[tiga--b]

11.6K 1.5K 126
                                    

Aneta menggelengkan kepala. Sama sekali tidak habis pikir dengan kalimat Praya barusan. "Sampai kapan kamu mau bertahan sama Bagas?"

"Aku nggak tahu. Yang penting anak-anakku bahagia."

"Tapi kamu sendiri nggak bahagia."

"Kata siapa aku nggak bahagia, Net? Aku bahagia bisa merawat Tara dan Salwa."

Aneta berdecak. Tidak setuju dengan gagasan membiarkan diri sendiri tidak bahagia selama masih bisa membahagiakan orang lain.

"Yang benar itu, kalau kamu juga merasa bahagia. Bukan hanya orang lain."

"Kita udah pernah bahas ini, kan, Net. Jadi aku nggak mau kamu mengungkitnya lagi," kilahnya. Sebisa mungkin menghindar dari pembahasan itu.

Praya enggan menunjukkan lebih jauh isi hatinya. Aneta sudah cukup mengetahui perselingkuhan Bagas, tapi jangan sampai juga membongkar ketidakbahagiaan dalam dirinya. Itu adalah batasan ia bentangkan. Teritori khusus dalam kehidupan rumah tangganya.

Ia kemudian mengalihkan perhatian pada kotak berisi donat di meja. Memilih donat ber-topping cokelat, lalu segera menggigitnya. Merasakan manis yang menyatu dalam mulutnya.

Praya menyukai donat yang dijual gerai kopi terkenal ini, tapi ia sangat jarang membelinya. Hampir tidak pernah terpikir olehnya untuk memanjakan lidahnya sendiri. Makanan hanya sebatas untuk mengenyangkan perut dan menghasilkan tenaga. Itu saja.

Rasa manis yang dicecap lidahnya, tiba-tiba membangkitkan secuil memori akan seseorang yang sudah lama tak ia jumpai. Orang yang dulu pernah memberikan banyak rasa manis, tapi ia tinggalkan. Namun secepat itu juga Praya melupakan hal yang baru saja terlintas.

Praya mengambil lagi donat dengan topping kacang almond. Menikmatinya tanpa memedulikan tatapan Aneta.

"Kira-kira sampai kapan kamu mau hidup seperti ini?" tanya Aneta. Namun Praya tak segera menjawabnya.

Ia terdiam dan menyerap pertanyaan itu. Ia memperhatikan gerakan air dari cup kopi yang sengaja ia goyangkan. Bentuk air selalu bisa berubah sesuai bentuk tempatnya. Dan ia merasa seperti wujud zat cair itu. Menyesuaikan diri dengan keadaan di mana tempatnya sekarang berada.

"Aku udah nyaman begini, Net. Jadi nggak pernah ada rencana buat ninggalin hidup aku yang sekarang," tandas Praya santai. Terkesan enteng dan seperti menyiratkan pada Aneta kalau dirinya tidak memerlukan bantuan.

Berulang kali mereka membahasnya dan ujung-ujungnya selalu sama. Praya tidak pernah mau membiarkan dirinya berlari dari masalah yang jelas-jelas menghimpit hidupnya. Sengaja mengubah ketidaknyamanan menjadi kenyamanan untuk tetap bergerak pada keadaan yang sama. Ritme hidup penuh penyesalan yang mengukungnya untuk mengikuti alur yang sudah tercipta.

Sejenak tak ada yang bersuara. Mungkin Aneta juga sudah cukup lelah menyuarakan pendapatnya yang selalu terpental.

"Gimana kabarnya Ale?" Praya bertanya tentang laki-laki yang sedang dekat dengan Aneta.

Aneta mengedikkan pundak. "Ya masih gitu-gitu aja sama Ale. Nggak ada perubahan. Dia lagi sibuk dengan kerjaan. Aku juga udah jarang ketemu dia."

Praya mengerti kalau Aneta sepertinya sudah malas membahas soal Ale. Menurut cerita temannya itu, Ale belum pernah memberi sinyal untuk melanjutkan hubungan mereka berdua ke tahap yang lebih serius. Sehingga Aneta pun tak mau banyak berharap dari hubungan yang masih berstatus teman. Walau bisa dikatakan hubungan yang sedang dijalani Aneta saat ini bersama Ale sudah lebih dari sekadar teman.

"Aku kayaknya udah nggak mau menganggap menikah itu penting," ujar Aneta lalu menandaskan kopinya sebelum berkata lagi, "Sekarang yang lebih penting buat aku itu gimana mempersiapkan masa depan yang mapan. Hidup nyaman di usia tua dan nggak ngerepotin orang lain. Syukur-syukur masih bisa bermanfaat."

Happiness is a Butterfly [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang