis itu lagi.
Praya menyadari kalau semua orang tengah bergerak melewati siklus hidupnya masing-masing. Terlahir ke dunia, berkembang seiring usia, lalu mati. Tinggal bagaimana seseorang itu bisa menyikapi segala sesuatu yang terjadi di dalam hidupnya dengan baik atau tidak.
Pergerakan hidupnya telah terputus. Setidaknya begitu yang ia pikir. Ia hanya perlu melewati sisa usia dengan menebus kesalahan yang pernah dilakukannya. Hatinya hanya akan selalu terselimuti oleh awan mendung.
"Mungkin kalau waktunya sudah tepat, aku akan menceraikan dia."
Perkataan Bagas itu terus menerus terngiang sejak semalam. Membebani benaknya yang tak bisa tenang. Praya sudah berjuang bertahun-tahun menahan segala ketimpangan rumah tangganya. Sehingga ia tidak akan membiarkan usahanya selama ini harus berakhir dengan perceraian.
Harapan Praya tidaklah muluk. Ia berharap jangan sampai pernikahannya kandas dan membiarkan kedua anaknya berada di keluarga yang tidak utuh. Ia hanya ingin Tara dan Salwa bahagia.
Mungkin Praya harus mencoba peruntungannya sekali lagi. Ia kemudian mengambil lipstick yang sudah sangat jarang dipakainya. Ia hampir tidak pernah mewarnai kelopak bibirnya kala berada di rumah. Namun kali ini ia ingin memberikan sentuhan berbeda. Berharap Bagas memperhatikannya, meski hanya sedikit.
Pulasan lipstick itu agak terasa asing bagi Praya yang sekian lama terbiasa tanpa polesan apa pun. Dengan menggunakan telunjuk, ia merapikan sedikit lipstick yang keluar dari garis bibir. Warna lipstick yang ia pakai tidak terlalu mencolok, tapi tetap terlihat perbedaannya.
Bagas sudah bersiap berangkat ke kantor. Dia melihat ke arah Praya yang sedang duduk di depan meja rias. Namun hanya sekilas saja. Seperti Bagas yang biasanya. Bagas yang tak acuh dan tak menganggap penting keberadaan Praya. Dia masuk ke kamar hanya untuk mengambil tas kerjanya.
"Aku berangkat." Hanya itu saja yang diucapkan Bagas sambil berlalu keluar kamar. Hati Praya berdenyut. Mendadak merindukan masa-masa bahagianya dulu bersama Bagas.
•••
Wiper bergerak menghapus jejak air yang menetes pada kaca depan mobil yang sedang Praya kendarai. Salwa duduk manis di sebelahnya sambil menekuri layar ponsel. Tara berada di kursi belakang. Anak lelakinya itu memejamkan mata dengan headset terpasang di telinga. Praya sengaja sekalian menjemput Tara ke sekolah untuk pulang bersama, daripada membiarkan dia kehujanan di jalan.
Hari ini mereka bertiga akan makan siang di salah satu restoran jepang favorit Salwa. Meskipun pada awalnya Tara menolak untuk ikut, tapi akhirnya remaja itu mengikuti kemauan adiknya. Dia memilih untuk mengalah daripada mendebat Salwa, yang akan terus merajuk kalau keinginannya tidak dituruti.
Restoran jepang yang mereka tuju ada di bilangan Kuningan. Jarak yang lumayan jauh untuk sekadar mengisi perut. Padahal Praya sudah memasak untuk makan siang. Namun, sama seperti Tara, ia juga lebih baik menyetujui kemauan Salwa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness is a Butterfly [TAMAT]
Romance☆Ambassador's pick bulan Desember 2021☆ ☆Daftar Pendek Wattys Award 2022☆ Rumah tangga Praya dan Bagas tidak sebaik yang tampil di permukaan. Masing-masing menyimpan kekecewaan serta rasa frustasi pada pernikahan yang sudah mereka berdua jalani sel...