Sepuluh tahun yang lalu ...
Praya menutup pintu kamar sepelan mungkin. Hampir tanpa suara. Ia baru saja selesai menyusui dan menidurkan Lavi, bayinya yang baru berusia dua bulan. Sekarang, ia bisa melanjutkan segala aktifitas yang tertunda. Di antaranya menyiapkan makan siang untuk kedua anaknya yang lain.
Saat hendak turun ke lantai bawah, ia melihat banyak kepingan sereal tercecer di sepanjang anak tangga sampai ke area ruang keluarga. Jejak sereal itu berujung pada Salwa. Dia sedang bermain dengan kotak sereal yang sekarang sudah kosong. Kotak itu diisi kembali olehnya dengan remahan biskuit yang dihancurkan menggunakan remote televisi. Sehingga di sekeliling Salwa penuh remahan biskuit yang mengotori karpet.
Praya menghela napas pendek melihat yang dilakukan bocah tiga tahun itu dan segera mengumpulkan sereal dan remah-remah biskuit, sebelum semuanya dikerubungi semut. Namun tiba-tiba dari lantai atas, Tara berlari cepat menuruni tangga.
"Tara jangan berlarian di tangga!" seru Praya.
"Ada penjahat, Bun, di luar. Aku lihat dia pakai motor dan bawa kotak berisi senjata di dalamnya," celoteh Tara yang sedang mengintip dari balik gorden ke arah luar rumahnya. Memperhatikan saksama gelagat penjual ice cream yang sedang melayani seorang pembeli.
Praya tak menganggap serius celotehan putranya itu. Imajinasi Tara seakan tak terbendung. Setiap orang bisa disebutnya penjahat, mata-mata, alien, sampai robot. Bahkan tetangga depan rumahnya pernah diyakini Tara sebagai keluarga super hero yang menyamar menjadi warga biasa. Gara-gara terinspirasi dari The Incredibles, film animasi yang bercerita tentang keluarga super hero.
Praya membuka kulkas dan mendapati rak-rak kosong tanpa warna-warni sayur dan buah. Ia belum sempat berbelanja bahan makanan. Di dalam kulkas hanya ada telur saja. Sedangkan di bagian freezer masih ada satu pack daging ayam olahan yang belum dibuka.
Untuk sementara, itu saja dulu makan siang anak-anaknya. Nanti sore baru ia akan pergi ke supermarket untuk berbelanja kebutuhan pokok dan harian lainnya. Dan bisa dipastikan serepot apa kalau ia berbelanja sambil membawa ketiga anaknya. Namun mau tak mau ia harus melakukannya. Tak mungkin meninggalkan anak-anaknya sendirian di rumah tanpa pengawasan.
Sejak asisten rumah tangganya meminta izin untuk pulang kampung dua minggu yang lalu, segala pekerjaan rumah tangga terpaksa ia lakukan sendiri. Membuat Praya berjibaku dengan rutinitas yang menyeretnya pada rasa lelah dan penat. Hari ini saja ia tidak sempat mandi pagi. Isi kepalanya seperti tak ada ruang untuk memikirkan keadaan dirinya sendiri.
"Undaaa!" jeritan Salwa membuat Praya berpaling dari nugget yang sedang digorengnya.
Kalau Praya belum muncul, pasti anak perempuannya itu akan terus menjerit. Praya buru-buru memeriksa Salwa yang kini sedang menangis sambil melemparkan mainan.
"Salwa kenapa?" Praya mencoba menenangkan Salwa.
"Otaknya ... diamil cama kaka ...," rengek Salwa yang bisa diartikan Praya kalau kotak serealnya diambil Tara.
"Salwa jangan nangis, nanti Bunda ambilin, ya," bujuk Praya, tapi tangis Salwa tetap tak mau berhenti.
Praya segera mencari Tara. Pandangannya diedarkan ke setiap ruangan.
"Tara!" panggil Praya ketika tak menemukan anak itu di lantai bawah.
"Aku di sini, Bun!" Sahutan Tara terdengar dari lantai atas. "Aku di kamar adek!"
Oh, astaga ...
Praya secepatnya melesat menaiki tangga. Jangan sampai Lavi terbangun. Akan sulit baginya leluasa berkegiatan kalau Lavi tidak tidur. Ia menemukan Tara sedang melompat-lompat di atas tempat tidur sambil melempar berulang kali kotak sereal ke udara, tepat di sebelah adiknya yang tidur. Tara begitu senang membuat dirinya memantul-mantul, sedangkan yang dilakukannya itu menambah kecemasan Praya.
"Tara turun. Nanti adik kamu bangun," perintah Praya dengan suara yang dibuat rendah. Takut membangunkan bayinya.
"Aku lagi jagain adek, Bun. Kalau diculik monster gimana?" Tara tidak mau berhenti melompat. Sesekali bahkan membuat gerakan seperti akan menerjang ke arah Lavi.
"Bunda bilang turun sekarang juga!" Praya tak mampu lagi menjaga suaranya tetap rendah. yang malah membuat Lavi menggeliat dan membuka matanya.
Bahunya lunglai seketika.
Praya mendesah pasrah begitu tangis Lavi terdengar. Namun, Tara masih terus melompat-lompat di atas tempat tidur. Tangis dan jeritan Salwa pun turut meramaikan suasana rumahnya yang semakin tak karuan.
Praya memejamkan mata. Mencari sisa ketenangan yang bisa ia dapat dari dalam dirinya. Pengendalian diri menahan emosi yang ia perlukan untuk menghadapi situasi seperti ini.
Butuh kesabaran ekstra saat harus meminta Tara mengembalikan kotak sereal itu pada Salwa. Praya juga harus berjanji terlebih dahulu untuk membelikan ice cream, demi membuat Tara menurut. Sampai beberapa saat kemudian suasana kembali kondusif. Mata Lavi mulai terpejam, dengan mulut yang masih menyatu dengan puting payudara ibunya.
Momen damai ini sungguh berharga bagi Praya, meski hanya sebentar.
"Bun, aku laper ...." Tara muncul di muka pintu kamar sambil setengah merengek meminta makan.
Mendadak Praya kembali teringat kalau tadi ia sedang menggoreng nugget. Tapi ia yakin, kalau nugget itu sekarang tidak bisa lagi dimakan.
•••
Pukul delapan malam, Praya sudah berhasil menidurkan anak-anaknya. Namun, bukan perkara mudah layaknya menjentikkan jari, agar membuat mata mereka terpejam. Ia harus membacakan sebuah cerita untuk Tara, karena putranya itu begitu senang kalau dibacakan cerita yang penuh dengan imajinasi ataupun aksi heroik. Pun Salwa akan sulit untuk tidur kalau tak ada yang menepuk-nepuk bokongnya. Yang paling mudah hanya Lavi, karena dengan menyusu saja sudah bisa langsung tertidur.
Akan tetapi, pekerjaan Praya belum usai. Mainan anak-anaknya masih banyak yang berserakan di mana-mana. Ia harus mengebut membereskan semua itu kembali pada tempatnya sebelum Bagas pulang. Suaminya itu akan merasa risih kalau melihat sesuatu yang berantakan.
Beberapa waktu kemudian, Praya sudah selesai dengan urusan merapikan mainan dan langsung menggerakkan vacum cleaner pada karpet yang masih terdapat sisa-sisa remahan biskuit. Bagas juga tidak akan suka kalau melihat karpet yang dibelinya dengan harga mahal ini tampak kotor.
Praya menepikan kepentingan dirinya sendiri untuk beristirahat. Bahkan ia membiarkan rasa nyeri pada jahitan bekas operasi caesar yang masih kerap muncul. Terasa ngilu dan membuatnya beberapa kali mengernyit menahan sakit.
Jangka waktu dua bulan setelah operasi caesar memang masih terlalu pendek untuk melakukan pekerjaaan. Padahal butuh proses pemulihan yang lama bagi wanita yang pernah melahirkan dengan jalan operasi caesar.
Bagas baru berada di rumah ketika jarum jam sudah hampir menunjuk ke angka sepuluh. Praya sudah bersiap untuk tidur. Kepalanya merebah di bantal. Merasakan kenyamanan setelah hari yang cukup melelahkan. Ia perlu mengistirahatkan tubuhnya, sebelum nanti terbangun lagi untuk menyusui Lavi.
Sayup-sayup suara Bagas membuka pakaian, masuk ke kamar mandi, pintu terbuka, bersalin pakaian, lalu berbaring di sebelahnya, yang didengar Praya. Kemudian lambat laun rasa kantuk itu perlahan membawanya ke alam lain.
Tapi ...
Kelopak mata Praya terbuka kembali begitu merasakan sesuatu tengah terjadi pada tubuhnya. Ia kemudian baru menyadari kalau celana yang dipakainya sudah terlepas. Bagas sedang melakukan sesuatu di bagian paling pribadinya. Tanpa persetujuannya sebagai pemilik tubuh.
Praya ingin menolak atau sekadar berkata kalau ia memerlukan istirahat. Sayangnya, semua itu terkunci rapat dalam dirinya dan hanya bisa pasrah menerima rasa perih itu di sana.
••☆••
Kejadian sepuluh tahun yang lalu, akan lanjut di part berikutnya ya
Apa ada teman atau kenalan kalian yang seperti Praya?
Jangan lupa Vote dan komentarnya ya ❤
Terima kasih❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness is a Butterfly [TAMAT]
Romantizm☆Ambassador's pick bulan Desember 2021☆ ☆Daftar Pendek Wattys Award 2022☆ Rumah tangga Praya dan Bagas tidak sebaik yang tampil di permukaan. Masing-masing menyimpan kekecewaan serta rasa frustasi pada pernikahan yang sudah mereka berdua jalani sel...