Pijar terduduk lemas pada kursi tunggu di luar ruang operasi. Kepalanya tertunduk dengan jemari yang meremas kuat rambutnya. Seakan hal itu dapat menekan rasa frustasi, karena baru saja menghadapi peristiwa yang sangat memilukan hatinya.
Penampilannya sudah tidak karuan. Kemejanya telah kotor dengan bercak darah yang menempel. Pijar merasa tidak tahu lagi harus berbuat apa, selain menunggu kabar dari dokter dan paramedis yang menangani Praya di dalam ruang operasi.
Bukan hanya patah tulang di tangan dan kaki saja, Praya juga mengalami patah tulang rusuk yang mengenai livernya. Menyebabkan terjadinya pendarahan organ bagian dalam. Alhasil, satu-satunya jalan adalah dengan segera membawa Praya ke meja operasi, karena telat sedikit saja bisa berakibat fatal bagi nyawanya.
Masih membekas dalam ingatan Pijar, kala memeluk tubuh Praya, dengan kepala bersimbah darah akibat terbentur aspal jalan raya. Beruntung, Praya terhindar dari risiko terlindas kendaraan lain yang melintas. Meski begitu, wanita itu sudah tak bergerak sama sekali. Membuat Pijar terkurung dalam rasa takut kehilangan yang luar biasa.
Menit demi menit yang terlewati begitu membebani Pijar dengan rasa bersalah. Seharusnya ia bisa mencegah Praya mengikuti Bagas. Sehingga tidak akan ada kejadian malang seperti ini. Pijar benar-benar menyesal sekaligus marah dengan ketidakmampuannya melindungi Praya.
Pijar tidak sanggup lagi melihat Bagas yang duduk berseberangan dengannya, tanpa ada keinginan untuk menghajar habis-habisan lelaki berengsek itu. Pijar ingin sekali melayangkan pukulan bertubi-tubi pada orang yang telah membuat hidup Praya menderita.
Namun, Pijar sudah terlalu lelah membuang tenaganya hanya untuk memukul Bagas. Pikirannya sekarang hanya tertuju pada keselamatan Praya. Di dalam hati, Pijar tak putus memohon pada Tuhan agar menolong wanita yang dicintainya. Meminta kuasa Tuhan memberi kesempataan pada Praya untuk hidup dalam kebahagiaan.
Pijar langsung beranjak dari duduknya saat pintu ruang operasi terbuka, begitupun dengan Bagas. Dua orang paramedis mendorong keluar brankar, di mana tubuh Praya tergolek tak sadarkan diri. Praya selanjutnya akan dibawa ke ruang ICU untuk menjalani perawatan secara intensif.
Dokter spesialis yang menangani Praya memberitahu kalau operasi berjalan lancar tanpa kendala. Dokter belum bisa menjamin mengenai waktu Praya bisa sadar kembali. Dikarenakan cidera pada kepala yang dialaminya, menyebabkan risiko Praya harus melewati kedaan koma menjadi lebih besar.
Pijar mendesah keras. Mencoba membuang kegelisahannya, tapi ia sendiri tahu kalau terlalu sulit untuk bersikap tenang saat ini. Ia melihat Bagas berjalan menuju ruang ICU. Tanpa pikir panjang lagi, ia mengejar Bagas dan menarik dengan kasar pundaknya.
"Jangan pernah kamu menemui Praya lagi," tandas Pijar yang bertekad untuk tidak membiarkan Bagas bisa berdekatan dengan Praya.
Tidak ada tanggapan dari Bagas. Keangkuhan telah menguap dari raut wajahnya yang tetap datar saat menatap balik Pijar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness is a Butterfly [TAMAT]
Romance☆Ambassador's pick bulan Desember 2021☆ ☆Daftar Pendek Wattys Award 2022☆ Rumah tangga Praya dan Bagas tidak sebaik yang tampil di permukaan. Masing-masing menyimpan kekecewaan serta rasa frustasi pada pernikahan yang sudah mereka berdua jalani sel...