[sembilan--d]

19.3K 2K 262
                                    

Pijar merasakan nyeri yang luar biasa. Baru saja sebuah pukulan kembali dilesakkan ke tubuhnya. Pijar hanya bisa merutuk dalam hati atas keberingasan empat orang laki-laki yang tidak dikenalnya ini. Mereka secara bergantian memberinya pukulan dan juga tendangan bertubi-tubi. Ia bahkan tak mempunyai kesempatan sama sekali untuk melawan.

Rasa asin darah dari kelopak bibirnya yang pecah, membuat Pijar yakin kalau wajahnya pasti sudah tak berbentuk. Ia tidak bisa melakukan apa-apa selain terdiam sambil menahan sakit yang menghunjam. Meringkuk di lantai yang kotor, dengan kedua tangan terikat ke balik punggung.

Ruangan yang menjadi tempatnya disekap, merupakan salah satu bagian dari rumah yang sudah lama tidak dihuni. Langit-langitnya sudah hancur. Kayu-kayu dengan paku berkarat banyak berserakan. Ruangan itu tidak berjendela, dan hanya mengandalkan seberkas cahaya matahari yang keluar dari celah-celah lubang ventilasi.

Dalam pikiran Pijar berkeliaran segala kemungkinan atas maksud dari penculikannya ini. Ia merasa tak punya masalah, apalagi musuh. Hidupnya selalu berjalan sesuai jalur yang benar. Sehingga tidak mungkin membuat orang lain menyimpan dendam ataupun merasa harus repot-repot menyewa jasa preman untuk menyiksanya. Namun, jawaban atas hal yang terjadi padanya ini, Pijar temukan beberapa saat kemudian.

Suara serpihan genting yang terinjak menjadi tanda kalau ada orang lain yang sekarang telah bergabung. Langkah kaki bersepatu pantofel itu berhenti tepat di depan Pijar. Salah satu preman kemudian menarik paksa kerah kemeja Pijar, hingga ia sekarang terduduk dan dapat melihat dengan jelas orang yang baru saja datang.

Emosi Pijar terpercik begitu mengetahui dalang penculikannya. Ia tidak mengira kalau lelaki di hadapannya ini sampai berbuat sesuatu di luar batas perikemanusiaan. Seperti sudah menjadi keharusan, lelaki itu melihatnya dengan tatapan yang angkuh. Senyum lelaki itu menunjukkan kepuasan atas apa yang bisa dilakukannya.

"Masih bisa kamu bersikap kurang ajar sama saya?" tanya Bagas yang kemudian memerintahkan salah satu preman untuk mendongakkan kepala Pijar, agar bisa menatap langsung dirinya.

Dengan rahang dicengkram kuat oleh tangan si preman, Pijar menatap balik Bagas yang dipenuhi kebencian pada dirinya.

"Kamu sudah lancang memukul saya. Dan ini balasannya untuk orang yang nggak bisa sadar akan statusnya," geram Bagas seraya mendekatkan lagi wajahnya pada lelaki tanpa daya di hadapannya. Bagas puas melihat hasil tangan orang suruhannya pada wajah Pijar yang kini lebam.

"Baru tahu rasa kamu sekarang. Kalau berani menantang saya, kamu akan berakhir seperti ini. Seharusnya kamu tahu diri. Dasar anak pungut ka-"

Kalimat Bagas terputus. Pijar meludahkan air liurnya yang bercampur darah pada wajah Bagas. Hal itu langsung membuatnya dihadiahi tonjokan oleh preman yang memeganginya. Pijar merasakan darah kembali mengalir di dalam mulutnya. Mungkin ada giginya yang patah.

Bagas mengambil sapu tangan dari dalam saku celana, lalu membersihkan wajahnya. Meski kaget dengan tindakan spontan Pijar, Bagas tetap berusaha tenang. Lagi pula, dia merasa sudah menang dengan berhasil mengendalikan Pijar. Seperti tikus yang sebentar lagi akan mati tenggelam, Pijar tak bisa berkutik.

Bagas memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, membuang pandangannya ke arah lain dan berkata, "Kamu bisa-bisanya melarang saya mendekati Praya. Sok paling hebat dengan mengancam saya." Bagas terkekeh, lalu pandangannya kembali pada Pijar. "Padahal kamu bukan siapa-siapa. Kamu nggak berhak mengatur hidup Praya. Dia masih istri sah saya. Kamu harus ingat itu."

Happiness is a Butterfly [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang