[tiga--c]

11.8K 1.6K 178
                                    

"Kamu nggak makan?" tanya Praya yang berdiri di ambang pintu kamar Tara. Putranya itu sedang duduk di atas tempat tidur sambil membaca sebuah buku. Sedangkan ayah dan adiknya tengah menyantap makan malam.

"Nanti, Bun," ujar Tara pendek. Dia hanya melirik sekilas pada Praya. Perhatiannya belum mau beranjak dari buku yang dia pegang.

"Mau Bunda bawain makan malamnya ke kamar?"

"Nggak usah, Bun. Lagian aku belum lapar, kok."

Praya kemudian melangkah masuk. Meminta sedikit waktu Tara untuk berbicara. Mau tak mau Tara pun menutup buku yang sedang dibacanya begitu sang bunda sudah duduk di sebelahnya.

"Gimana hari ini di sekolah?" tanya Praya sambil meraih buku yang tadi dibaca Tara. Tertera nama Viktor Frankl di sana. Dahi Praya mengernyit membaca judulnya, Man's Search for Meaning, lalu meletakkannya kembali.

"Biasa aja, Bun," jawab Tara sambil sedikit mengacak rambutnya. Terkesan berantakan, tapi malah membuat Tara terlihat semakin tampan.

"Nggak ada yang mau kamu ceritain? Bunda ingin tahu kegiatan kamu di sekolah."

"Nggak ada yang menarik. Jadi buat apa juga aku harus cerita, Bun."

Tara kemudian beranjak dari tempat tidur untuk meletakkan bukunya kembali ke rak. Di sana berjajar rapi buku dan komik yang menjadi favorit remaja berhidung mancung itu. Di bagian rak paling atas terdapat deretan piala dari banyak kejuaraan karate yang pernah diikuti Tara. Dan Praya bangga dengan pencapaian yang berhasil diraih Tara.

Karate adalah sesuatu yang penting bagi putranya itu. Bagian yang tidak mungkin dilepas, karena karate sudah menjadi serupa napas dalam diri Tara. Sejak usia enam tahun, Tara sudah melewati banyak latihan yang ditekuninya dengan kesungguhan. Semangat itu tak pernah surut sampai kemudian Bagas menerabasnya. Memaksa Tara untuk memupuskan semangatnya dalam berkarate.

Tara pun terpaksa menuruti permintaan ayahnya dan keluar dari dojo yang selama ini sudah menjadi tempatnya berlatih karate. Namun pihak sekolah ternyata mengetahui prestasi Tara. Dan menginginkannya untuk ikut bergabung di klub karate sekolah.

Seharusnya Bagas sudah memahami tentang hal tersebut dan tak perlu lagi memarahi Tara ketika mendapati anaknya masih berkegiatan dengan karate. Tak mungkin Tara bisa mengelak ketika sekolahnya sendiri yang meminta. Namun Bagas tetap saja mengkambinghitamkan karate sebagai penyebab nilai akademis Tara yang tidak sesuai harapannya.

"Kenapa seragam kamu kotor banget?" Praya berusaha mengorek informasi, karena tadi ia menemukan seragam Tara yang kotor di keranjang. Penuh dengan bercak berwarna kecoklatan. Seperti warna tanah. Praya hanya takut kalau Tara berkelahi.

Tara tidak langsung menjawab, lalu bersandar pada dinding yang terpajang foto dirinya saat sedang menunjukkan medali yang terkalumg di leher. Tampak gagah sekaligus penuh suka cita, dengan senyum lebar yang menunjukkan kalau Tara begitu bahagia.

"Tadi ada teman aku yang nggak sengaja nabrak, Bun. Milkshake-nya dia jadi tumpah semua ke baju aku," jelas Tara.

Praya tersenyum. Merasa lega dengan penjelasan Tara. Ia lalu mencoba menyampaikan sesuatu yang menjadi pokok masalah Tara.

"Lain kali, kamu jangan pakai dogi kalau pulang ke rumah."

"Aku juga nggak akan pakai dogi kalau seragamku nggak kotor, Bun." Kalimat Tara itu seperti ingin menyampaikan kalau dia tidak sepenuhnya salah.

"Bunda hanya nggak mau kamu kena marah sama Ayah lagi."

"Aku memang bukan anak kebanggaan Ayah. Jadi apa pun yang aku lakukan sepertinya akan selalu salah."

Happiness is a Butterfly [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang